Jakarta (ANTARA) - Perhelatan demokrasi kembali digelar pada 27 November 2024, yakni pemilihan kepala daerah secara serentak. Hajatan politik elektoral lokal ini berlangsung di kabupaten/kota dan provinsi, kecuali di kabupaten/kota di Daerah Khusus Jakarta dan Provinsi D.I. Yogyakarta.

Pilkada tersebut untuk memilih sosok-sosok pemimpin terbaik di wilayahnya masing-masing dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pilkada serentak dilaksanakan di berbagai daerah mulai dari wilayah perkotaan, daerah pedalaman, daerah perbatasan dengan negara lain, hingga daerah kepulauan yang terletak di seberang lautan. Penyelenggara berkepentingan agar pilkada serentak ini berjalan sukses, aman, dan lancar.

Salah satu untuk mengukur keberhasilan demokrasi yakni indikator tingkat partisipasi politik pemilih pada pemilu dan pilkada. Aksesibilitas politik, informasi dan telekomunikasi , sumber daya manusia, serta aksesibilitas infrastruktur dan transportasi juga menentukan pada peningkatan partisipasi politik calon pemilih.

Untuk wilayah perkotaan yang memiliki aksesibilitas yang relatif lebih baik, tentu berkolerasi positif terhadap partisipasi politik warganya. Hal berbeda bisa terjadi di daerah-daerah pedalaman, perbatasan, dan wilayah terluar yang dikenal dengan daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Wilayah ini dengan ciri aksesibilitas yang terbatas dan SDM yang kurang. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri dalam peningkatan partisipasi pemilih.

Berkaca pada Pemilu 2024 pada Februari lalu, tingkat partisipasi politik pemilih secara nasional mencapai 81 persen, di atas target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020--2024 sebesar 79,5 persen.

Secara nasional, partisipasi politik rakyat Indonesia cukup tinggi, namun di daerah-daerah yang masuk kategori 3T, perlu perhatian khusus agar partisipasi politik warganya meningkat, minimal bisa mencapai target yang ditetapkan Pemerintah dalam RPJMN.

Ada beberapa daerah tertinggal yang partisipasi politiknya rendah, antara lain, Kabupaten Belu hanya 60 persen, Kabupaten Kupang (70 persen), sementara Kabupaten Sigi (80 persen) dan Kabupaten Donggala (81 persen) atau sama dengan rata-rata nasional. Kabupaten Lombok Utara, salah satu daerah 3T, ternyata partisipasi politiknya mencapai 87 persen, jauh di atas partisipasi nasional.

Daerah-daerah yang tergolong 3T memiliki karakteristik sebagai daerah yang secara geografis, sosial-ekonomi, budaya, serta tingkat pendidikan dan sumber daya manusia (SDM) kurang berkembang dibandingkan daerah lainnya secara nasional. Daerah 3T juga menjadi tapal batas dengan negara lain, terdepan atau terluar dari elatase wilayah RI yang jauh dari pusat layanan administrasi pusat.

Perpres No.63 Tahun 2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2020--2024 menyebutkan ada 62 kabupaten yang masuk ke dalam kategori daerah tertinggal, antara lain, di provinsi ada empat kabupaten, Sumbar, Sumsel, Lampung, dan NTB masing-masing 1 kabupaten. NTT (13 kabupaten), Sulteng (3 kabupaten), Maluku (6 kabupaten), Maluku Utara (2 kabupaten), Papua Barat (8 kabupaten), dan Papua sebanyak 22 kabupaten.

Daerah tertinggal ini menghadapi masalah keterbatasan ekonomi, sosial, infrastruktur, layanan kesehatan, dan pendidikan.

Daerah terdepan berada di garda depan pertahanan negara. Wilayah ini biasanya berbatasan langsung dengan negara lain dan memiliki peran strategis dalam menjaga kedaulatan negara. Sementara daerah terluar letaknya jauh dari pusat pemerintahan dan memiliki aksesibilitas yang terbatas.




Tantangan besar

Demokrasi adalah salah satu instrumen politik untuk menuju kesejahteraan sosial masyarakat. Menegakkan demokrasi berarti membangun pula kesejahteraan sosial secara berkelanjutan.

Merajut bangunan demokrasi di wilayah 3T ini tidak mudah karena tantangannya besar serta butuh proses dan kesabaran.

Penyelenggaraan Pemilu 2024 pada Februari lalu harus menjadi modal sekaligus dan bahan evaluasi untuk penyelenggaraan Pilkada 2024 yang digelar pada 27 November mendatang.

Persoalan-persoalan klasik dan hambatan yang mengemuka dalam penyelenggaraan pemilu Februari lalu di wilayah 3T sudah sepatutnya menjadi bahan evaluasi dan pembelajaran agar penyelenggaraan pilkada di wilayah 3T agar bisa berjalan lebih baik lagi.

Persoalan yang kerap muncul dalam penyelenggaraan pilkada maupun pemilu di wilayah 3T, antara lain, disebabkan letak geografis wilayah 3T yang memang sulit dijangkau, infrastruktur yang terbatas, transportasi yang kurang memadai, dan sumber daya manusia (SDM) yang terbatas.

Aksesibilitas teknologi informasi dan telekomunikasi yang minim dan kurang memadai menjadi persoalan serius yang dapat mengganggu kelancaran dan keberhasilan penyelenggaraan pilkada dan pemilu.

Masalah yang kerap muncul pada penyelenggaraan pemilu dan pilkada di wilayah 3T yakni terkait dengan pendistribusian logistik sering terkendala oleh medan yang berat yang harus dilalui, moda transportasi terbatas, serta faktor alam dan cuaca. Para pemilih kerap dihadapkan dengan sulitnya menjangkau tempat pemungutan suara (TPS).

Wilayah 3T juga menghadapi kendala SDM penyelenggara pemilu (KPPS dan PPS) serta pengawas pemilu/pilkada. Selain minim jumlah tenaga, juga kurangnya pengetahuan dan pemahaman akan tugas dan fungsi yang diembannya.

Keakuratan perkembangan data pemilih butuh perhatian serius. Bisa saja masih banyak yang terlewat ketika dilakukan coklit (pencocokan dan penelitian) calon pemilih. Mungkin juga masih banyak yang terlewat belum melakukan perekaman e-KTP, meski sudah punya hak pilih. Potensi ini bisa terjadi lantaran minimnya ketersediaan teknologi informasi/telekomunikasi serta kesadaran politik warganya yang belum terbangun.


Sinergi pemangku kepentingan

Besarnya tantangan yang dihadapi serta kompleksnya persoalan yang timbul dalam penyelenggaraan pilkada maupun pemilu di wilayah 3T, menuntut adanya sinergi dan komitmen bersama para pemangku kepentingan. Sinergi dan komitmen bersama ini penting demi terselenggaranya pilkada yang lebih berkualitas.

Para pemangku kepentingan, mulai dari masyarakat, KPU, Bawaslu, pemerintah daerah, Pemerintah Pusat, parpol, TNI dan Polri, ormas, LSM, serta akademisi harus saling bersinergi dan punya komitmen sama untuk mewujudkan demokrasi yang berkualitas di daerah 3T.

Dengan demikian akan tercipta tatanan kehidupan demokrasi yang lebih maju, tidak sekadar memenuhi syarat prosedural.

Pemerintah daerah dan Pusat mempunyai tanggung jawab mengatasi berbagai kendala geografis, infrastruktur, ketersediaan moda transportasi yang memadai, penyediaan aksesibilitas telekomunikasi dan teknologi informasi.


Tingkatkan partisipasi politik

Komisioner KPU Yulianto Sudrajat mengatakan peran serta masyarakat dan semua pemangku kepentingan adalah kunci sukses dalam perhelatan pemilu maupun pilkada sebagai wahana musyawarah besar rakyat Indonesia dan sarana integrasi bangsa.

Pelaksanaan Pilkada 2024 di daerah 3T, prosesnya akan berjalan lebih menantang. Oleh karena itu, kunci suksesnya memaksimalkan peran serta masyarakat dan melibatkannya di setiap tahapan pilkada.

Berbagai upaya yang sudah dilakukan KPU RI untuk mendongkrak partisipasi politik pemilih, antara lain, melakukan edukasi langsung ke sekolah, perguruan tinggi, dan pondok pesantren, serta mengajak ormas dalam sosialisasi dan pendidikan pemilih.

Upaya yang telah dilakukan KPU tersebut untuk memberikan pemahaman berdemokrasi, yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan partisipasi politik pemilih.

Alhasil, tingginya partisipasi politik pada pilkada akan meningkatkan legitimasi pemerintah dan kualitas demokrasi itu sendiri.

Editor: Achmad Zaenal M