Jakarta (ANTARA) - Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengemukakan Bukit Kototabang, Sumatera Barat, terpilih menjadi salah satu dari 30 titik stasiun pemantau atmosfer global dalam mengamati perkembangan gas rumah kaca.

"Di seluruh dunia itu hanya ada 30 pengawas atau pemantau iklim, dan salah satu itu ada di Bukit Kototabang, Sumatera Barat, yang memonitor perkembangan gas rumah kaca," kata Dwikorita saat menyampaikan laporan ke Komisi V DPR RI di rapat dengar pendapat diikuti dalam jaringan (daring) Komisi V DPR RI di Jakarta, Selasa.

Dwikorita menyebut gas rumah kaca sebagai biang kerok dari perubahan iklim yang kini melanda dunia dan sedang diperdebatkan dalam Conference of the Parties (COP).

Gas rumah kaca adalah gas-gas yang ada di atmosfer bumi yang dapat menyerap dan memancarkan radiasi panas, menyebabkan efek rumah kaca. Efek ini membuat panas terperangkap di atmosfer, yang pada gilirannya dapat meningkatkan suhu bumi.

Baca juga: Dibantu Bank Dunia, Kaltim kurangi emisi gas rumah kaca berbasis lahan

Baca juga: Bappenas: Pertumbuhan ekonomi harus diiringi pemenuhan komitmen NZE


"Gas rumah kaca itu adalah biang kerok yang menyebabkan suhu naik dan terjadi perubahan iklim dan yang sekarang diperdebatkan di COP itu juga gas rumah kaca," katanya.

Dilansir dari laman BMKG, Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang (Global Atmosphere Watch) berjarak 17 km arah Utara Kota Bukittinggi dan lebih kurang 120 km Utara Kota Padang yang merupakan Ibu Kota Provinsi Sumatera Barat.

Stasiun yang berada di area terpencil itu terletak di daerah ekuatorial pada ketinggian 864,5 meter di atas permukaan laut dan 40 km dari garis pantai bagian Barat bertemperatur 16 sampai 25°C dengan variasi kelembaban lebih dari 80 persen.

Fasilitas yang tersedia meliputi bangunan yang cukup luas menyediakan ruang kantor, ruang rapat, dan laboratorium. Di area atap seluas 300 m2, terpasang inlet udara dan beberapa peralatan radiasi serta meteorologi.

Stasiun ini dapat dicapai dari jalan kecil yang tertutup untuk publik dan berjarak beberapa kilometer dari sebelah barat jalan utama antara Kota Padang dan Medan.

Stasiun ini merupakan bagian dari sistem monitoring dan riset yang dikoordinasi oleh World Meteorological Organization (WMO). Secara resmi mulai beroperasi sejak 7 Desember 1996, sebagai salah satu unit kerja dari BMKG.

Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang merupakan salah satu stasiun di daerah ekuatorial yang penting dalam program pengamatan atmosfer secara global karena secara umum pengukuran kondisi atmosfer dan kualitas udara di daerah ini sangat terbatas.

Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang bertugas melakukan observasi secara otomatis 24 jam per hari dengan didukung oleh peralatan yang canggih dan modern serta terkalibrasi.

Data pemantauan partikulat dilaporkan secara berkala ke Pusat Data Aerosol Dunia atau World Data Centre for Aerosols (WDCA) disponsori oleh WMO.*

Baca juga: Peran BPK dalam mengawal mitigasi perubahan iklim

Baca juga: BioCF-ISFL di Jambi dan praktik baik pengurangan emisi GRK