Bandarlampung (ANTARA Newsa) - Kemacetan dan penumpukan kendaraan di Pelabuhan Merak Provinsi Banten dan Pelabuhan Bakauheni Provinsi Lampung tidak hanya kerap terjadi saat arus mudik atau arus balik pemudik lebaran berlangsung, namun juga pada hari biasa ketika terjadi gangguan di kedua pelabuhan itu atau cuaca buruk di perairan Selat Sunda.

Lama penyeberangan Merak-Bakauheni kini rata-rata mencapai tiga jam, dan nyaris tidak pernah lagi di bawah dua jam. Waktu penyeberangan itu banyak habis tersita saat kapal hendak bersandar di dermaga, karena harus "ngetem" cukup lama di perairan pelabuhan untuk mendapatkan giliran merapat ke dermaga.

Kapal terpaksa "ngetem" lama disebabkan sejumlah hal, seperti terjadi gangguan cuaca sehingga kapal sulit bersandar, atau dermaga rusak atau tidak seluruh dermaga dioperasikan. Kondisi seperti itu tentu mengakibatkan terjadinya penumpukan kendaraan, terlebih saat volume pengiriman barang dari Sumatera ke Jawa atau sebaliknya sedang meningkat.

Kondisi seperti itu selalu berulang terjadi dari tahun ke tahun, sementara volume pengiriman barang dari Sumatera ke Jawa atau sebaliknya selalu meningkat setiap tahunnya. Lalu lintas manusia melalui kedua pelabuhan penyeberangan itu juga meningkat dari tahun ke tahun.

Makin lamanya waktu penyeberangan tentu menimbulkan kerugian yang amat besar, bukan hanya bagi dunia usaha saja, juga bagi penumpang karena waktunya habis tersita di jalur penyeberangan kapal.

Sumatera dan Jawa merupakan pusat perekonomian Indonesia, sementara Pelabuhan Merak dan Bakauheni adalah pintu utama yang menghubungkan kedua pulau tersebut. Hampir seluruh komoditas tujuan Jawa atau Sumatera dikirimkan menggunakan jasa pelabuhan penyeberangan di Merak dan Bakauheni.

Berkaitan itu, rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS) yang sudah diwacanakan di era pemerintahan Presiden Soekarno itu mendapatkan respons positif dari penduduk Sumatera, juga wacana pembangunan "jembatan laut" Sumatera dan Jawa.

"Jembatan laut" ini dimaksudkan adalah perluasan kapasitas pelabuhan penyeberangan Merak dan Bakauheni, serta menambah dan meremajakan kapal-kapal feri yang dioperasikan di rute Merak-Bakauheni.

Sehubungan pembangunan JSS itu belum dilaksanakan dan waktu penyelesaiannya juga memakan waktu lama, masalah klasik yang menimpa penumpang, pengemudi dan pelaku usaha yang menggunakan jasa Pelabuhan Penyeberangan Merak dan Bakauheni perlu dituntaskan dengan langkah nyata dan sifatnya mendesak.

Ada yang mengusulkan masalah kemacetan sebenarnya bisa diatasi lebih cepat jika areal Pelabuhan Merak dan Bakauheni diperluas agar dermaga dan areal parkir bisa diperbanyak; serta jumlah kapal diperbanyak dan diremajakan. Biaya yang dibutuhkan untuk mewujudkan hal itu disebutkan jauh lebih kecil daripada membangun JSS.

Gagasan seperti itu juga disampaikan Menko Bidang Perekonomian Chairul Tanjung saat mengecek kesiapan angkutan lebaran 2014.

Saat mengunjungi Pelabuhan Merak, ia meminta Kementerian Perhubungan menambah dermaga di Pelabuhan Merak, karena hanya tersedia lima dermaga. "Idealnya Pelabuhan Merak memiliki 10 dermaga sehingga penambahannya sudah mendesak dilakukan," katanya.

Selain di Merak, pembangunan dermaga baru di Bakauheni juga perlu dilakukan yang jumlahnya sesuai dengan jumlah dermaga di Pelabuhan Merak.

Dalam kondisi normal, puluhan ribu penumpang dan ribuan kendaraan dalam sehari diseberangkan dari Sumatera ke Jawa atau sebaliknya. Pada arus mudik lebaran 2014, PT ASDP Indonesia Fery menyebutkan sebanyak 569.823 pemudik diseberangkan dari Merak menuju Pulau Sumatera untuk merayakan Lebaran di kampung halaman mereka. Mereka terdiri atas pemudik pejalan kaki sebanyak 105.695 orang dan pemudik di atas kendaraan sebanyak 129.998 orang. Sedangkan jumlah kendaraan terdiri dari roda dua, roda empat, bus dan truk mencapai 121.977 unit.

Saat arus mudik, jumlah pemudik dari Sumatera ke Jawa jauh lebih kecil. Namun, saat arus balik berlangsung, jumlah penumpang yang diseberangkan biasanya lebih banyak karena para pendatang baru ikut pindah ke Jawa, terutama pencari kerja di sektor formal dan informal.


Butuh solusi konkret

Meski upaya memperlancar lalu lintas manusia dan barang melalui Pelabuhan Merak dan Banten sebenarnya selalu mendapatkan perhatian dari setiap rezim pemerintahan di Indonesia, namun solusinya hendaknya nyata, bukan sekedar komoditas politik.

Menko Perekonomian Chairul Tanjung telah mengusulkan langkah nyata untuk mengatasinya, yakni memperbanyak dermaga penyeberangan untuk mempercepat waktu tempuh penyeberangan.

Di masa kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 lalu, komitmen dan optimisme pembangunan JSS kembali disampaikan tim pemenangan capres dan cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Sementara pasangan Jokowi-Jusuf Kalla menggagas pembangunan "tol laut", yakni pengoperasian kapal-kapal besar yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan di Indonesia. "Tol laut" diyakini mampu memangkas biaya logistik barang sehubungan transportasi laut khusus barang belum terjadwal secara reguler, dan terintegrasi dengan tol dan jalur kereta api.

Saat ini nasib JSS kini bisa dikatakan stagnan, padahal pembangunannya jembatan yang menghubungkan Sumatera dan Jawa melalui Selat Sunda itu telah digagas sejak tahun 1960 di era pemerintahan Presiden Soekarno; bahkan dicanangkan menjadi salah satu bagian dari proyek Asian Highway Network (Trans Asia Highway dan Trans Asia Railway).

Di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, gagasan cemerlang itu kembali dihidupkan. Proyek berbiaya Rp200--Rp250 triliun itu memang sangat mahal, namun menguntungkan perekonomian nasional secara jangka panjang.

Bagi Lampung dan Banten, pembangunan JSS itu tentu akan menimbulkan implikasi terhadap perubahan pola dan struktur tata ruang, dan sistem transportasi nya. Pembangunan JSS akan mengubah pola penggunaan lahan, seperti berkurangnya cakupan kawasan lindung dan bertambahnya cakupan kawasan budi daya. JSS juga akan mendorong perkembangan luas lahan terbangun di Provinsi Lampung.

Setelah JSS dibangun, kemungkinan besar akan tumbuh kawasan terbangun yang bernilai ekonomi tinggi, seperti kawasan perkotaan, pusat perdagangan dan jasa, kawasan industri dan wisata di koridor penyeberangan Bakauheni-Merak.

Struktur ruang juga akan berubah statusnya dengan pembangunan JSS itu, seperti menjadi pusat kegiatan nasional (PKN), pusat kegiatan wilayah (PKW) atau pusat kegiatan lokal (PKL), yang tentu akan memacu kinerja dan struktur perekonomian Lampung dan Banten.

Dampak JSS bahkan diyakini mampu mendorong peningkatan perekonomian Indonesia hingga 80 persen, mengingat Sumatera dan Jawa merupakan daerah berpenduduk terbesar dengan kandungan sumber daya alamnya yang terbesar pula.

Sehubungan itu, apapun solusinya, termasuk Konsep tol laut Jokowi-JK, masalah transportasi laut di ruas Merak-Bakauheni perlu dituntaskan secara matang dan konkret. Setiap gangguan yang terjadi di Pelabuhan Merak atau Pelabuhan Bakauheni akan merugikan perekonomian nasional. (*)