Soal EUDR, BRIN: RI bukan tak peduli lingkungan, tapi tak mau didikte
8 November 2024 15:33 WIB
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Ekonomi, Industri, Jasa, dan Perdagangan BRIN Delima Hasri Azahari ditemui dalam acara Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2024 di Badung, Bali, Jumat (8/11/2024) ANTARA/Muzdaffar Fauzan
Badung, Bali (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan sikap pemerintah RI yang keberatan terhadap aturan bebas produk hasil deforestasi yang diterapkan oleh Uni Eropa melalui European Union Deforestation Regulations (EUDR), bukan berarti Indonesia tidak peduli lingkungan, melainkan tidak mau didikte oleh negara lain.
"Tidak menolak, tetapi kita juga menjaga posisi kita bahwa kita tidak mau didikte oleh kebijakan-kebijakan EUDR," ujar Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Ekonomi, Industri, Jasa, dan Perdagangan BRIN Delima Hasri Azahari ditemui dalam acara Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2024 di Badung, Bali, Jumat.
Dikatakannya, Indonesia sudah memiliki komitmen kuat dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui Nationally Determined Contribution (NDC) dengan terus melakukan pengurangan emisi karbon (dekarbonisasi).
Ia menyampaikan, konsep hutan dan deforestasi yang dibuat Uni Eropa dalam EUDR tidak sama dengan yang diterapkan oleh Indonesia, sehingga hal ini berpotensi membuat produk perkebunan, pertanian, dan peternakan Indonesia masuk dalam kategori risiko tinggi (high risk) hasil deforestasi.
"Konsep hutannya sendiri itu tidak sama dengan konsep kita, konsep yang dipakai oleh mereka adalah konsep berdasarkan definisi dari Food and Agriculture Organization (FAO), sementara kita punya definisi kita sendiri," ujarnya.
Oleh karena itu dirinya mendorong agar Pemerintah terus meyakinkan Uni Eropa untuk mengadopsi data kehutanan yang ada di Indonesia melalui National Dashboard, mengingat kebijakan EUDR bakal memberikan dampak besar bagi perekonomian dan pendapatan devisa ekspor.
Adapun EUDR merupakan aturan pengetatan perdagangan yang membatasi produk tujuh komoditas, yakni kelapa sawit, kedelai, sapi, ternak, kopi, kakao, dan karet untuk masuk ke pasar Eropa. Aturan ini mengharuskan para produsen menyertakan uji tuntas yang menyatakan produk yang dibuat bebas dari tindakan deforestasi.
Beleid tersebut direncanakan bakal diterapkan oleh Uni Eropa pada akhir 2025 mendatang.
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia menyoroti aturan pembatasan konsumsi produk berisiko hasil penggundulan hutan (deforestasi) yang tertuang dalam European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang dianggap diskriminatif dalam pemajuan industri sawit.
Duta Besar Indonesia untuk Belgia, Luxembourg, dan Uni Eropa Andri Hadi dalam acara Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2024 mengatakan aturan tolak ukur (benchmark) yang diterapkan Uni Eropa tersebut berpotensi bermasalah, karena dirinya menilai di negara Eropa sendiri regulasi tersebut sulit untuk diterapkan.
Hadi mengatakan bahwa sebagai akibat benchmarking yang belum pasti tersebut, suatu negara bisa secara diskriminatif dikategorikan sebagai negara penghasil produk berisiko tinggi dalam melakukan penggundulan hutan, sehingga bisa memicu aturan serupa diterapkan oleh negara lain dengan skema yang sama.
Baca juga: RI soroti aturan produk bebas deforestasi EU bagi industri sawit
Baca juga: Gapki: EUDR lebih merugikan petani kecil dibandingkan pengusaha sawit
Baca juga: Kementan perkirakan RI akan kehilangan Rp50 triilun akibat EUDR
"Tidak menolak, tetapi kita juga menjaga posisi kita bahwa kita tidak mau didikte oleh kebijakan-kebijakan EUDR," ujar Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Ekonomi, Industri, Jasa, dan Perdagangan BRIN Delima Hasri Azahari ditemui dalam acara Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2024 di Badung, Bali, Jumat.
Dikatakannya, Indonesia sudah memiliki komitmen kuat dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui Nationally Determined Contribution (NDC) dengan terus melakukan pengurangan emisi karbon (dekarbonisasi).
Ia menyampaikan, konsep hutan dan deforestasi yang dibuat Uni Eropa dalam EUDR tidak sama dengan yang diterapkan oleh Indonesia, sehingga hal ini berpotensi membuat produk perkebunan, pertanian, dan peternakan Indonesia masuk dalam kategori risiko tinggi (high risk) hasil deforestasi.
"Konsep hutannya sendiri itu tidak sama dengan konsep kita, konsep yang dipakai oleh mereka adalah konsep berdasarkan definisi dari Food and Agriculture Organization (FAO), sementara kita punya definisi kita sendiri," ujarnya.
Oleh karena itu dirinya mendorong agar Pemerintah terus meyakinkan Uni Eropa untuk mengadopsi data kehutanan yang ada di Indonesia melalui National Dashboard, mengingat kebijakan EUDR bakal memberikan dampak besar bagi perekonomian dan pendapatan devisa ekspor.
Adapun EUDR merupakan aturan pengetatan perdagangan yang membatasi produk tujuh komoditas, yakni kelapa sawit, kedelai, sapi, ternak, kopi, kakao, dan karet untuk masuk ke pasar Eropa. Aturan ini mengharuskan para produsen menyertakan uji tuntas yang menyatakan produk yang dibuat bebas dari tindakan deforestasi.
Beleid tersebut direncanakan bakal diterapkan oleh Uni Eropa pada akhir 2025 mendatang.
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia menyoroti aturan pembatasan konsumsi produk berisiko hasil penggundulan hutan (deforestasi) yang tertuang dalam European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang dianggap diskriminatif dalam pemajuan industri sawit.
Duta Besar Indonesia untuk Belgia, Luxembourg, dan Uni Eropa Andri Hadi dalam acara Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2024 mengatakan aturan tolak ukur (benchmark) yang diterapkan Uni Eropa tersebut berpotensi bermasalah, karena dirinya menilai di negara Eropa sendiri regulasi tersebut sulit untuk diterapkan.
Hadi mengatakan bahwa sebagai akibat benchmarking yang belum pasti tersebut, suatu negara bisa secara diskriminatif dikategorikan sebagai negara penghasil produk berisiko tinggi dalam melakukan penggundulan hutan, sehingga bisa memicu aturan serupa diterapkan oleh negara lain dengan skema yang sama.
Baca juga: RI soroti aturan produk bebas deforestasi EU bagi industri sawit
Baca juga: Gapki: EUDR lebih merugikan petani kecil dibandingkan pengusaha sawit
Baca juga: Kementan perkirakan RI akan kehilangan Rp50 triilun akibat EUDR
Pewarta: Ahmad Muzdaffar Fauzan
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2024
Tags: