Pilpres 2014 ujian kematangan elit politik
4 Agustus 2014 00:31 WIB
Hatta Rajasa Batal Beri Keterangan. Petugas melipat spanduk pasangan Capres-Cawapres nomer urut satu Prabowo-Hatta di Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Amanat Nasional (PAN), Jakarta, Selasa (22/7). Calon Wakil Presiden nomor urut satu Hatta Rajasa batal menghadiri konfrensi pers terkait hasil Real Count KPU yang awalnya dijadwalkan pada pukul 16.00 wib di kantor DPP PAN dengan alasan yang tidak diketahui. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)
Jakarta (ANTARA News) - Ketua DPP Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Ferry Mursidan Baldan mengatakan proses Pilpres 2014 sesungguhnya menjadi ujian pembuktian kematangan sikap para elit politik pada proses kontestasi pemilihan umum itu.
"Ujian itu datang pada saat yang bersamaan dengan meningkatnya animo rakyat untuk terlibat dalam proses penentuan calon presiden pilihannya serta keterlibatan untuk mengawal dan memastikan bahwa pemilu presiden berjalan fair dan bersih mulai dari TPS (tempat pemungutan suara) sampai rekapitulasi suara tingkat nasional di KPU," kata Ferry Mursidan Baldan melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu.
Menurut Ferry, pemilu presiden bagi masyarakat sesungguhnya sudah selesai pada saat TPS ditutup pada 9 Juli lalu, karena saat itulah kesempatan mereka menyampaikan pilihannya.
Sedangkan, bagi penyelenggara yakni KPU dan Bawaslu, menurut dia, sesuai dengan otoritas yang diberikan oleh Konstitusi dan UU, sudah menyelesaikan tugasnya pada 22 Juli 2014 dengan kinerja yang jauh lebih baik dari pemilu legislatif pada 9 April 2014.
"Pada saat itu rapat pleno KPU sudah menetapkan hasil pemilu presiden melalui proses yang transparan pada semua tingkatan," katanya.
Juru bicara tim kampanye nasional pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla ini menjelaskan, kalau hasil pemilu presiden itu digugat ke Mahkamah Konstitusi persoalannya justru ada pada peserta pemilu presiden, yang tak kunjung menerima hasil penetapan oleh KPU.
Meski UU No 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden memberi ruang adanya upaya hukum untuk mengajukan sengketa hasil pemilu presiden ke Mahkamah Konstitusi, namun ada hal yang harus dipertimbangkan.
"Apakah terhadap sengketa hasil yang diajukan, jika nantinya terbukti akan memengaruhi hasil akhir pemilu presiden yang sudah ditetapkan? Apalagi selisih perolehan suaranya sekitar 8,4 juta suara," katanya.
Ferry Mursidan menambahkan, menjadi lebih menarik lagi untuk direnungkan yakni adanya "pengunduran diri dari proses penghitungan suara" salah satu pasangan capres-cawapres seperti yang disampaikan saksi pasangan capres-cawapres nomor urut satu, pada proses rekapitulasi suara tingkat nasional di KPU sedang berjalan, dan KPU sudah mengesahkan rekapitulasi suara di 29 provinsi.
Pada saat itu, kata dia, tinggal beberapa provinsi lagi yang belum direkapitulasi dan disahkan suaranya, yakni Jawa Timur, Maluku Utara, Papua, Sumatera Utara, dan Hasil Luar Negeri (PPLN).
"Pertanyaan kita adalah tentang posisi legal pasangan capres-cawapres nomor urut satu terhadap hasil pilpres," katanya.
Pertanyaan tersebut, menuut dia, pertama, jika mundur dari tahapan pilpres yang sedang berjalan, maka pasangan calon akan terancam pasal 246 UU Pilpres yang mengatur mengenai sanksi pidana dan denda.
Kedua, jika mengajukan sengketa terhadap hasil pilpres, maka yang diajukan harus terhadap keseluruhan hasil (33 provinsi dan 1 luar negeri) yang telah ditetapkan pada 22 Juli 2014.
Sedangkan pasangan capres-cawapres nomor urut satu, kata dia, mengundurkan diri saat penetapan hasil baru berlangsung untuk 29 provinsi, belum keseluruhan, yakni masih minus empat provinsi dan satu luar negeri.
"Itulah sebabnya mengapa Pemilu Presiden 2014 adalah ujian bagi elit-elit partai soal makna demokrasi. Demokrasi, sejatinya adalah jalan yang kita pilih dalam kontestasi politik," katanya.
Anggota DPR RI periode 2004-2009 ini menegaskan, demokrasi tidak boleh diartikan baik hanya jika membawa kemenangan bagi diri sendiri dan kalau tidak menang menilai tidak demokratis. (R024/T007)
"Ujian itu datang pada saat yang bersamaan dengan meningkatnya animo rakyat untuk terlibat dalam proses penentuan calon presiden pilihannya serta keterlibatan untuk mengawal dan memastikan bahwa pemilu presiden berjalan fair dan bersih mulai dari TPS (tempat pemungutan suara) sampai rekapitulasi suara tingkat nasional di KPU," kata Ferry Mursidan Baldan melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu.
Menurut Ferry, pemilu presiden bagi masyarakat sesungguhnya sudah selesai pada saat TPS ditutup pada 9 Juli lalu, karena saat itulah kesempatan mereka menyampaikan pilihannya.
Sedangkan, bagi penyelenggara yakni KPU dan Bawaslu, menurut dia, sesuai dengan otoritas yang diberikan oleh Konstitusi dan UU, sudah menyelesaikan tugasnya pada 22 Juli 2014 dengan kinerja yang jauh lebih baik dari pemilu legislatif pada 9 April 2014.
"Pada saat itu rapat pleno KPU sudah menetapkan hasil pemilu presiden melalui proses yang transparan pada semua tingkatan," katanya.
Juru bicara tim kampanye nasional pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla ini menjelaskan, kalau hasil pemilu presiden itu digugat ke Mahkamah Konstitusi persoalannya justru ada pada peserta pemilu presiden, yang tak kunjung menerima hasil penetapan oleh KPU.
Meski UU No 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden memberi ruang adanya upaya hukum untuk mengajukan sengketa hasil pemilu presiden ke Mahkamah Konstitusi, namun ada hal yang harus dipertimbangkan.
"Apakah terhadap sengketa hasil yang diajukan, jika nantinya terbukti akan memengaruhi hasil akhir pemilu presiden yang sudah ditetapkan? Apalagi selisih perolehan suaranya sekitar 8,4 juta suara," katanya.
Ferry Mursidan menambahkan, menjadi lebih menarik lagi untuk direnungkan yakni adanya "pengunduran diri dari proses penghitungan suara" salah satu pasangan capres-cawapres seperti yang disampaikan saksi pasangan capres-cawapres nomor urut satu, pada proses rekapitulasi suara tingkat nasional di KPU sedang berjalan, dan KPU sudah mengesahkan rekapitulasi suara di 29 provinsi.
Pada saat itu, kata dia, tinggal beberapa provinsi lagi yang belum direkapitulasi dan disahkan suaranya, yakni Jawa Timur, Maluku Utara, Papua, Sumatera Utara, dan Hasil Luar Negeri (PPLN).
"Pertanyaan kita adalah tentang posisi legal pasangan capres-cawapres nomor urut satu terhadap hasil pilpres," katanya.
Pertanyaan tersebut, menuut dia, pertama, jika mundur dari tahapan pilpres yang sedang berjalan, maka pasangan calon akan terancam pasal 246 UU Pilpres yang mengatur mengenai sanksi pidana dan denda.
Kedua, jika mengajukan sengketa terhadap hasil pilpres, maka yang diajukan harus terhadap keseluruhan hasil (33 provinsi dan 1 luar negeri) yang telah ditetapkan pada 22 Juli 2014.
Sedangkan pasangan capres-cawapres nomor urut satu, kata dia, mengundurkan diri saat penetapan hasil baru berlangsung untuk 29 provinsi, belum keseluruhan, yakni masih minus empat provinsi dan satu luar negeri.
"Itulah sebabnya mengapa Pemilu Presiden 2014 adalah ujian bagi elit-elit partai soal makna demokrasi. Demokrasi, sejatinya adalah jalan yang kita pilih dalam kontestasi politik," katanya.
Anggota DPR RI periode 2004-2009 ini menegaskan, demokrasi tidak boleh diartikan baik hanya jika membawa kemenangan bagi diri sendiri dan kalau tidak menang menilai tidak demokratis. (R024/T007)
Pewarta: Riza Harahap
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014
Tags: