Tanjung Selor (ANTARA) - Keyakinan kearifan lokal bisa menjadi "vaksin" penangkal virus radikalisme sebenarnya sudah diperkuat hasil survei Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), beberapa tahun lalu.

Survei itu menunjukkan masyarakat masih memiliki kekayaan kearifan lokal. Survei menemukan bahwa sebagian masyarakat meyakini bahwa kearifan lokal efektif menangkal paham kekerasan.

Hasil survei BNPT juga menyatakan kearifan lokal sangat menentukan untuk mereduksi paham paham kekerasan dan seluruh paham negatif.

Survei itu menggunakan metode kualitatif, yakni berupa diskusi dan wawancara bersama pemda, tokoh budaya, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan akademisi.

Selain itu juga menggunakan metode kuantitatif melalui penyebaran kuesioner kepada 450 responden di 32 provinsi dengan total 14.400 responden seluruh Indonesia.

Kepercayaan masyarakat terhadap kearifan lokal sebagai daya tangkal radikalisme berada pada skor kategori tinggi 63,60, berarti kearifan lokal masih mampu menapis paham paham kekerasan tersebut.

Namun, penerapan "vaksin" kearifan lokal dalam melawan virus radikalisme pada setiap daerah di Indonesia menghadapi tantangan dan hambatan berbeda-beda.

BNPT mengungkapkan bahwa tidak ada dokumen utuh terkait kearifan lokal. Ketiadaan dokumen itu menyulitkan dalam inventarisasi kearifan lokal, termasuk berbagi pengetahuan bagi kelompok masyarakat lain.

Survei BNPT juga menemukan bahwa masyarakat kurang paham dengan arti kearifan lokal.

Demikian hasil survei BNPT yang menunjukkan tentang makna strategis kearifan lokal dalam menghalau radikalisme serta beberapa masalahnya.

Faktanya, masih banyak persepsi keliru sehingga mempertentangkan kearifan lokal dengan nilai-nilai agama. Padahal, kearifan lokal bisa pula beriringan dengan ajaran agama, yakni adanya nilai-nilai luhur akhlak mulia.

Tidak ada agama mana pun yang menanamkan paham radikal terorisme karena agama mengajarkan kebenaran dan kedamaian.

Radikal yang dimaksud tentu seseorang atau kelompok yang menolak Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI sesuai UU Nomor 5 Tahun 2018 yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.


Strategi ganda

BNPT menyadari bahwa dalam memerangi radikalisme dan terorisme tidak bisa hanya dihadapi dengan strategi tunggal, namun harus dengan strategi ganda. Salah satunya strategi pentahelix atau multipihak.

BNPT menjalankan strategi pentahelix atau kolaborasi lima unsur, yakni akademisi, dunia usaha, kelompok masyarakat, pemerintah, dan media massa dalam melawan paham radikal terorisme.

Strategi lain, BNPT memiliki mitra strategis di daerah untuk bersama-bersama dengan berbagai komponen bangsa memerangi radikal terorisme.

Setiap daerah --kecuali beberapa provinsi hasil pemekaran di Papua-- sudah memiliki Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) sebagai mitra strategis atau perpanjangan tangan BNPT.

FKPT merupakan bagian dari strategi BNPT dalam kontraradikalisasi untuk membentengi masyarakat dari pengaruh paham radikal terorisme.

Dukungan FKPT serta strategi pentahelix bisa dimanfaatkan untuk penguatan solidaritas dan kohesivitas masyarakat dalam melawan paham radikal terorisme melalui penguatan kearifan lokal.

Upaya komprehensif harus dilakukan karena masalah yang dihadapi bukan sekadar kejahatan individu atau kelompok, melainkan persoalan ideologi, keyakinan, dan pemahaman yang keliru.

Pelibatan banyak tokoh masyarakat, tokoh agama, serta lembaga adat bisa mengoptimalkan nilai-nilai kearifan lokal dalam melawan virus radikal terorisme.

FKPT bersama berbagai komponen bangsa di daerah harus terus menggali, melestarikan, dan mengoptimalkan nilai nilai kearifan lokal sebagai cara jitu melawan radikalisme dan terorisme.

Strategi kolaborasi itu diungkap pula oleh FKPT Kaltara dalam "Pembinaan Kesadaran Bela Negara bagi Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Adat dan Ormas" yang diprakarsai oleh Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan, Kementerian Pertahanan RI di Tarakan, belum lama ini. Acara ini diikuti sekitar 300 peserta.

Kearifan lokal Kaltara

Bulungan, kabupaten di Kalimantan Utara, bisa menjadi salah satu contoh daerah dengan kearifan lokal yang mampu menjaga situasi keamanan, termasuk dari ancaman konflik horisontal. Misalnya, ketika konflik bernuansa etnis pecah di Kalteng pada 2001.

Khawatir meluas ke Bulungan, maka tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh agama serta didukung pemerintah daerah setempat mengambil langkah strategis dengan pendekatan kearifan lokal untuk menjaga perdamaian di sana
Berbagai langkah dilakukan, termasuk ikrar damai melibatkan berbagai komponen, termasuk lembaga adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat.

Upaya lain, yakni dengan menggelorakan kembali berbagai tradisi budaya yang memiliki nilai-nilai kearifan lokal dalam menghargai keanekaragaman etnis di Bulungan.

Salah satu contoh nyata kearifan lokal hadir dalam menjaga keutuhan masyarakat di Kaltara adalah masih berdiri gagah dan anggun Tugu Cinta Damai di Tepian Sungai Kayan.

Tugu terbuat dari ornamen kayu ulin dan beton itu melambangkan keberagaman suku dan etnis yang dikawal oleh tiga suku besar di Kaltara, Bulungan, Tidung, dan Dayak.

Tugu tersebut dibangun pascakonflik horisontal di Kalteng 2001. Tugu itu sebagai pengingat bahwa ada nilai luhur budaya dalam mengawal persatuan di wilayah Kesultanan Bulungan sejak ratusan tahun silam.

Kesultanan Bulungan sejak beberapa abad silam sudah menjalankan nilai budaya luhur yang menjadi konsensus dalam menjaga dan memelihara kebinekaan dari berbagai etnis, baik masyarakat asli, berbagai suku di Nusantara, serta warga asing, misalnya, Arab, China, dan India.

Konsensus untuk menjaga persatuan yang tercermin dari warna kebesaran Kesultanan Bulungan, yakni triwarna kuning keemasan, biru, hitam. Tiga warna ini biasanya digunakan untuk bendera, umbul-umbul, atau dasar warna ornamen ukiran. Tri warna itu hakikatnya mencerminkan semangat "Bhinneka Tunggal Ika".

Jika berkunjung ke Tanjung Selor, Ibu Kota Kalimantan Utara, maka akan terlihat triwarna menjadi cat dasar siring beton di tepian Sungai Kayan.
Warna kuning keemasan melambangkan unsur dari sosial budaya Kesultanan Bulungan atau Suku Bulungan, biru mewakili masyarakat pendatang, serta hitam mewakili masyarakat pedalaman atau Suku Dayak.

Berkat adanya "konsensus" triwarna sehingga semangat "Tenguyun Bebatun Benuanta" (Bergotomg Royong Membangun Daerah Kita) tetap menyala di Kalimantan Utara.

Kearifan lokal lain yang masih hidup di Bulungan adalah ungkapan timbeng rasa atau toleransi yang sangat efektif dalam melawan virus intoleran, radikalisme, dan terorisme.

Ada pula ungkapan belah bulu yang secara harfiah bermakna belah bambu yang secara filosofi sangat menghormati tamu.

Praktik dari belah bulu, jika tamu berkunjung dan tidur di rumah maka dilarang salah satu anggota keluarga berangkat karena dianggap bisa belah bambu, yakni kegiatan yang bisa membawa musibah. Tujuannya agar tamu benar-benar dihargai.

Kaltara sudah mendayagunakan kearifan lokal untuk memperkuat kohesivitas masyarakat yang beragam, dan berhasil memperkokoh ikatan sosial itu.

Oleh karena itu, setiap daerah seharusnya bisa menggali, melestarikan, dan mengoptimalkan kearifan lokal guna mereduksi serta menghalau paham radikal terorisme dan paham negatif lainnya.

Editor: Achmad Zaenal M