Pontianak (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengimbau pegawai negeri dan penyelenggara negara untuk menolak gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya yang memiliki risiko sanksi pidana, terkait perayaan hari besar keagamaan seperti Lebaran.

"Hal itu didasari Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, dan terkait perayaan hari-hari besar keagamaan dan hari besar lainnya, yakni Hari Raya Idul Fitri 1435 H, Hari Natal 2014 dan Tahun Baru 2015," kata juru bicara KPK, Johan Budi, dalam siaran pers yang diterima Antara di Pontianak, Kamis.

Namun, apabila dalam keadaan tertentu terpaksa menerima gratifikasi, maka wajib dilaporkan kepada KPK dalam 30 hari kerja sejak diterimanya gratifikasi tersebut, katanya lagi.

Pada penjelasan pasal 12B UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa gratifikasi meliputi pemberian uang, barang, rabat (potongan harga), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya kepada setiap pegawai negeri dan pejabat penyelenggara negara.

Bila bingkisan tersebut berisi makanan yang mudah kedaluwarsa dan dalam jumlah wajar, KPK menganjurkan agar dapat disalurkan ke panti asuhan, panti jompo, dan pihak-pihak lain yang lebih membutuhkan.

Namun, hal itu harus disertai laporan kepada masing-masing instansi disertai penjelasan taksiran harga dan dokumentasi penyerahannya. Selanjutnya masing-masing instansi melaporkan seluruh rekapitulasi penerimaan tersebut kepada KPK.

Johan Budi menambahkan imbauan KPK ditujukan kepada ketua/pimpinan lembaga tinggi negara, menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, Jaksa Agung RI, Kapolri, Panglima TNI, kepala lembaga pemerintah nonpemerintahan, Gubernur, Bupati serta Wali Kota.

Bagi mereka yang terbukti menerima gratifikasi, terancam pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dengan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.