Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Sejarah Peradaban Islam, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon, Prof. Didin Nurul Rosidin mengatakan, aparat penegak hukum harus konsisten dalam memberantas pergerakan organisasi terlarang, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI).

Menurut Didin, penegak hukum mesti tegas melaksanakan keputusan pemerintah yang telah menyatakan dua organisasi itu dilarang. Oleh sebab itu, tidak boleh ada bendera, logo, kantor, atau hal lainnya yang mengatasnamakan organisasi tersebut karena sudah tidak diakui secara hukum.

“Apa pun yang sifatnya memang secara aturan dilarang maka konsistensi dan komitmen dari aparat penegak hukum untuk menegakkan aturan itu menjadi tantangan tersendiri. Hal ini sekaligus juga menjadi tuntutan,” kata Didin sebagaimana keterangan tertulis diterima di Jakarta, Selasa.

Selain itu, Didin juga mengatakan masyarakat dan pemerintah perlu menyadari bahwa kejahatan yang bersifat ideologis, termasuk radikalisme dan terorisme, lebih sulit untuk ditindak. Hal ini karena kejahatan tersebut sukar dikenali dibanding jenis kejahatan lainnya yang tampak, seperti kriminalitas.

Menurut dia, Indonesia harus lebih matang dalam menyikapi luasnya informasi di dunia maya. Pasalnya, pemahaman radikalisme dan terorisme tidak berhenti dalam satu bentuk, melainkan terus bertransformasi dan bermetamorfosis agar mudah menyebar dan diterima masyarakat luas.

Ia melanjutkan, realitas harus disikapi secara bijak. Pemblokiran atau pemutusan akses terhadap hal-hal yang dianggap terlarang atau bertentangan dengan peraturan negara perlu dibarengi dengan peningkatan pengetahuan tentang alasan mendasar hal tersebut dilarang.

“Pengetahuan atau peningkatan pengetahuan tentang hal-hal yang dilarang itu adalah penting untuk melakukan antisipasi. Maka, kalau misalnya HTI dilarang, kenapa atau apanya yang dilarang? Apa yang bertentangan? Apa yang berbeda? Apa yang memang ditolak? Ini perlu dijelaskan ke masyarakat,” katanya.

Dalam kondisi ini, menurut Didin, pemerintah dan penegak hukum harus melakukan kontra narasi radikalisme dan terorisme melalui edukasi. Ia menyarankan, ketika dekonstruksi ideologi radikal telah dilakukan maka dilanjutkan dengan rekonstruksi pemikiran agar kembali moderat.

“Misalnya tentang ideologi Pancasila, apa kebaikan dari ideologi Pancasila? Mengapa Indonesia menjadikan ideologi Pancasila sebagai dasar? Mengapa Indonesia menjadikan undang undang dasar sebagai konstitusi? Ini yang saya rasa penting disampaikan pada masyarakat luas,” tuturnya.

Pernyataan tersebut disampaikan Didin karena, menurut dia, penyebaran radikalisme di kalangan remaja masih dimotori oleh pihak yang sama, yakni HTI dan FPI.

“Pemerintah sekitar tahun 2017 dan 2019 sudah menyatakan dan membuat keputusan untuk melarang keberadaan dari kedua organisasi ini. Artinya, sudah dianggap ilegal. Tentu ketika organisasi ini dianggap ilegal, maka segala hal terkait dengan kegiatan mereka menjadi dilarang,” ucapnya.