RI targetkan kematian balita akibat pneumonia turun pada 2030
11 November 2024 15:03 WIB
Arsip foto - Pelayanan kesehatan imunisasi dasar dan PCV bayi melalui oral maupun suntikan di Posyandu Mawar 1, Desa Kerembong, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Senin (26/2/2024). ANTARA/Hana Kinarina/am.
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan mengatakan, Indonesia memiliki target ambisius untuk menurunkan angka kematian balita akibat pneumonia menjadi tiga per seribu kelahiran hidup serta menurunkan insiden pneumonia berat pada balita sebesar 75 persen dibandingkan insiden pada 2019.
Dalam konferensi pers daring di Jakarta, Senin, Plt. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Yudhi Pramono menyebutkan bahwa pneumonia adalah penyakit infeksi pada paru-paru yang masih menjadi penyebab utama kesakitan dan kematian pada bayi dan anak-anak di dunia.
"Pneumonia ini juga merupakan penyebab dari hampir sepertiga atau sekitar 29 persen dari kematian balita dengan sekitar 2 juta anak kehilangan nyawa setiap tahun," kata Yudhi.
Baca juga: Anak dengan PJB perlu dapat imunisasi guna cegah infeksi paru-paru
Baca juga: Imunisasi penting pada anak PJB untuk cegah pneumonia
Dia mengutip data 2019 dari UNICEF, yang menunjukkan bahwa diperkirakan ada da 2.200 anak meninggal dari pneumonia setiap harinya. Kemudian, katanya, data WHO 2021 menunjukkan bahwa penyakit tersebut mengakibatkan kurang lebih 740 ribu kematian balita.
"Pada kurun waktu 2018-2022, untuk pembiayaan terhadap penyakit pernafasan meningkat secara signifikan dan cenderung naik setiap tahunnya. Dan pneumonia ini menduduki turutan pertama dari data BPJS Kesehatan tahun 2023. Pneumonia menelan biaya sekitar kurang lebih Rp8,7 triliun dan untuk TB sekitar Rp5,2 triliun," dia menambahkan.
Untuk penyakit paru obstruksi kronis, katanya, biayanya sekitar Rp1,8 triliun, serangan asma Rp1,4 triliun, dan kanker paru sekitar Rp766 miliar.
Oleh karena itu, katanya, pencegahan dan pengendalian pneumonia harus diperhatikan, dan kerja sama lintas sektor perlu ditingkatkan.
"Mengingat untuk pengendalian faktor risiko pneumonia yaitu meliputi pemberian ASI eksklusif, pemberian makanan tambahan, pemberian imunisasi," ujarnya.
Selain itu, asap rokok, polusi dalam maupun luar ruangan, kepadatan penduduk, serta terkait rumah sehat yang memiliki ventilasi dan pencahayaan yang cukup.
Dalam penanganan pneumonia secara efektif, WHO dan UNICEF mengadakan rencana aksi global guna pencegahan, pelindungan, dan pengobatan. Selain itu, Indonesia juga turut berkomitmen untuk mencapai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang ketiga, khususnya mengakhiri kematian yang dapat dicegah pada bayi baru lahir dan anak balita hingga setidaknya 25 per seribu kelahiran hidup pada tahun 2030 ini.
"Ini juga mencakup upaya untuk menurunkan anggap kematian balita akibat pneumonia," dia menambahkan.
Baca juga: Pneumonia disebabkan mandi malam hari hanya mitos
Baca juga: Pakar sarankan calon haji pakai masker demi cegah ISPA dan pneumonia
Baca juga: Masyarakat Jakarta bisa dapatkan vaksin pneumonia secara gratis
Dalam konferensi pers daring di Jakarta, Senin, Plt. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Yudhi Pramono menyebutkan bahwa pneumonia adalah penyakit infeksi pada paru-paru yang masih menjadi penyebab utama kesakitan dan kematian pada bayi dan anak-anak di dunia.
"Pneumonia ini juga merupakan penyebab dari hampir sepertiga atau sekitar 29 persen dari kematian balita dengan sekitar 2 juta anak kehilangan nyawa setiap tahun," kata Yudhi.
Baca juga: Anak dengan PJB perlu dapat imunisasi guna cegah infeksi paru-paru
Baca juga: Imunisasi penting pada anak PJB untuk cegah pneumonia
Dia mengutip data 2019 dari UNICEF, yang menunjukkan bahwa diperkirakan ada da 2.200 anak meninggal dari pneumonia setiap harinya. Kemudian, katanya, data WHO 2021 menunjukkan bahwa penyakit tersebut mengakibatkan kurang lebih 740 ribu kematian balita.
"Pada kurun waktu 2018-2022, untuk pembiayaan terhadap penyakit pernafasan meningkat secara signifikan dan cenderung naik setiap tahunnya. Dan pneumonia ini menduduki turutan pertama dari data BPJS Kesehatan tahun 2023. Pneumonia menelan biaya sekitar kurang lebih Rp8,7 triliun dan untuk TB sekitar Rp5,2 triliun," dia menambahkan.
Untuk penyakit paru obstruksi kronis, katanya, biayanya sekitar Rp1,8 triliun, serangan asma Rp1,4 triliun, dan kanker paru sekitar Rp766 miliar.
Oleh karena itu, katanya, pencegahan dan pengendalian pneumonia harus diperhatikan, dan kerja sama lintas sektor perlu ditingkatkan.
"Mengingat untuk pengendalian faktor risiko pneumonia yaitu meliputi pemberian ASI eksklusif, pemberian makanan tambahan, pemberian imunisasi," ujarnya.
Selain itu, asap rokok, polusi dalam maupun luar ruangan, kepadatan penduduk, serta terkait rumah sehat yang memiliki ventilasi dan pencahayaan yang cukup.
Dalam penanganan pneumonia secara efektif, WHO dan UNICEF mengadakan rencana aksi global guna pencegahan, pelindungan, dan pengobatan. Selain itu, Indonesia juga turut berkomitmen untuk mencapai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang ketiga, khususnya mengakhiri kematian yang dapat dicegah pada bayi baru lahir dan anak balita hingga setidaknya 25 per seribu kelahiran hidup pada tahun 2030 ini.
"Ini juga mencakup upaya untuk menurunkan anggap kematian balita akibat pneumonia," dia menambahkan.
Baca juga: Pneumonia disebabkan mandi malam hari hanya mitos
Baca juga: Pakar sarankan calon haji pakai masker demi cegah ISPA dan pneumonia
Baca juga: Masyarakat Jakarta bisa dapatkan vaksin pneumonia secara gratis
Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2024
Tags: