Flores Timur (ANTARA) - Ada sebuah anekdot yang mengungkapkan bahwa tidak ada yang bisa mengalahkan "manisnya" orang timur saat sedang tersenyum.

Anekdot itu bukan isapan jempol belaka. Senyum manis orang timur itu bisa disaksikan saat mengunjungi berbagai posko pengungsian terpadu korban bencana letusan Gunung Lewotobi Laki-laki di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.

Faldi (8), Abriel (10), dan Gervas (8), tiga serangkai asal Desa Nobokonga, Kecamatan Ilebura, Kabupaten Flores Timur menjadi contoh pengungsi yang bergembira, meski tengah diterpa bencana.

Mereka yang harus diungsikan ke posko pengungsian di Desa Konga, Kecamatan Titehena, Flores Timur, itu tetap bermain bersama dan tidak bersedih, meskipun mereka harus meninggalkan rumahnya untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman.

Di posko pengungsian, mereka mengaku bahwa diri mereka justru tetap bahagia. Sebab, mereka yang biasa bermain bertiga, kini berjumpa dengan ratusan anak lainnya dari desa yang berbeda-beda.

Sesekali, terdengar teriakan anak-anak yang menyanyikan beragam lagu anak dan daerah, sembari berbaris mengular membuat lingkaran, dengan meletakkan tangan ke punggung temannya yang lain.

"Di sini senang, di sana senang, di mana-mana hatiku senang". Masuk ke bait lagu berikutnya, tiba-tiba nyanyian dari pekerja sosial yang dihadirkan oleh Kementerian Sosial (Kemensos) RI berhenti, di saat itu pula semua anak langsung jongkok.

"Faldi... Faldi...," kata anak-anak lainnya, yang ternyata pada kesempatan itu, Faldi terlambat untuk jongkok.

Tidak lama kemudian, permainan pun berganti. Kali ini, para pekerja sosial menawarkan hadiah berupa biskuit bagi anak-anak yang bisa menjawab pertanyaannya.

Faldi mengaku senang mengikuti kegiatan ini, sebab, dengan kondisi yang penuh keterbatasan di posko pengungsian, permainan merupakan salah satu hal yang bisa menjadi obat pelipur lara anak-anak yang menjadi penyintas bencana.

"Senang, karena banyak teman-teman. Kami di sini banyak bermain permainan, seperti catur orang, lompat tali, dan bercerita dengan boneka," celoteh Aldi, sembari tertawa, ketika diajak berbincang ANTARA.


Semua berhak bahagia

Ada yang beranggapan bahwa kebahagiaan anak di tengah bencana itu adalah hal biasa, karena mereka tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Padahal sesungguhnya tidak demikian, karena sejatinya orang dewasa juga berhak bahagia. Bahagia adalah hak semua orang.

Posko pengungsian tidak membuat para pengungsi dewasa menjadi pengangguran. Setiap harinya, ada saja agenda yang dilakukan untuk mengisi waktu dengan kegiatan yang bermanfaat.

Setiap pagi, para pengungsi umumnya melakukan senam pagi bersama, sebelum nantinya mereka pergi melanjutkan aktivitasnya.
Beberapa orang pengungsi perempuan ikut terlibat dalam aktivitas memasak di dapur umum, yang terletak di Posko Pengungsian Desa Konga, Kab. Flores Timur, NTT, Kamis (7/11/2024). (ANTARA/Sean Filo Muhamad)

Bagi kaum perempuan, sebagian besar terlibat dalam kepengurusan dapur umum, demi memastikan hajat para pengungsi lainnya juga terpenuhi.

Momentum memasak bersama, sembari bercengkerama, merupakan momen yang tidak bisa terlupakan bagi mereka. Sebab, mereka bisa tetap bersosialisasi sambil melakukan kegiatan yang produktif, hingga mereka bisa melupakan bencana yang menimpa.

Bagi kaum laki-laki, umumnya mereka beraktivitas sebagaimana biasanya. Namun, hiburan sebenarnya baru dimulai, kala rembulan memancarkan sinarnya.

"Tes, satu, dua, tiga," terdengar dari pengeras suara. Dengan suara yang bulat, khas pria asal Indonesia bagian Timur, seolah menjadi aba-aba bahwa hiburan bagi kaum laki-laki akan dimulai.

Perlahan, terdengar alunan musik khas Indonesia bagian Timur mulai diputar. Satu orang mulai menyanyi, seakan-akan mengundang pengungsi lainnya untuk ikut menyumbang suara.

Tidak terasa, bisa dihitung puluhan laki-laki turut andil dalam gelaran pentas musik dadakan yang bisa selesai hingga larut malam itu.


Dukungan psikososial

Saat bencana terjadi, perhatian utama seringkali terfokus pada upaya penyelamatan jiwa dan pemenuhan kebutuhan dasar, seperti pangan, air, dan tempat berteduh.

Namun, ahli mengatakan kebutuhan psikologis dan emosional tidak boleh diabaikan. Para pengungsi tidak hanya kehilangan rumah atau harta benda, mereka juga kehilangan rasa aman dan stabilitas hidup yang mereka miliki sebelum bencana.

Kehilangan ini bisa memicu reaksi stres, kecemasan, dan bahkan gangguan pascatrauma yang jika tidak ditangani, dapat berdampak jangka panjang bagi psikis mereka.

Kegiatan-kegiatan sebagaimana yang dilakukan oleh para pengungsi erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki merupakan kegiatan yang mendorong kebersamaan dan solidaritas antarpengungsi.

Mereka yang mengalami situasi serupa sering kali bisa saling menguatkan. Kelompok pendukung, yang difasilitasi oleh para psikolog atau pekerja sosial dari pemerintah maupun pihak lainnya, dapat membantu para pengungsi untuk berbagi cerita dan perasaan mereka.

Sebagaimana yang dilakukan oleh Kementerian Sosial (Kemensos) RI, sebagai representasi hadirnya negara untuk rakyatnya, memberikan layanan dukungan psikososial, dengan tujuan agar para pengungsi masih tetap bisa bersosialisasi secara normal dan tidak larut dalam rasa kesedihan.

Dalam hal ini, Kemensos juga turut melibatkan tenaga ahli yang tersertifikasi, juga tenaga medis maupun psikiater jika diperlukan.

Pada implementasinya, pendekatan yang dilakukan juga menggunakan kearifan lokal agar lebih efektif. Contohnya, dalam berbagai permainan untuk anak, pemuka agama setempat turut dilibatkan, karena masyarakat setempat merupakan masyarakat dengan adat yang religius.

Oleh karena itu, dukungan psikososial bagi para pengungsi tidak hanya berperan untuk memberikan kenyamanan mental sementara. Dukungan ini melibatkan pemberian bantuan untuk mengelola emosi, mengatasi ketakutan, serta membangun kembali kepercayaan diri dan harapan.

Dengan adanya dukungan yang berkelanjutan, para pengungsi bisa mulai merasa kembali berdaya dan siap untuk merencanakan masa depan yang lebih baik.

Hal ini juga dapat membantu mereka mengurangi dampak psikis yang mereka alami akibat trauma bencana, sebab bahagia adalah hak semua orang, juga termasuk para penyintas bencana.