Artikel
Hilirisasi nilam bawa Aceh ke Pasar Dunia
Oleh Afut Syafril Nursyirwan
12 November 2024 19:01 WIB
Petani mengambil bagian pangkal dan tengah pucuk tanaman nilam (Pogostemon Cablin Benth) untuk memperbanyak bibit nilam secara vegetatif di Desa Cot Darat, Samatiga, Aceh Barat, Aceh, Selasa (12/11/2024). . ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/Spt. (ANTARA FOTO/SYIFA YULINNAS)
Aceh (ANTARA) - Tidak tampak begitu besar tanamannya, namun manfaat serta nilainya mampu menembus pasar dunia untuk mengharumkan nilai devisa. Bukan sekadar kiasan, harum atau wangi adalah fungsi utama daun nilam, yang mampu diolah menjadi minyak asiri sebagai penguat wewangian parfum.
Untuk kualitas nilam di Aceh, bahkan sudah teruji terbaik di dunia, karena geografis daerah itu sangat cocok untuk lahan pertanian, seperti nilam.
Di sebuah laboratorium, masih diselimuti aroma khas, Saifullah Muhammad, Kepala Atsiri Research Center (ARC) Universitas Syiah Kuala (USK), berdiri di antara hamparan tanaman nilam. Di balik tatapan tajamnya, tersimpan keyakinan akan potensi besar yang dimiliki tanaman ini.
Bagi dia, nilam bukan sekadar tanaman. Nilam adalah komoditas yang bisa mengubah nasib ribuan petani, jika kita mampu melihatnya lebih dari sekadar daun yang diolah mentah, penghiliran adalah kuncinya.
Saifullah telah mendedikasikan sebagian besar hidupnya untuk mempelajari dan mengembangkan minyak asiri di Indonesia. Di ARC USK, ia dan timnya tengah giat mengerjakan penghiliran nilam, proses mengolah nilam hingga menghasilkan produk bernilai tinggi yang siap bersaing di pasar global.
Menurut Saifullah, selama ini Indonesia masih terlalu fokus pada ekspor bahan mentah, tanpa nilai tambah. Padahal, jika standar penghiliran tercapai, maka petani memiliki peluang besar untuk mengubah nilam menjadi produk turunan yang jauh lebih berharga di pasar internasional.
Pentingnya penghiliran
Nilam adalah tanaman yang hanya tumbuh di daerah tropis, seperti Indonesia. Tumbuhan ini dikenal sebagai bahan utama minyak asiri yang digunakan dalam berbagai produk parfum, kosmetik, hingga aromaterapi.
Hanya saja, Nusantara hanya memperoleh sebagian kecil dari nilai global produk berbahan nilam. Selama bertahun-tahun, petani di Aceh dan daerah lain hanya bisa mengekspor minyak nilam mentah, tanpa diolah lebih lanjut, yang menyebabkan hilangnya potensi ekonomi besar.
Bayangkan jika kita mengekspor dalam bentuk produk jadi atau setengah jadi. Bukan hanya petani yang mendapat keuntungan lebih, tapi juga muncul lapangan pekerjaan baru dari industri pengolahan. Nilam bisa menjadi penyumbang devisa yang besar jika kita serius melakukan penghiliran.
Upaya penghiliran nilam di ARC USK dimulai dari hal sederhana, yaitu untuk meningkatkan kualitas daun nilam yang ditanam petani. Dengan memberikan pelatihan kepada para petani tentang teknik budi daya yang baik dan benar, ARC USK mampu menghasilkan daun nilam dengan kualitas terbaik.
Langkah berikutnya adalah proses distilasi yang canggih di fasilitas tersebut. Distilasi bukan sekadar memanaskan daun hingga keluar minyaknya. Pada proses ini juga menjaga kualitas, memastikan aroma dan konsistensi minyak tetap stabil.
Melalui teknologi yang dikembangkan di lembaga milik perguruan tinggi negeri tertua di Aceh itu, minyak nilam tidak lagi hanya dihasilkan sebagai bahan mentah. Kini, minyak ini dapat diproses lebih lanjut menjadi berbagai produk turunan, seperti parfum organik, minyak aromaterapi, hingga bahan baku untuk farmasi dan kosmetik.
Langkah penghiliran ini tidak hanya meningkatkan nilai jual, tetapi juga membuka peluang ekspor yang lebih luas.
Tidak harus selalu mengandalkan teknologi atau perangkat industri besar, pada tingkatan petani juga bisa melakukan penghiliran pada konsentrasi tertentu jika cara serta hasil tanam dilakukan dengan benar.
Saifullah dan tim selalu memberikan pelatihan pengolahan distilasi sederhana kepada petani, agar tidak menghasilkan minyak asiri yang asal-asalan, sehingga harga serta kualitas internasional bisa dicapai untuk standar pasar ekspor global.
Meskipun demikia, upaya penghiliran nilam bukanlah perjalanan yang mudah. Dukungan pemerintah menjadi salah satu kunci utama. Di waktu bersamaan, pemerintah mulai memberikan perhatian lebih pada pengembangan komoditas lokal dengan program-program yang mendukung semua upaya penghiliran.
Bantuan teknologi, subsidi, hingga pelatihan bagi petani adalah beberapa bentuk dukungan konkret yang saat ini diupayakan oleh pemerintah.
Selain itu, pusat kajian asiri juga bekerja sama dengan berbagai industri swasta dan akademisi untuk meningkatkan inovasi produk berbasis nilam. Dengan demikian, penghiliran ini bukanlah pekerjaan satu lembaga, melainkan kolaborasi antara petani, pemerintah, akademisi, dan sektor swasta.
Dalam kerja sama ini, ARC juga berupaya mengembangkan produk-produk ramah lingkungan yang dapat bersaing di pasar internasional. Mereka telah mulai mengembangkan parfum dan minyak asiri yang bebas dari bahan kimia berbahaya, mengingat permintaan global terhadap produk alami dan organik semakin meningkat.
Aceh, khususnya wilayah Gayo dan Pidie, telah lama dikenal sebagai penghasil nilam berkualitas tinggi. Berkat program penghiliran yang dipimpin oleh ARC USK, daerah itu, kini menjadi pionir dalam menghasilkan produk nilam yang siap ekspor.
Para petani yang dahulu hanya mengandalkan penjualan bahan mentah, kini mulai melihat hasil jerih payah mereka dalam beragam bentuk produk turunan, dengan harga jual jauh lebih tinggi.
Penghasilan petani meningkat signifikan. Mereka yang dulu hanya bisa menjual daun dan minyak mentah, kini mampu memperoleh keuntungan lebih dari hasil produk akhir yang mampu memberikan nilai tambah berupa minyak asiri.
Dampak ekonomi ini dirasakan tidak hanya oleh petani, tetapi juga masyarakat setempat yang bukan petani, karena lapangan pekerjaan baru turut terbuka di berbagai sektor pengolahan.
Meski manfaatnya sudah dirasakan, penghiliran nilam di Indonesia tidak lepas dari ujian dan tantangan yang harus dilalui. Salah satu tantangan terbesar adalah teknologi distilasi yang digunakan oleh ARC tergolong canggih, namun tidak semua wilayah memiliki akses ke teknologi ini.
Selain itu, biaya produksi produk turunan juga cenderung tinggi, sehingga harga jual produk penghiliran menjadi tantangan untuk pasar domestik.
Tidak sekadar hal tersebut, kualitas produk juga menjadi perhatian. Pasar internasional memiliki standar tinggi untuk produk minyak asiri, sehingga ARC perlu memastikan bahwa semua produk hasil hilirisasi memenuhi standar tersebut. Jika kualitas turun, kepercayaan konsumen juga akan hilang.
Meskipun tantangan yang dihadapi tidak sedikit, penghiliran nilam telah memberikan dampak positif secara ekonomi. Data menunjukkan bahwa nilai ekspor nilam dari Aceh meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dan ARC memperkirakan bahwa kontribusi nilam terhadap perekonomian daerah akan terus bertumbuh.
Dengan demikian, kita optimistis bahwa penghiliran nilam Indonesia memiliki masa depan yang bagus. Dengan meningkatnya permintaan global terhadap produk alami dan organik, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemasok utama produk minyak asiri berbasis nilam.
Dengan terus berinovasi dan mengembangkan produk turunan nilam, diyakni Aceh dapat menjadi pusat penghiliran nilam yang diakui dunia, sehingga nilam menjadi masa depan ekonomi hijau Indonesia.
Penghiliran bukan hanya soal peningkatan nilai jual, tetapi juga memberdayakan petani dan membuka peluang kerja baru. Nilam adalah komoditas yang telah lama kita miliki, namun kita baru saja mulai melihat potensi penuh dari tanaman ini lewat program penghiliran.
Untuk pasar ekspor, saat ini, Eropa masih paling menjanjikan. Koperasi Produsen Inovasi Nilam Aceh (Inovac), bahkan sudah bersinergi bersama PT Nat’ Green untuk membentuk anak usaha bernama PT UGreen Aromatics International (UGreen).
Kolaborasi ini berhasil mengirimkan ekspor pertama sebanyak 1,2 ton minyak nilam dan biji pala sebagai bahan baku parfum ke Prancis, dengan nilai mencapai Rp1 miliar. Ekspor rutin ini dilakukan setiap tiga bulan, meskipun tantangan produksi masih mengemuka di tingkat petani.
Ketua Koperasi Inovac Nadia mengungkapkan bahwa kapasitas produksi minyak nilam dari petani di bawah naungan koperasi belum mencukupi permintaan penuh dari Prancis yang mencapai 6 ton. Saat ini, produksi baru mampu mencapai 1 ton, didominasi dari wilayah Gayo, sedangkan daerah lain di Aceh masih dalam tahap pengembangan.
Koperasi yang berdiri sejak 2019 itu, kini memiliki lebih dari 500 anggota dari petani dan penyuling dalam naungannya, meski belum semua tercatat sebagai anggota resmi. Omzet koperasi mencapai Rp200 juta per bulan, terutama dari penjualan minyak nilam, biji pala, serta produk turunan, seperti parfum, minyak asiri, "body butter, dan body mist".
Upaya penghiliran nilam itu dirasakan manfaatnya oleh petani, dengan penghasilan sekali panen mencapai Rp40 juta hingga Rp60 juta, sebagaimana diakui oleh Soleh, salah satu petani nilam.
Emas hijau ini akan menemukan nilai tertingginya jika diolah serta dipasarkan secara tepat melalui kolaborasi bersama.
Untuk kualitas nilam di Aceh, bahkan sudah teruji terbaik di dunia, karena geografis daerah itu sangat cocok untuk lahan pertanian, seperti nilam.
Di sebuah laboratorium, masih diselimuti aroma khas, Saifullah Muhammad, Kepala Atsiri Research Center (ARC) Universitas Syiah Kuala (USK), berdiri di antara hamparan tanaman nilam. Di balik tatapan tajamnya, tersimpan keyakinan akan potensi besar yang dimiliki tanaman ini.
Bagi dia, nilam bukan sekadar tanaman. Nilam adalah komoditas yang bisa mengubah nasib ribuan petani, jika kita mampu melihatnya lebih dari sekadar daun yang diolah mentah, penghiliran adalah kuncinya.
Saifullah telah mendedikasikan sebagian besar hidupnya untuk mempelajari dan mengembangkan minyak asiri di Indonesia. Di ARC USK, ia dan timnya tengah giat mengerjakan penghiliran nilam, proses mengolah nilam hingga menghasilkan produk bernilai tinggi yang siap bersaing di pasar global.
Menurut Saifullah, selama ini Indonesia masih terlalu fokus pada ekspor bahan mentah, tanpa nilai tambah. Padahal, jika standar penghiliran tercapai, maka petani memiliki peluang besar untuk mengubah nilam menjadi produk turunan yang jauh lebih berharga di pasar internasional.
Pentingnya penghiliran
Nilam adalah tanaman yang hanya tumbuh di daerah tropis, seperti Indonesia. Tumbuhan ini dikenal sebagai bahan utama minyak asiri yang digunakan dalam berbagai produk parfum, kosmetik, hingga aromaterapi.
Hanya saja, Nusantara hanya memperoleh sebagian kecil dari nilai global produk berbahan nilam. Selama bertahun-tahun, petani di Aceh dan daerah lain hanya bisa mengekspor minyak nilam mentah, tanpa diolah lebih lanjut, yang menyebabkan hilangnya potensi ekonomi besar.
Bayangkan jika kita mengekspor dalam bentuk produk jadi atau setengah jadi. Bukan hanya petani yang mendapat keuntungan lebih, tapi juga muncul lapangan pekerjaan baru dari industri pengolahan. Nilam bisa menjadi penyumbang devisa yang besar jika kita serius melakukan penghiliran.
Upaya penghiliran nilam di ARC USK dimulai dari hal sederhana, yaitu untuk meningkatkan kualitas daun nilam yang ditanam petani. Dengan memberikan pelatihan kepada para petani tentang teknik budi daya yang baik dan benar, ARC USK mampu menghasilkan daun nilam dengan kualitas terbaik.
Langkah berikutnya adalah proses distilasi yang canggih di fasilitas tersebut. Distilasi bukan sekadar memanaskan daun hingga keluar minyaknya. Pada proses ini juga menjaga kualitas, memastikan aroma dan konsistensi minyak tetap stabil.
Melalui teknologi yang dikembangkan di lembaga milik perguruan tinggi negeri tertua di Aceh itu, minyak nilam tidak lagi hanya dihasilkan sebagai bahan mentah. Kini, minyak ini dapat diproses lebih lanjut menjadi berbagai produk turunan, seperti parfum organik, minyak aromaterapi, hingga bahan baku untuk farmasi dan kosmetik.
Langkah penghiliran ini tidak hanya meningkatkan nilai jual, tetapi juga membuka peluang ekspor yang lebih luas.
Tidak harus selalu mengandalkan teknologi atau perangkat industri besar, pada tingkatan petani juga bisa melakukan penghiliran pada konsentrasi tertentu jika cara serta hasil tanam dilakukan dengan benar.
Saifullah dan tim selalu memberikan pelatihan pengolahan distilasi sederhana kepada petani, agar tidak menghasilkan minyak asiri yang asal-asalan, sehingga harga serta kualitas internasional bisa dicapai untuk standar pasar ekspor global.
Meskipun demikia, upaya penghiliran nilam bukanlah perjalanan yang mudah. Dukungan pemerintah menjadi salah satu kunci utama. Di waktu bersamaan, pemerintah mulai memberikan perhatian lebih pada pengembangan komoditas lokal dengan program-program yang mendukung semua upaya penghiliran.
Bantuan teknologi, subsidi, hingga pelatihan bagi petani adalah beberapa bentuk dukungan konkret yang saat ini diupayakan oleh pemerintah.
Selain itu, pusat kajian asiri juga bekerja sama dengan berbagai industri swasta dan akademisi untuk meningkatkan inovasi produk berbasis nilam. Dengan demikian, penghiliran ini bukanlah pekerjaan satu lembaga, melainkan kolaborasi antara petani, pemerintah, akademisi, dan sektor swasta.
Dalam kerja sama ini, ARC juga berupaya mengembangkan produk-produk ramah lingkungan yang dapat bersaing di pasar internasional. Mereka telah mulai mengembangkan parfum dan minyak asiri yang bebas dari bahan kimia berbahaya, mengingat permintaan global terhadap produk alami dan organik semakin meningkat.
Aceh, khususnya wilayah Gayo dan Pidie, telah lama dikenal sebagai penghasil nilam berkualitas tinggi. Berkat program penghiliran yang dipimpin oleh ARC USK, daerah itu, kini menjadi pionir dalam menghasilkan produk nilam yang siap ekspor.
Para petani yang dahulu hanya mengandalkan penjualan bahan mentah, kini mulai melihat hasil jerih payah mereka dalam beragam bentuk produk turunan, dengan harga jual jauh lebih tinggi.
Penghasilan petani meningkat signifikan. Mereka yang dulu hanya bisa menjual daun dan minyak mentah, kini mampu memperoleh keuntungan lebih dari hasil produk akhir yang mampu memberikan nilai tambah berupa minyak asiri.
Dampak ekonomi ini dirasakan tidak hanya oleh petani, tetapi juga masyarakat setempat yang bukan petani, karena lapangan pekerjaan baru turut terbuka di berbagai sektor pengolahan.
Meski manfaatnya sudah dirasakan, penghiliran nilam di Indonesia tidak lepas dari ujian dan tantangan yang harus dilalui. Salah satu tantangan terbesar adalah teknologi distilasi yang digunakan oleh ARC tergolong canggih, namun tidak semua wilayah memiliki akses ke teknologi ini.
Selain itu, biaya produksi produk turunan juga cenderung tinggi, sehingga harga jual produk penghiliran menjadi tantangan untuk pasar domestik.
Tidak sekadar hal tersebut, kualitas produk juga menjadi perhatian. Pasar internasional memiliki standar tinggi untuk produk minyak asiri, sehingga ARC perlu memastikan bahwa semua produk hasil hilirisasi memenuhi standar tersebut. Jika kualitas turun, kepercayaan konsumen juga akan hilang.
Meskipun tantangan yang dihadapi tidak sedikit, penghiliran nilam telah memberikan dampak positif secara ekonomi. Data menunjukkan bahwa nilai ekspor nilam dari Aceh meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dan ARC memperkirakan bahwa kontribusi nilam terhadap perekonomian daerah akan terus bertumbuh.
Dengan demikian, kita optimistis bahwa penghiliran nilam Indonesia memiliki masa depan yang bagus. Dengan meningkatnya permintaan global terhadap produk alami dan organik, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemasok utama produk minyak asiri berbasis nilam.
Dengan terus berinovasi dan mengembangkan produk turunan nilam, diyakni Aceh dapat menjadi pusat penghiliran nilam yang diakui dunia, sehingga nilam menjadi masa depan ekonomi hijau Indonesia.
Penghiliran bukan hanya soal peningkatan nilai jual, tetapi juga memberdayakan petani dan membuka peluang kerja baru. Nilam adalah komoditas yang telah lama kita miliki, namun kita baru saja mulai melihat potensi penuh dari tanaman ini lewat program penghiliran.
Untuk pasar ekspor, saat ini, Eropa masih paling menjanjikan. Koperasi Produsen Inovasi Nilam Aceh (Inovac), bahkan sudah bersinergi bersama PT Nat’ Green untuk membentuk anak usaha bernama PT UGreen Aromatics International (UGreen).
Kolaborasi ini berhasil mengirimkan ekspor pertama sebanyak 1,2 ton minyak nilam dan biji pala sebagai bahan baku parfum ke Prancis, dengan nilai mencapai Rp1 miliar. Ekspor rutin ini dilakukan setiap tiga bulan, meskipun tantangan produksi masih mengemuka di tingkat petani.
Ketua Koperasi Inovac Nadia mengungkapkan bahwa kapasitas produksi minyak nilam dari petani di bawah naungan koperasi belum mencukupi permintaan penuh dari Prancis yang mencapai 6 ton. Saat ini, produksi baru mampu mencapai 1 ton, didominasi dari wilayah Gayo, sedangkan daerah lain di Aceh masih dalam tahap pengembangan.
Koperasi yang berdiri sejak 2019 itu, kini memiliki lebih dari 500 anggota dari petani dan penyuling dalam naungannya, meski belum semua tercatat sebagai anggota resmi. Omzet koperasi mencapai Rp200 juta per bulan, terutama dari penjualan minyak nilam, biji pala, serta produk turunan, seperti parfum, minyak asiri, "body butter, dan body mist".
Upaya penghiliran nilam itu dirasakan manfaatnya oleh petani, dengan penghasilan sekali panen mencapai Rp40 juta hingga Rp60 juta, sebagaimana diakui oleh Soleh, salah satu petani nilam.
Emas hijau ini akan menemukan nilai tertingginya jika diolah serta dipasarkan secara tepat melalui kolaborasi bersama.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024
Tags: