Jakarta (ANTARA News) - Munir Asyhari (49), warga Kelurahan Bukit Duri, duduk di atas tumpukan kayu bekas di depan rumah petaknya dengan mengenakan kaos singlet dan celana panjang berwana biru. Bertemankan sebatang rokok yang dihisapnya, dia habiskan waktu setelah shalat Idul Fitri untuk duduk santai.

Dia merupakan salah satu dari ratusan penduduk yang telah menempati wilayah di bantaran Kali Ciliwung sejak puluhan yang lalu, bagaimana tidak, dia lahir di lingkungan itu pada 1965. Ya, paling tidak sudah 49 tahun dia tinggal di wilayah yang termasuk dalam Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan tersebut.

Lalu tidak jauh dari tempat Munir duduk, seorang pria paruh baya bernama Zainal Abidin (56) dengan mengenakan baju koko berwarna biru tua terlihat asik berbincang dengan seorang pria. Sama seperti Munir, Zainal juga penduduk yang sejak lahir menempati wilayah di bantaran Kali Ciliwung, tepatnya dia lahir tahun 1958.

Masyarakat umum sudah tahu kawasan Bukit Duri daerah langganan banjir jika air kiriman dari Bogor meluap di Kali Ciliwung, tepatnya di belakang pemukiman Zainal dan Munir. Banjir yang terjadi lebih disebabkan air kiriman dari Bogor sehingga meskipun hujan deras di wilayah Jakarta maka belum tentu wilayah tersebut banjir.

"Seingat saya banjir di wilayah sini sejak 1996 hingga sekarang, sebelum itu air kali (Ciliwung) jernih tidak butek seperti sekarang," kata Zainal.

Zainal tentu masih ingat tiap detail wilayah tempat kelahirannya tersebut bahkan dia memperhatikan saat ini ketika Jakarta hujan maka daerah itu tidak banjir. Namun menurut dia kondisinya berbeda apabila daerah Bogor diguyur hujan deras maka masyarakat di bantaran kali Ciliwung itu siap-siap terkena dampak meluapnya air.

Tentu saja hal itu merupakan dampak sistemik dari pembangunan vila secara sporadis di wilayah serapan air di Bogor, dan berimbas meluapnya air di Kali Ciliwung.

Munir maupun Zainal masih ingat bagaimana banjir besar melanda Jakarta pada 2002 dan 2007 yang menyebabkan naiknya air hingga atap rumah mereka yaitu sekitar tiga meter dari permukaan tanah.

Tidak hanya ditahun tersebut, sering wilayah tersebut terendam air sehingga mengganggu aktivitas mata pencaharian mereka.

Namun meskipun sering dilanda banjir yang merendam rumah mereka, menurut Zainal dan Munir para warga yang berada dibantaran kali Ciliwung itu enggan pindah.

"Sejak orang tua kami sudah tinggal di sini, lagi pula wilayah ini cukup strategis karena memudahkan akses kami ke beberapa tempat," kata Munir yang sudah berprofesi sebagai tukang ojek di Kampung Melayu sejak 17 tahun lalu.

Ancaman Penggusuran

Munir yang tinggal di RT005/12 Kelurahan Bukit Duri itu masih ingat ketika para warga dikumpulkan pihak kelurahan sekitar 1,5 tahun lalu untuk sosialisasi rencana penggusuran wilayah pemukiman tersebut.

Menurut dia alasan rencana penggusuran itu untuk normalisasi kali Ciliwung sehingga tidak ada lagi banjir di wilayah tersebut.

"Lebaran tahun ini kami berharap tidak ada penggusuran warga yang ada disekitar bantaran Sungai Ciliwung yang selama ini terkena banjir," ujar Munir.

Selain itu menurut dia, Dinas Tata Kota Pemprov DKI Jakarta sudah pernah mengukur luas tanah mereka.

Dia mengatakan pihak Pemda Jakarta sempat mewacanakan dibuatnya kampung deret dengan membangun rumah susun sewa (Rusunawa) menggantikan rumah di wilayah tersebut.

"Jadi rumah kami digusur lalu akan dibuat kampung deret, kalau seperti itu kami tetap saja rugi karena harus sewa setiap bulan sehingga apabila tidak ada solusi lebih baik ganti untung," ujarnya.

Menurut Munir rata-rata penduduk di wilayah Bukit Duri tidak memiliki sertifikat tanah dan hanya membayar Pajak Bumi dan Bangunan sebesar Rp5.000 pertahun.

Selain itu dia juga sudah menghitung Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) rumahnya yang termasuk dalam semi permanen yaitu sekitar Rp70 juta.

"NJOP hanya Rp70 juta, karena itu saya dan saudara sudah mempersiapkan tanah di Citayam Depok warisan orang tua seluas 300 meter yang dibagi empat orang sebagai tempat tinggal," katanya.

Ketua RT 4 RW 12 Kelurahan Bukit Duri Nassamri (44) mengatakan semangat relokasi yang digulirkan Pemda DKI Jakarta harus berkorelasi positif dengan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat.

Nassamri yang tinggal sekitar 100 meter dari rumah Munir dan Zainal mengatakan apabila rencana itu benar-benar direalisasikan maka pemerintah harus menjamin mata pencarian warga sehingga mereka bisa hidup dengan layak.

"Pada dasarnya masyarakat Bukit Duri ingin bertahan di wilayahnya karena sudah turun temurun tinggal. Namun apabila relokasi itu jadi dilakukan maka harus memperhatikan kepentingan masyarakat," tegasnya yang sudah tinggal di Bukit Duri sejak 2001.

Dia menjelaskan rencana penggusuran itu pernah dibicarakan pemerintah di Kantor Kelurahan Bukit Duri sekitar 1,5 tahun lalu namun tidak ada kepastian hingga saat ini. Menurut dia, warga juga bertanya-tanya mengenai kejelasan rencana tersebut dan berharap ada solusi yang menguntungkan diantara kedua belah pihak.

"Warga asli di sini sudah ada yang tinggal sejak puluhan tahun. Pemda Jakarta harus mengayomi masyarakat dan jangan asal ngomong saja, APBD harus dikelola untuk kemaslahatan masyarakat," ujarnya.

Di satu sisi perayaan Idul Fitri bagi masyarakat Bukit Duri menjadi kegembiraan mereka karena mencapai hari kemenangan. Namun di sisi lain mereka harus menghadapi kekhawatiran adanya penggusuran di wilayah yang sudah puluhan tahun mereka tempati.

Solusi yang menguntungkan diantara kedua belah pihak menjadi tujuan utama dalam kebijakan mengatasi masalah banjir di wilayah tersebut. Warga di wilayah tersebut berjanji siap untuk berkomunikasi dengan Pemda Jakarta mengenai rencana penggusuran tersebut.