Telaah
Menjawab tantangan industri kakao Indonesia
Oleh Kuntoro Boga Andri*)
8 November 2024 20:17 WIB
Petani mengupas buah kakao (Theobroma cacao L) hasil panen di Desa Alue Papeun, Kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh Utara, Aceh, Senin (4/11/2024). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas. (ANTARA FOTO/SYIFA YULINNAS)
Jakarta (ANTARA) - Komoditas kakao sangat dihargai di seluruh dunia karena manfaat kesehatannya, terutama karena kandungan antioksidan, seperti procyanidin dan flavonoid.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa konsumsi kakao secara rutin dapat menurunkan risiko penyakit jantung dan memperbaiki sirkulasi darah.
Industri kakao untuk kuliner juga mengalami perkembangan pesat di seluruh dunia. Di berbagai negara, cokelat tidak hanya hadir sebagai produk makanan manis, tetapi juga diolah menjadi sajian gourmet yang kompleks dan eksklusif. Cokelat artisan, misalnya, merupakan produk premium yang menggunakan biji kakao terpilih dan melalui proses pengolahan yang lebih cermat untuk menghasilkan cita rasa unik.
Sementara itu, tren cokelat sehat atau functional chocolate yang diperkaya dengan nutrisi tambahan juga berkembang pesat.
Namun, industri di balik komoditas yang begitu berharga ini menghadapi beragam tantangan, mulai dari tekanan lingkungan, penurunan tingkat produksi, hingga tantangan pengendalian mutu serta tuntutan pasar terhadap keberlanjutan.
Produksi kakao Indonesia kini mengalami stagnan, bahkan mengalami penurunan, meskipun peran coklat untuk perekonomian nasional masih sangat besar.
Pada Tahun 2021, luas lahan kakao di Indonesia tercatat 1,5 juta hektare, mengalami penurunan dari 1,7 juta hektare pada Tahun 2017. Produksi kakao Indonesia pada Tahun 2022 mencapai 667,3 ribu ton, dari jumlah tersebut, lebih setengahnya untuk komoditas ekspor, yaitu 385.981 ton, dengan nilai mencapai 1,26 miliar dolar AS atau sekitar Rp20 triliun.
Meskipun Indonesia merupakan salah satu produsen kakao terbesar di dunia, negara kita masih mengimpor biji kakao mentah dalam jumlah signifikan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Pada Tahun 2021, Indonesia mengimpor sekitar 133 ribu ton biji kakao, dengan nilai mencapai 340,2 juta dolar AS atau setara dengan Rp4,8 triliun. Hal tersebut dikarenakan produksi biji kakao dalam negeri belum mampu memenuhi permintaan industri pengolahan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Untuk mengurangi ketergantungan pada impor, diperlukan upaya peningkatan produktivitas dan kualitas biji kakao dalam negeri melalui peremajaan tanaman, pelatihan petani, serta penerapan teknologi pertanian yang lebih baik.
Isu sektoral
Petani kakao di Indonesia menghadapi beberapa tantangan di lapangan terkait usaha mereka. Harga jual yang rendah dan fluktuatif, terutama bagi petani kecil, membuat pendapatan mereka tidak stabil dan kurang menguntungkan. Hal ini disebabkan petani kesulitan dalam menjaga kualitas biji kakao karena keterbatasan pengetahuan tentang praktik budi daya kakao yang baik, termasuk proses fermentasi yang optimal. Kualitas biji kakao yang rendah menyebabkan harga jual yang lebih murah di pasar internasional.
Sementara itu, serangan hama, seperti penggerek buah kakao (PBK) dan penyakit vascular streak dieback (VSD), saat ini, sering kali menyerang tanaman kakao di lapangan.
Tantangan lain adalah biaya produksi yang tinggi. Harga pupuk dan bahan baku lainnya yang terus meningkat menjadi beban bagi petani. Petani kesulitan menjangkau pasar yang lebih menguntungkan atau menjual langsung kepada produsen cokelat, yang berdampak pada rendahnya keuntungan yang mereka peroleh.
Perubahan iklim menyebabkan pola cuaca yang tidak menentu, yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman kakao.
Agribisnis kakao harus beradaptasi dengan tantangan-tantangan ini di tengah meningkatnya permintaan pasar akan produk yang berkualitas dan berkelanjutan.
Di Indonesia, penurunan produktivitas yang disebabkan oleh degradasi lahan, usia tanaman yang sudah tua, hingga keterbatasan sumber daya di kalangan petani kecil ikut memperburuk situasi. Selain itu, isu kualitas juga menjadi perhatian utama.
Pusat Standardisasi Instrumen Perkebunan (PSI Perkebunan), Kementerian Pertanian, telah aktif dalam merumuskan Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) untuk benih kakao.
Upaya perumusan RSNI benih kakao ini bertujuan untuk meningkatkan mutu benih kakao di Indonesia, memberikan acuan bagi produsen, melindungi konsumen, dan mendukung peningkatan produktivitas tanaman kakao nasional.
Selain itu langkah awal yang penting dalam memajukan industri kakao di Indonesia adalah memberikan perhatian khusus pada produksi kakao dalam negeri. Pengusaha perkebunan kakao perlu berfokus pada peningkatan mutu biji kakao yang mereka hasilkan.
Pemerintah juga telah menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Biji Kakao, yaitu SNI 2323-2008-Amd1-2010 tentang Biji Kakao sebagai acuan mutu biji kakao Indonesia. Standar mutu ini adalah panduan penting untuk pengawasan dan pengendalian mutu.
Salah satu prasyarat menjaga mutu biji kakao tersebut adalah fermentasi. Mutu biji kakao yang baik akan meningkatkan harga jual biji kakao Indonesia, kesejahteraan petani, dan kepercayaan industri pengolahan kakao dalam negeri.
Hilirisasi
Hilirisasi kakao merupakan strategi penting untuk meningkatkan nilai tambah dan keberlanjutan industri kakao di Indonesia. Dengan tidak hanya bergantung pada produksi biji kakao mentah, hilirisasi melalui diversifikasi memungkinkan terciptanya produk-produk turunan kakao yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi serta dapat menarik pasar yang lebih luas.
Langkah-langkah diversifikasi dapat mencakup pengembangan berbagai produk olahan kakao seperti cokelat, bubuk kakao, mentega kakao, serta produk inovatif lainnya seperti minuman berbasis kakao, makanan ringan, dan kosmetik berbahan dasar kakao.
Dengan menciptakan rantai nilai yang lebih panjang, diversifikasi agribisnis kakao memberikan peluang bagi pelaku usaha untuk meningkatkan pendapatan dan memperkuat daya saing produk kakao Indonesia di pasar internasional.
Selain itu, diversifikasi ini juga membantu mengurangi risiko fluktuasi harga biji kakao di pasar global. Ketika permintaan biji kakao mentah mengalami penurunan atau harga global tidak stabil, pelaku agribisnis dapat tetap menjaga pendapatan melalui penjualan produk turunan yang memiliki pasar yang lebih stabil dan beragam.
Untuk mendukung diversifikasi agribisnis kakao, pemerintah dan pihak terkait perlu memberikan dukungan berupa pelatihan, teknologi, serta fasilitas yang memadai bagi petani dan pengusaha.
Selain itu, penguatan infrastruktur dan akses ke pasar internasional juga menjadi faktor penting agar produk olahan kakao Indonesia dapat bersaing dan diterima di pasar global.
Produk olahan kakao berkualitas tinggi memiliki potensi besar untuk diekspor dan memenuhi kebutuhan pasar premium di dunia dan memenangkan hati pasar global yang menghargai produk-produk alami dan bermutu.
*) Kuntoro Boga Andri, adalah Kepala Pusat Standardisasi Instrumen Perkebunan di Kementerian Pertanian
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa konsumsi kakao secara rutin dapat menurunkan risiko penyakit jantung dan memperbaiki sirkulasi darah.
Industri kakao untuk kuliner juga mengalami perkembangan pesat di seluruh dunia. Di berbagai negara, cokelat tidak hanya hadir sebagai produk makanan manis, tetapi juga diolah menjadi sajian gourmet yang kompleks dan eksklusif. Cokelat artisan, misalnya, merupakan produk premium yang menggunakan biji kakao terpilih dan melalui proses pengolahan yang lebih cermat untuk menghasilkan cita rasa unik.
Sementara itu, tren cokelat sehat atau functional chocolate yang diperkaya dengan nutrisi tambahan juga berkembang pesat.
Namun, industri di balik komoditas yang begitu berharga ini menghadapi beragam tantangan, mulai dari tekanan lingkungan, penurunan tingkat produksi, hingga tantangan pengendalian mutu serta tuntutan pasar terhadap keberlanjutan.
Produksi kakao Indonesia kini mengalami stagnan, bahkan mengalami penurunan, meskipun peran coklat untuk perekonomian nasional masih sangat besar.
Pada Tahun 2021, luas lahan kakao di Indonesia tercatat 1,5 juta hektare, mengalami penurunan dari 1,7 juta hektare pada Tahun 2017. Produksi kakao Indonesia pada Tahun 2022 mencapai 667,3 ribu ton, dari jumlah tersebut, lebih setengahnya untuk komoditas ekspor, yaitu 385.981 ton, dengan nilai mencapai 1,26 miliar dolar AS atau sekitar Rp20 triliun.
Meskipun Indonesia merupakan salah satu produsen kakao terbesar di dunia, negara kita masih mengimpor biji kakao mentah dalam jumlah signifikan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Pada Tahun 2021, Indonesia mengimpor sekitar 133 ribu ton biji kakao, dengan nilai mencapai 340,2 juta dolar AS atau setara dengan Rp4,8 triliun. Hal tersebut dikarenakan produksi biji kakao dalam negeri belum mampu memenuhi permintaan industri pengolahan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Untuk mengurangi ketergantungan pada impor, diperlukan upaya peningkatan produktivitas dan kualitas biji kakao dalam negeri melalui peremajaan tanaman, pelatihan petani, serta penerapan teknologi pertanian yang lebih baik.
Isu sektoral
Petani kakao di Indonesia menghadapi beberapa tantangan di lapangan terkait usaha mereka. Harga jual yang rendah dan fluktuatif, terutama bagi petani kecil, membuat pendapatan mereka tidak stabil dan kurang menguntungkan. Hal ini disebabkan petani kesulitan dalam menjaga kualitas biji kakao karena keterbatasan pengetahuan tentang praktik budi daya kakao yang baik, termasuk proses fermentasi yang optimal. Kualitas biji kakao yang rendah menyebabkan harga jual yang lebih murah di pasar internasional.
Sementara itu, serangan hama, seperti penggerek buah kakao (PBK) dan penyakit vascular streak dieback (VSD), saat ini, sering kali menyerang tanaman kakao di lapangan.
Tantangan lain adalah biaya produksi yang tinggi. Harga pupuk dan bahan baku lainnya yang terus meningkat menjadi beban bagi petani. Petani kesulitan menjangkau pasar yang lebih menguntungkan atau menjual langsung kepada produsen cokelat, yang berdampak pada rendahnya keuntungan yang mereka peroleh.
Perubahan iklim menyebabkan pola cuaca yang tidak menentu, yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman kakao.
Agribisnis kakao harus beradaptasi dengan tantangan-tantangan ini di tengah meningkatnya permintaan pasar akan produk yang berkualitas dan berkelanjutan.
Di Indonesia, penurunan produktivitas yang disebabkan oleh degradasi lahan, usia tanaman yang sudah tua, hingga keterbatasan sumber daya di kalangan petani kecil ikut memperburuk situasi. Selain itu, isu kualitas juga menjadi perhatian utama.
Pusat Standardisasi Instrumen Perkebunan (PSI Perkebunan), Kementerian Pertanian, telah aktif dalam merumuskan Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) untuk benih kakao.
Upaya perumusan RSNI benih kakao ini bertujuan untuk meningkatkan mutu benih kakao di Indonesia, memberikan acuan bagi produsen, melindungi konsumen, dan mendukung peningkatan produktivitas tanaman kakao nasional.
Selain itu langkah awal yang penting dalam memajukan industri kakao di Indonesia adalah memberikan perhatian khusus pada produksi kakao dalam negeri. Pengusaha perkebunan kakao perlu berfokus pada peningkatan mutu biji kakao yang mereka hasilkan.
Pemerintah juga telah menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Biji Kakao, yaitu SNI 2323-2008-Amd1-2010 tentang Biji Kakao sebagai acuan mutu biji kakao Indonesia. Standar mutu ini adalah panduan penting untuk pengawasan dan pengendalian mutu.
Salah satu prasyarat menjaga mutu biji kakao tersebut adalah fermentasi. Mutu biji kakao yang baik akan meningkatkan harga jual biji kakao Indonesia, kesejahteraan petani, dan kepercayaan industri pengolahan kakao dalam negeri.
Hilirisasi
Hilirisasi kakao merupakan strategi penting untuk meningkatkan nilai tambah dan keberlanjutan industri kakao di Indonesia. Dengan tidak hanya bergantung pada produksi biji kakao mentah, hilirisasi melalui diversifikasi memungkinkan terciptanya produk-produk turunan kakao yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi serta dapat menarik pasar yang lebih luas.
Langkah-langkah diversifikasi dapat mencakup pengembangan berbagai produk olahan kakao seperti cokelat, bubuk kakao, mentega kakao, serta produk inovatif lainnya seperti minuman berbasis kakao, makanan ringan, dan kosmetik berbahan dasar kakao.
Dengan menciptakan rantai nilai yang lebih panjang, diversifikasi agribisnis kakao memberikan peluang bagi pelaku usaha untuk meningkatkan pendapatan dan memperkuat daya saing produk kakao Indonesia di pasar internasional.
Selain itu, diversifikasi ini juga membantu mengurangi risiko fluktuasi harga biji kakao di pasar global. Ketika permintaan biji kakao mentah mengalami penurunan atau harga global tidak stabil, pelaku agribisnis dapat tetap menjaga pendapatan melalui penjualan produk turunan yang memiliki pasar yang lebih stabil dan beragam.
Untuk mendukung diversifikasi agribisnis kakao, pemerintah dan pihak terkait perlu memberikan dukungan berupa pelatihan, teknologi, serta fasilitas yang memadai bagi petani dan pengusaha.
Selain itu, penguatan infrastruktur dan akses ke pasar internasional juga menjadi faktor penting agar produk olahan kakao Indonesia dapat bersaing dan diterima di pasar global.
Produk olahan kakao berkualitas tinggi memiliki potensi besar untuk diekspor dan memenuhi kebutuhan pasar premium di dunia dan memenangkan hati pasar global yang menghargai produk-produk alami dan bermutu.
*) Kuntoro Boga Andri, adalah Kepala Pusat Standardisasi Instrumen Perkebunan di Kementerian Pertanian
Copyright © ANTARA 2024
Tags: