BRIN: Waktu terbaik edukasi kesadaran bencana sejak PAUD
12 November 2024 16:14 WIB
Ilustrasi: Anggota Taruna Siaga Bencana (Tagana) memberikan edukasi perlindungan kepala kepada siswa saat mengikuti simulasi mitigasi bencana gempa di SDN Kedaung Wetan 2, Kota Tangerang, Banten, Selasa (15/10/2024). . ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/agr
Jakarta (ANTARA) - Anggota Pusat Riset Pendidikan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Aldila Rahma mengatakan waktu yang paling baik dalam mengenalkan kesadaran bencana adalah ketika anak masuk ke dalam tahap pendidikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
“Tahapan untuk memberikan kesadaran bencana itu, kalau bisa sedini mungkin dari anak usia dini atau ketika PAUD,” kata Aldila Rahma saat diskusi secara daring yang dipantau dari Jakarta, Selasa.
Dengan pengenalan sejak dini untuk menghadapi situasi bencana alam yang ada di wilayahnya, kata dia, murid-murid yang memang masih menjadi tanggung jawab guru di satuan pendidikan itu menjadi merasa memiliki kepercayaan diri untuk menghadapi situasi yang memang tidak diharapkan oleh semua pihak.
Baca juga: PAUD pun belajar siaga bencana
Hal ini dilakukan, lanjut dia, karena Indonesia memiliki area yang diapit dengan berbagai lempengan dari Eurasia di sebelah utara, lempeng Pasifik di sebelah timur dan lempeng Hindia Australia yang berada di sebelah selatan.
Oleh karena itu, menurut dia, penting memberikan kesadaran dan juga pendidikan serta cara bertahan dalam menghadapi situasi ketika bencana tersebut melanda wilayah Indonesia.
Untuk memberikan berbagai pengetahuan dan pemahaman dalam menghadapi situasi tersebut, kata dia, berbagai simulasi bencana juga harus dilaksanakan di berbagai satuan pendidikan yang ada di Indonesia.
Baca juga: Menko PMK: Edukasi kesiapsiagaan bencana bisa dilakukan melalui seni
Meski begitu, menurut dia, keterlibatan berbagai pihak dalam memberikan edukasi terkait hal tersebut perlu untuk dikolaborasikan, sehingga murid-murid sekolah dapat memahami dan mengetahui apa yang harus mereka lakukan ketika hal tersebut terjadi.
Aldila mengatakan melakukan simulasi juga tidak bisa dilakukan tanpa perencanaan yang matang. Dalam pengalamannya, ketika sebuah sekolah salah menjalankan simulasi sebuah bencana dapat menimbulkan trauma pada anak usia dini.
“Dulu pernah ada simulasi bencana gempa, tanpa adanya persiapan simulasi yang matang, anak-anak itu justru menjadi trauma dan takut untuk datang ke sekolah. Oleh karena itu, kalau melakukan hal seperti itu tidak bisa hanya dilakukan oleh sekolah itu sendiri, harus ada pihak PMI, BPBD, hingga Babintakmitbnas, dan penting untuk memberikan informasi ke wilayah sekitar,” ujar Aldila Rahma.
Baca juga: Banyuwangi edukasi warga dengan simulasi evakuasi gempa megathrust
“Tahapan untuk memberikan kesadaran bencana itu, kalau bisa sedini mungkin dari anak usia dini atau ketika PAUD,” kata Aldila Rahma saat diskusi secara daring yang dipantau dari Jakarta, Selasa.
Dengan pengenalan sejak dini untuk menghadapi situasi bencana alam yang ada di wilayahnya, kata dia, murid-murid yang memang masih menjadi tanggung jawab guru di satuan pendidikan itu menjadi merasa memiliki kepercayaan diri untuk menghadapi situasi yang memang tidak diharapkan oleh semua pihak.
Baca juga: PAUD pun belajar siaga bencana
Hal ini dilakukan, lanjut dia, karena Indonesia memiliki area yang diapit dengan berbagai lempengan dari Eurasia di sebelah utara, lempeng Pasifik di sebelah timur dan lempeng Hindia Australia yang berada di sebelah selatan.
Oleh karena itu, menurut dia, penting memberikan kesadaran dan juga pendidikan serta cara bertahan dalam menghadapi situasi ketika bencana tersebut melanda wilayah Indonesia.
Untuk memberikan berbagai pengetahuan dan pemahaman dalam menghadapi situasi tersebut, kata dia, berbagai simulasi bencana juga harus dilaksanakan di berbagai satuan pendidikan yang ada di Indonesia.
Baca juga: Menko PMK: Edukasi kesiapsiagaan bencana bisa dilakukan melalui seni
Meski begitu, menurut dia, keterlibatan berbagai pihak dalam memberikan edukasi terkait hal tersebut perlu untuk dikolaborasikan, sehingga murid-murid sekolah dapat memahami dan mengetahui apa yang harus mereka lakukan ketika hal tersebut terjadi.
Aldila mengatakan melakukan simulasi juga tidak bisa dilakukan tanpa perencanaan yang matang. Dalam pengalamannya, ketika sebuah sekolah salah menjalankan simulasi sebuah bencana dapat menimbulkan trauma pada anak usia dini.
“Dulu pernah ada simulasi bencana gempa, tanpa adanya persiapan simulasi yang matang, anak-anak itu justru menjadi trauma dan takut untuk datang ke sekolah. Oleh karena itu, kalau melakukan hal seperti itu tidak bisa hanya dilakukan oleh sekolah itu sendiri, harus ada pihak PMI, BPBD, hingga Babintakmitbnas, dan penting untuk memberikan informasi ke wilayah sekitar,” ujar Aldila Rahma.
Baca juga: Banyuwangi edukasi warga dengan simulasi evakuasi gempa megathrust
Pewarta: Chairul Rohman
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2024
Tags: