UNGA serukan solusi diplomatik di tengah eskalasi konflik global
12 November 2024 16:31 WIB
Presiden sesi ke-79 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations General Assembly/UNGA) Philemon Yang saat berpidato pada Konferensi Tingkat Tinggi untuk Masa Depan di markas PBB di New York, Amerika Serikat, pada 22 September 2024. (ANTARA/Xinhua/Wu Xiaoling)
PBB (ANTARA) - Presiden sesi ke-79 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations General Assembly/UNGA) Philemon Yang menyatakan keprihatinan yang mendalam terkait konflik kekerasan yang sedang berlangsung di Gaza, Lebanon, Sudan, dan Ukraina, sembari menekankan bahwa negosiasi dan diplomasi harus diutamakan alih-alih penggunaan kekuatan.
"Daftar ini bukanlah daftar yang lengkap. Sayangnya, ada banyak konflik lainnya di seluruh dunia yang memerlukan perhatian kita," ujar Yang kepada Xinhua dalam sebuah sesi wawancara belum lama ini.
Dia juga sangat menyesalkan pelanggaran terhadap hukum internasional, resolusi PBB, dan Piagam PBB yang terus berlanjut.
"Impunitas telah menjadi suatu hal biasa yang membahayakan kehidupan jutaan warga sipil di seluruh dunia. Konflik-konflik tersebut tidak hanya merenggut nyawa mereka tetapi juga menjadi kemunduran besar bagi pembangunan berkelanjutan di banyak negara yang mengalami dampak buruk perang," tutur Yang.
Menegaskan kembali pernyataan yang sebelumnya disampaikan pada penutupan Debat Umum UNGA tahun ini, Yang menuturkan bahwa "negosiasi dan solusi diplomatik harus diutamakan alih-alih (penggunaan) kekuatan".
"Piagam PBB memberikan mandat kepada negara-negara anggota (PBB) untuk menyelesaikan perselisihan mereka secara damai," ujarnya, seraya mendesak negara-negara untuk memprioritaskan diplomasi pada setiap kesempatan.
"Hal terbaik adalah menghindari perang dan duduk di meja perundingan untuk menyelesaikan masalah yang menjadi perhatian," kata Yang menambahkan.
Yang juga menekankan pencegahan perang nuklir di tengah semua konflik tersebut.
"Kita memerlukan langkah nyata untuk mencegah perang nuklir atau penggunaan senjata nuklir dalam bentuk apa pun, namun, negara-negara pemilik senjata nuklir harus bertindak sebagai pelopor. Kita mengandalkan negara-negara anggota (PBB) seperti China untuk mencegah retorika yang tidak bertanggung jawab. Perang nuklir tidak dapat dimenangkan dan tidak boleh dilancarkan," kata Yang.
"Kita juga mengandalkan semua negara untuk menjunjung tinggi norma dan instrumen yang ada guna mengatur senjata konvensional dan mematuhi komitmen mereka terkait perlucutan senjata kemanusiaan demi melindungi warga sipil," ujar Yang.
Menanggapi peran PBB dalam menghadapi tantangan semacam itu, Yang menggarisbawahi bahwa "multilateralisme dan dialog, yang didasarkan pada hukum internasional dan Piagam PBB, tetap penting dan merupakan satu-satunya cara ke depan untuk mewujudkan perdamaian dan keamanan yang langgeng bagi semua pihak".
"Sebagai presiden Majelis Umum PBB, saya merasa senang Majelis Umum PBB turun tangan saat Dewan Keamanan PBB mengalami kebuntuan. Hal ini menunjukkan bahwa Majelis Umum PBB juga memiliki peran dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Kendati demikian, saya juga berharap Dewan Keamanan PBB memikul tanggung jawab utamanya," kata Yang.
"Daftar ini bukanlah daftar yang lengkap. Sayangnya, ada banyak konflik lainnya di seluruh dunia yang memerlukan perhatian kita," ujar Yang kepada Xinhua dalam sebuah sesi wawancara belum lama ini.
Dia juga sangat menyesalkan pelanggaran terhadap hukum internasional, resolusi PBB, dan Piagam PBB yang terus berlanjut.
"Impunitas telah menjadi suatu hal biasa yang membahayakan kehidupan jutaan warga sipil di seluruh dunia. Konflik-konflik tersebut tidak hanya merenggut nyawa mereka tetapi juga menjadi kemunduran besar bagi pembangunan berkelanjutan di banyak negara yang mengalami dampak buruk perang," tutur Yang.
Menegaskan kembali pernyataan yang sebelumnya disampaikan pada penutupan Debat Umum UNGA tahun ini, Yang menuturkan bahwa "negosiasi dan solusi diplomatik harus diutamakan alih-alih (penggunaan) kekuatan".
"Piagam PBB memberikan mandat kepada negara-negara anggota (PBB) untuk menyelesaikan perselisihan mereka secara damai," ujarnya, seraya mendesak negara-negara untuk memprioritaskan diplomasi pada setiap kesempatan.
"Hal terbaik adalah menghindari perang dan duduk di meja perundingan untuk menyelesaikan masalah yang menjadi perhatian," kata Yang menambahkan.
Yang juga menekankan pencegahan perang nuklir di tengah semua konflik tersebut.
"Kita memerlukan langkah nyata untuk mencegah perang nuklir atau penggunaan senjata nuklir dalam bentuk apa pun, namun, negara-negara pemilik senjata nuklir harus bertindak sebagai pelopor. Kita mengandalkan negara-negara anggota (PBB) seperti China untuk mencegah retorika yang tidak bertanggung jawab. Perang nuklir tidak dapat dimenangkan dan tidak boleh dilancarkan," kata Yang.
"Kita juga mengandalkan semua negara untuk menjunjung tinggi norma dan instrumen yang ada guna mengatur senjata konvensional dan mematuhi komitmen mereka terkait perlucutan senjata kemanusiaan demi melindungi warga sipil," ujar Yang.
Menanggapi peran PBB dalam menghadapi tantangan semacam itu, Yang menggarisbawahi bahwa "multilateralisme dan dialog, yang didasarkan pada hukum internasional dan Piagam PBB, tetap penting dan merupakan satu-satunya cara ke depan untuk mewujudkan perdamaian dan keamanan yang langgeng bagi semua pihak".
"Sebagai presiden Majelis Umum PBB, saya merasa senang Majelis Umum PBB turun tangan saat Dewan Keamanan PBB mengalami kebuntuan. Hal ini menunjukkan bahwa Majelis Umum PBB juga memiliki peran dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Kendati demikian, saya juga berharap Dewan Keamanan PBB memikul tanggung jawab utamanya," kata Yang.
Penerjemah: Xinhua
Editor: Natisha Andarningtyas
Copyright © ANTARA 2024
Tags: