Jakarta (ANTARA) - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan atau BPJamsostek, sebagai pengelola jaminan sosial bagi jutaan tenaga kerja Indonesia, berperan penting dalam menciptakan kesejahteraan pekerja.

Peran ini semakin krusial dalam mendukung visi Indonesia Emas 2045, ketika negara diharapkan menjadi maju dengan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi.

Melalui perlindungan sosial yang kuat, BPJS Ketenagakerjaan membantu menyiapkan tenaga kerja produktif yang lebih sejahtera dan terlindungi, baik dari risiko kecelakaan kerja, jaminan hari tua, maupun jaminan kematian.

Dengan mengatasi tantangan strategis dalam pengelolaan dana dan pelayanan, BPJS Ketenagakerjaan dapat memperkuat fondasi kesejahteraan tenaga kerja yang menjadi kunci bagi tercapainya target Indonesia Emas.

Namun, untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045 tersebut, BPJS menghadapi tantangan besar, terutama dalam mengantisipasi pembayaran klaim besar-besaran secara bersamaan.

Jika bonus demografi generasi 2045 tidak dikelola dengan baik, Indonesia Emas bisa berubah menjadi Indonesia Cemas.

Pada tahun 2045, Indonesia akan memiliki jumlah penduduk usia produktif terbesar, yang seharusnya menjadi kekuatan ekonomi nasional. Namun, potensi ini hanya dapat tercapai jika mereka terlindungi dan sejahtera.

BPJS Ketenagakerjaan memegang peran strategis dalam memastikan perlindungan jaminan sosial bagi tenaga kerja ini, yang akan menopang stabilitas ekonomi di masa depan.

Dengan meningkatnya kebutuhan jaminan sosial, baik di sektor formal maupun nonformal, BPJS Ketenagakerjaan memerlukan strategi efektif untuk memastikan klaim dibayarkan secara tepat waktu tanpa membebani keuangan negara.

Menurut Direktur Eksekutif The PRAKARSA, Ah Maftuchan, dan pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Dr. Trubus Rahardiansah, upaya ini memerlukan manajemen risiko yang matang, perluasan cakupan peserta, serta kolaborasi lintas sektor untuk dapat memberikan jejaring sosial bagi masyarakat, khususnya potensi ledakan adanya generasi sandwich di masa mendatang.

Ah Maftuchan menekankan bahwa manajemen risiko adalah kunci utama untuk menjaga stabilitas finansial BPJS Ketenagakerjaan.

Mengingat BPJS Ketenagakerjaan memiliki kewajiban untuk membayar klaim peserta baik di masa pensiun maupun jika terjadi kecelakaan kerja, risiko pembayaran klaim yang bersamaan perlu diantisipasi dengan strategi investasi yang bijak dan diversifikasi portofolio.

“Dana yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan perlu ditempatkan pada instrumen-instrumen yang stabil dan memberikan imbal hasil yang cukup untuk menutupi kewajiban jangka panjang,” kata Ah Maftuchan.

Menurutnya, dengan mengalokasikan dana ke investasi yang aman dan memiliki pengembalian jangka panjang, BPJS dapat mengelola pembayaran klaim tanpa harus mengandalkan pembiayaan negara.

Instrumen yang direkomendasikan mencakup obligasi pemerintah, saham di sektor-sektor yang stabil, serta investasi di bidang infrastruktur yang memberikan dampak jangka panjang.

Pendapat Ah Maftuchan sejalan dengan prinsip keberlanjutan dana pensiun, yang secara prinsip memang dibutuhkan bagi masyarakat untuk memberikan kepastian.

“Sebagian besar dana investasi harus dialokasikan pada portofolio yang memiliki ketahanan terhadap fluktuasi pasar," lanjutnya. Dengan pendekatan ini, BPJS Ketenagakerjaan dapat menjaga likuiditas dana tanpa mengurangi nilai investasi jangka panjangnya, sehingga tetap mampu membayar klaim kapan pun diperlukan.

Partisipasi dari Sektor Nonformal

Sementara itu, Dr. Trubus Rahardiansah dari Universitas Trisakti menyoroti pentingnya perluasan cakupan BPJS Ketenagakerjaan, khususnya bagi pekerja sektor nonformal yang masih minim kepesertaannya.

Sektor nonformal, yang mencakup pekerja freelance, pekerja rumahan, dan sektor informal lainnya, menjadi kelompok yang paling rentan terhadap risiko finansial tanpa perlindungan jaminan sosial.

Dalam pandangan Dr. Trubus, peningkatan kepesertaan dari sektor ini bukan hanya untuk melindungi lebih banyak pekerja, tetapi juga memperkuat ketahanan finansial BPJS secara keseluruhan.

“Jika kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan di sektor nonformal meningkat, pendapatan iuran juga akan bertambah. Ini menjadi modal penting untuk memperbesar kapasitas keuangan BPJS dalam menanggung klaim yang besar,” ujar Dr. Trubus.

Tantangan utama adalah bagaimana mendorong lebih banyak pekerja sektor nonformal untuk mendaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.

Dr. Trubus mengusulkan pemberian insentif bagi pekerja sektor nonformal untuk bergabung dengan BPJS Ketenagakerjaan, seperti potongan iuran atau subsidi sebagian dari pemerintah untuk meringankan beban mereka.

Selain itu, ia menekankan pentingnya edukasi dan kampanye yang menjelaskan manfaat BPJS Ketenagakerjaan bagi pekerja informal. “Sosialisasi ini harus lebih intensif, agar pekerja nonformal memahami bahwa jaminan sosial dapat membantu mereka mengelola risiko keuangan di masa depan,” tambahnya.

Kolaborasi lintas sektor

Kembali, Ah Maftuchan menyoroti bahwa kolaborasi lintas sektor, termasuk dengan pemerintah dan lembaga keuangan lainnya, sangat penting untuk menjaga keberlanjutan BPJS Ketenagakerjaan.

Pemerintah dapat mendukung keberlanjutan BPJS Ketenagakerjaan dengan berbagai cara, seperti memberikan regulasi yang mempermudah kepesertaan atau insentif fiskal untuk investasi yang berkontribusi pada program jaminan sosial.

Selain itu, pemerintah juga bisa memberikan dukungan berupa regulasi untuk mencegah terjadinya klaim bersamaan yang membebani BPJS.

Contohnya, dengan memperketat regulasi kerja atau memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai manfaat jaminan sosial, yang bisa diberikan klaim secara berkala dengan jumlah kepastian total yang sudah disepakati sejak awal.

"Regulasi yang jelas dan kolaboratif akan memberikan kepercayaan pada masyarakat dan mengurangi kecenderungan terjadinya klaim yang berlebihan atau spekulatif," jelas Ah Maftuchan.

Dr. Trubus juga menyarankan perlunya kerja sama dengan sektor perbankan atau lembaga keuangan lainnya untuk memberikan produk keuangan yang mendukung pekerja dalam mengelola pendapatan jangka panjang secqra berkala.

“Dengan adanya kerja sama seperti itu, BPJS bisa memiliki lebih banyak dana cadangan untuk menghadapi situasi tak terduga. Selain itu, akses ke layanan keuangan yang lebih luas akan membantu pekerja dalam mengelola risiko keuangan dengan lebih baik,” ujarnya.

Dalam program proaktifnya, BPJS Ketenagakerjaan sendiri kerap mengadakan sosialisasi ke pedagang pasar mengenai Program Bukan Penerima Upah (BPU).

Upaya tersebut untuk memperkenalkan pentingnya perlindungan sosial bagi pekerja sektor informal dan memberikan pemahaman terkait manfaat program serta iuran yang harus dibayarkan.

Kepala Kantor BPJS Ketenagakerjaan Jakarta Cabang Salemba Brian Aprinto sempat menjelaskan program ini dirancang untuk membantu pedagang yang tidak memiliki gaji tetap dengan menjamin keamanan finansial, terutama bagi keluarga, jika suatu saat terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kepada peserta.

Inovasi teknologi untuk kualitas pelayanan

Dr. Trubus Rahardiansah juga menyoroti pentingnya inovasi teknologi dalam meningkatkan efektivitas pengelolaan BPJS Ketenagakerjaan.

“Di era digital ini, BPJS Ketenagakerjaan perlu memanfaatkan teknologi untuk mengelola data kepesertaan, memantau klaim, dan mendeteksi potensi risiko klaim besar-besaran secara lebih dini,” kata Dr. Trubus.

Pengembangan aplikasi dan layanan digital BPJS Ketenagakerjaan akan mempermudah peserta dalam mengakses informasi dan mempercepat proses klaim secara real-time.

Menurutnya, penggunaan teknologi ini juga dapat membantu BPJS dalam menganalisis data tren klaim, sehingga dapat mengantisipasi kebutuhan dana di masa mendatang.

Dengan strategi ini, BPJS Ketenagakerjaan dapat mengurangi risiko likuiditas yang dapat mengancam ketersediaan dana operasional.

Secara keseluruhan, baik Ah Maftuchan maupun Dr. Trubus sepakat bahwa program jaminan sosial perlu menerapkan strategi multi-aspek untuk menjaga keberlanjutan dan mencegah klaim besar-besaran yang dapat membebani negara.

Dengan menerapkan manajemen risiko yang bijak, memperluas cakupan peserta, membangun kolaborasi lintas sektor, berinovasi secara digital, dan menjaga transparansi dalam pengelolaan, BPJS Ketenagakerjaan diharapkan dapat berfungsi optimal sebagai jaring pengaman sosial bagi seluruh pekerja Indonesia.

Kedua ahli juga menegaskan pentingnya BPJS Ketenagakerjaan mengantisipasi berbagai risiko secara proaktif, agar dapat memberikan manfaat maksimal bagi peserta.

Dengan strategi efektif dan kolaboratif ini, BPJS Ketenagakerjaan akan lebih siap menghadapi tantangan di masa depan, seiring meningkatnya jumlah peserta dan kebutuhan jaminan sosial, sehingga berkontribusi nyata dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.

Baca juga: BPJS Ketenagakerjaan sosialisasikan Program BPU ke pedagang pasar
Baca juga: Pengamat: Harmonisasi data Kemensos penting untuk jamin PBI Jamsostek