Kemenkes terima masukan guna tingkatkan transformasi digital inklusif
12 November 2024 10:33 WIB
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono (tengah), Kepala Perwakilan UNDP Indonesia Norimasa Shimamura (kanan), dan Chief of Digital Transformation Office Kemenkes Setiaji (kiri) dalam acara UNDP Indonesia Policy Volume yang mengusung tema Bright Prospect, Lingering Shadows: Toward an Inclusive Digital Transformation in Indonesia di Jakarta, Senin (11/11/2024). ANTARA/HO-Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes)
Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengatakan pihaknya menyambut baik berbagai masukan terkait kebijakan kesehatan dari lembaga seperti UNDP, yang dapat memberikan gambaran mengenai kesenjangan digital di masyarakat, yang sangat bermanfaat dalam proses penyusunan kebijakan.
Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa, Dante mengatakan bahwa keberlanjutan dalam pengembangan transformasi digital yang inklusif penting agar manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat. Menurut dia, berbagai kemajuan harus dapat dirasakan banyak orang, dan tidak boleh ada satupun yang tertinggal.
“Dengan memfasilitasi konektivitas, integrasi data, dan layanan kesehatan yang dapat diakses secara nasional, kita berjuang merealisasikan visi Indonesia sehat untuk mendukung pilar keenam transformasi kesehatan, yaitu transformasi teknologi kesehatan,” kata Dante.
Baca juga: Kemenkes luncurkan Proses Bisnis HTA Satu Pintu Satu Standar
Oleh karena itu, katanya, salah satu langkah yang telah diambil oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah penerbitan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/1568/2024 tentang Sistem Monitoring Inventaris Logistik Kesehatan secara Elektronik.
“Bersama-sama kita dapat menjembatani kesenjangan digital, menjunjung tinggi standar etika, dan mengatasi polarisasi sosial, memastikan manfaat transformasi digital dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia,” kata dia.
Kepala Perwakilan UNDP Indonesia Norimasa Shimamura menyoroti tiga hal yang menghambat proses publikasi kebijakan, yaitu kesenjangan digital, standar etika, dan polarisasi. Menurut Norimasa, transformasi digital dapat menjadi sarana efektif untuk menghubungkan berbagai kebijakan dengan masyarakat.
“Kita perlu mengatasi kesenjangan digital, memperkuat standar etika, dan melawan polarisasi dengan memanfaatkan transformasi digital bagi seluruh masyarakat Indonesia,” katanya.
Baca juga: Kemenkes luncurkan INACRC untuk majukan riset klinis di Tanah Air
Dia juga menyampaikan empat hal yang menjadi perhatian UNDP terkait isu kesenjangan digital. Pertama, kesenjangan akses digital, yakni pengguna internet di Jakarta mencapai 84,7 persen, sementara di Papua hanya 26,5 persen untuk pengguna berusia di atas lima tahun.
Kedua, kesenjangan gender dan usia. Pada 2022, katanya, kesenjangan akses internet antara laki-laki dan perempuan mulai berkurang, yaitu sebesar 63,8 persen untuk laki-laki dan 63,5 persen untuk perempuan.
Namun, kata dia, perempuan lanjut usia yang tinggal di daerah perdesaan dan perempuan dengan pendidikan formal yang lebih rendah masih menghadapi hambatan signifikan terhadap akses digital.
Ketiga, risiko disinformasi atau hoaks. Dia memperkirakan sekitar 82 juta penduduk Indonesia rentan terhadap propaganda digital, terutama menjelang Pemilu 2024. Gen Z, yang jumlahnya mencapai 27,94 persen dari total penduduk Indonesia, menjadi kelompok yang paling rentan.
Baca juga: Wamenkes: Pelibatan publik percepat pengembangan inovasi kesehatan
Keempat, polarisasi dan efek ruang gema (echo chambers). Norimasa menyebutkan platform daring dapat memperkuat ruang gema politik, mengisolasi pengguna dalam kelompok dengan pandangan atau pemikiran yang sama, sehingga berpotensi memperdalam kesenjangan sosial dan membatasi terciptanya ruang dialog.
Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa, Dante mengatakan bahwa keberlanjutan dalam pengembangan transformasi digital yang inklusif penting agar manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat. Menurut dia, berbagai kemajuan harus dapat dirasakan banyak orang, dan tidak boleh ada satupun yang tertinggal.
“Dengan memfasilitasi konektivitas, integrasi data, dan layanan kesehatan yang dapat diakses secara nasional, kita berjuang merealisasikan visi Indonesia sehat untuk mendukung pilar keenam transformasi kesehatan, yaitu transformasi teknologi kesehatan,” kata Dante.
Baca juga: Kemenkes luncurkan Proses Bisnis HTA Satu Pintu Satu Standar
Oleh karena itu, katanya, salah satu langkah yang telah diambil oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah penerbitan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/1568/2024 tentang Sistem Monitoring Inventaris Logistik Kesehatan secara Elektronik.
“Bersama-sama kita dapat menjembatani kesenjangan digital, menjunjung tinggi standar etika, dan mengatasi polarisasi sosial, memastikan manfaat transformasi digital dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia,” kata dia.
Kepala Perwakilan UNDP Indonesia Norimasa Shimamura menyoroti tiga hal yang menghambat proses publikasi kebijakan, yaitu kesenjangan digital, standar etika, dan polarisasi. Menurut Norimasa, transformasi digital dapat menjadi sarana efektif untuk menghubungkan berbagai kebijakan dengan masyarakat.
“Kita perlu mengatasi kesenjangan digital, memperkuat standar etika, dan melawan polarisasi dengan memanfaatkan transformasi digital bagi seluruh masyarakat Indonesia,” katanya.
Baca juga: Kemenkes luncurkan INACRC untuk majukan riset klinis di Tanah Air
Dia juga menyampaikan empat hal yang menjadi perhatian UNDP terkait isu kesenjangan digital. Pertama, kesenjangan akses digital, yakni pengguna internet di Jakarta mencapai 84,7 persen, sementara di Papua hanya 26,5 persen untuk pengguna berusia di atas lima tahun.
Kedua, kesenjangan gender dan usia. Pada 2022, katanya, kesenjangan akses internet antara laki-laki dan perempuan mulai berkurang, yaitu sebesar 63,8 persen untuk laki-laki dan 63,5 persen untuk perempuan.
Namun, kata dia, perempuan lanjut usia yang tinggal di daerah perdesaan dan perempuan dengan pendidikan formal yang lebih rendah masih menghadapi hambatan signifikan terhadap akses digital.
Ketiga, risiko disinformasi atau hoaks. Dia memperkirakan sekitar 82 juta penduduk Indonesia rentan terhadap propaganda digital, terutama menjelang Pemilu 2024. Gen Z, yang jumlahnya mencapai 27,94 persen dari total penduduk Indonesia, menjadi kelompok yang paling rentan.
Baca juga: Wamenkes: Pelibatan publik percepat pengembangan inovasi kesehatan
Keempat, polarisasi dan efek ruang gema (echo chambers). Norimasa menyebutkan platform daring dapat memperkuat ruang gema politik, mengisolasi pengguna dalam kelompok dengan pandangan atau pemikiran yang sama, sehingga berpotensi memperdalam kesenjangan sosial dan membatasi terciptanya ruang dialog.
Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2024
Tags: