Artikel
Mengelola potensi desa wisata di Bali
Oleh Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
8 November 2024 13:14 WIB
Wisatawan menikmati wisata air menggunakan perahu karet atau “tubing” sebagai salah satu bagian atraksi desa wisata di Desa Celuk, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali, Kamis (7/11/2024) ANTARA/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Gianyar, Bali (ANTARA) - Sejumlah turis mancanegara menumpangi mobil bak terbuka menuju aliran Tukad (sungai) Wos dan Tukad Nangka di Desa Celuk, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali.
Setelah berkendara beberapa menit dari titik awal Asasuka di Jalan Subak Belaki menuju Jalan Jagaraga yang berjarak sekitar satu kilometer di desa itu, mereka tiba di tepian sungai yang dapat diakses melalui Gang Maspait.
Dengan mengenakan pelampung dan helm keselamatan, wisatawan tersebut kemudian nampak serius menyimak arahan dari para pemandu sebelum menjajal atraksi yang menantang. Mereka kemudian berseluncur di atas permukaan air sungai berarus ringan menggunakan perahu karet atau dikenal dengan wisata tubing.
Selama menyusuri sungai dengan lintasan yang berliku, wisatawan diajak merasakan sensasi menantang adrenalin, menikmati suasana hijau dan menyaksikan aktivitas pertanian.
Wisata tubing berjarak pendek sekitar enam kilometer itu, memiliki dua titik wahana perosotan setinggi sekitar dua meter sehingga menghasilkan arus sungai yang deras. Titik ikonik lain yang disusuri yakni memasuki mulut goa buatan yang terbilang unik karena berbentuk kepala barong dengan ukiran khas Bali.
Dengan waktu tempuh sekitar satu jam, wisatawan kemudian kembali di titik awal dengan pilihan kuliner yang dapat dinikmati usai berpetualang menyusuri sungai. Sensasi segar pun dirasakan wisatawan usai menjajal wisata air itu di tengah sinar matahari Bali yang cukup terik. Atraksi wisata tubing tergolong baru dikenalkan di desa tersebut yang dibuka kepada publik sejak awal Januari 2024.
Desa wisata
Provinsi Bali saat ini memiliki 238 desa wisata tersebar di sembilan kabupaten/kota. Ada pun Kabupaten Gianyar merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki banyak desa wisata. Kabupaten yang kaya seni dan budaya itu pada 2022 memiliki 40 desa wisata salah satunya Desa Celuk.
Desa Celuk menyandang status desa wisata oleh Pemerintah Kabupaten Gianyar sejak 2019 dengan daya tarik utama sebagai sentra kerajinan perak yang tersebar di tiga banjar (dusun) yakni Celuk, Tangsub dan Cemenggaon.
Sayangnya, kala itu belum banyak yang bisa dilakukan untuk menyemarakkan predikat desa wisata tersebut karena seketika dunia dihantam pandemi COVID-19 pada Januari 2020.
Bencana non alam bersejarah di era milenial tersebut seakan membuat gelagapan semua orang termasuk para pelaku pariwisata di Bali yang perputaran ekonominya mengandalkan sektor tersebut.
Aktivitas pariwisata di Pulau Dewata pun mati suri selama sekitar tiga tahun karena mobilitas manusia yang terbatas, bahkan dihentikan sementara karena tak ada kunjungan wisatawan saat itu.
Perbekel (Kepala Desa) Celuk I Nyoman Rupadana mengungkapkan pandemi COVID-19 ternyata membawa sisi lain karena mendorong inisiatif bagi aparat desa dan pegiat pariwisata di desa setempat untuk bangkit mengembangkan desa wisata.
Sedikit demi sedikit di tengah masa pandemi, pemerintah desa dan pelaku pariwisata desa setempat memutar idenya untuk menciptakan atraksi wisata salah satunya wisata tubing tersebut.
Menyadari karunia bentang alam berupa kawasan pertanian dan aliran sungai yang membelah desa seluas 247,56 hektare itu justru menjadi awal mula pengembangan potensi wisata.
Potensi tersebut terus digali dengan dibarengi sejumlah penataan infrastruktur desa sejak 2021 hingga 2024 yang mengalokasikan total sekitar Rp586 juta melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).
Penataan itu di antaranya perbaikan sempadan sungai, wahana dan peralatan tubing, hingga jalur joging dan treking di kawasan persawahan di sejumlah titik desa tersebut.
Infrastruktur itu juga didukung bantuan dari pemerintah pusat yang saat itu nomenklaturnya masih bernama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dengan memasang beton di kiri-kanan badan sungai agar terlindungi dari potensi tanah longsor.
Bak gayung bersambut, atraksi tubing itu pun mendapat sambutan positif wisatawan sebagai alternatif baru wisata di Desa Celuk. Beberapa layanan pun diberikan kepada wisatawan di antaranya mencakup makan siang, alat mandi hingga tersedianya asuransi dengan harga yang kompetitif.
Wisata tubing itu dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Tri Amerta Dana yang didirikan oleh Pemerintah Desa Celuk pada 2018.
Ketua BUMDes Nyoman Wandra mengungkapkan wisata air tersebut memberikan lapangan pekerjaan khususnya bagi warga setempat, di antaranya mulai proses pembangunan, pengelolaan wisata tubing, pemandu hingga pekerja restoran mini.
Saat ini, sebagian besar penikmat wisata air itu adalah wisatawan mancanegara, sebagian lainnya adalah wisatawan lokal dan domestik.
Perak dan HAKI
Pariwisata dan perekonomian desa pun menggeliat karena tak hanya wisata tubing, ada juga kelas belajar mendesain perhiasan perak yang selama ini menjadi ikon Desa Wisata Celuk.
Selain berwisata, para pelancong diajak menambah wawasan terkait cara membuat perhiasan perak.
Perbekel Celuk I Nyoman Rupadana menyebutkan sekitar 100 kepala keluarga di desa tersebut menjadi pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) kerajinan perak.
Salah satunya perajin perak Astina di Banjar (Dusun) Cemenggaon, Desa Celuk yakni Komang Asti yang sejak 2018 membuka kelas belajar kerajinan perak.
Sama dengan pelaku pariwisata lainnya, baik produksi kerajinan perak hingga kelas belajar sempat terhenti total karena pandemi COVID-19.
Setelah pandemi mereda, Asti kemudian membuka kelas kembali yang mayoritas diminati wisatawan asing di antaranya dari Australia, Amerika Serikat, Prancis, Jepang hingga India serta wisatawan domestik di antaranya dari Jakarta.
Bersama sang suami dan dibantu beberapa pegawai harian, ia mengajarkan membuat perhiasan berbahan 95 persen perak dan sisanya dicampur dengan bahan aloi. Campuran dilakukan agar perhiasan perak itu memiliki tekstur lebih kuat.
Ada pun durasi belajar perak selama dua hingga tiga jam dengan maksimal menggunakan 10 gram perak. Wisatawan dapat membuat kreasi sendiri atau menggunakan desain ukiran khas Bali dengan didampingi para perajin selaku mentor. Dengan harga Rp450 ribu, hasil kerajinan perak buatan tangan sendiri itu pun dapat langsung dibawa pulang.
Melalui kelas belajar itu wisatawan dapat memahami detail dan panjangnya proses pembuatan kerajinan mulai dari melebur perak mentah yang berbentuk butiran kecil, mengolah lempengan perak, mendesain, mematri hingga menghaluskan perak agar lebih bersih dan menarik.
Para perajin perak dari desa itu pun saat ini bernafas lega dari segi hukum karena kreasi kerajinan perak atau emas dari Celuk mendapatkan perlindungan dari pemerintah.
Para perajin perak secara komunal yang tergabung di dalam Celuk Design Center mengajukan permohonan indikasi geografis kepada pemerintah melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual pada Kementerian Hukum dan HAM RI dan sudah terdaftar resmi pada Desember 2018.
Dengan begitu, kerajinan perak dan emas Celuk adalah kerajinan yang berasal dan dibuat oleh masyarakat Desa Celuk dan sekitarnya, termasuk terjaga kualitas dan keberlanjutan tradisinya. Kerajinan itu merupakan warisan leluhur mereka yang eksis lebih dari 100 tahun di desa itu.
Kebangkitan pariwisata
Selain wisata tubing, dan kerajinan perak, desa wisata itu juga mengembangkan wisata bersepeda mengelilingi area persawahan melalui desa-desa tetangga.
Potensi lain yang bisa digali lebih lanjut dan dikelola maksimal di antaranya wisata ayunan (swing) hingga wisata mengendarai kendaraan motor ATV menyusuri wilayah perdesaan dengan keunikan Celuk.
Menggali potensi desa menjadi atraksi wisata yang beragam membutuhkan ide dan kreativitas. Tujuannya untuk pemberdayaan masyarakat sekaligus memberikan nilai tambah desa wisata yang keberlanjutan. Menjadi desa wisata memerlukan proses yang tidak singkat serta membutuhkan tenaga dan materi yang tak sedikit.
Tak hanya itu, perlu didukung keseriusan dan kolaborasi semua pihak termasuk masyarakat untuk menjaga keberlanjutan dan kebersihan alam, termasuk mengelola sampah plastik guna memaknai momentum pemulihan pariwisata Bali.
Setelah berkendara beberapa menit dari titik awal Asasuka di Jalan Subak Belaki menuju Jalan Jagaraga yang berjarak sekitar satu kilometer di desa itu, mereka tiba di tepian sungai yang dapat diakses melalui Gang Maspait.
Dengan mengenakan pelampung dan helm keselamatan, wisatawan tersebut kemudian nampak serius menyimak arahan dari para pemandu sebelum menjajal atraksi yang menantang. Mereka kemudian berseluncur di atas permukaan air sungai berarus ringan menggunakan perahu karet atau dikenal dengan wisata tubing.
Selama menyusuri sungai dengan lintasan yang berliku, wisatawan diajak merasakan sensasi menantang adrenalin, menikmati suasana hijau dan menyaksikan aktivitas pertanian.
Wisata tubing berjarak pendek sekitar enam kilometer itu, memiliki dua titik wahana perosotan setinggi sekitar dua meter sehingga menghasilkan arus sungai yang deras. Titik ikonik lain yang disusuri yakni memasuki mulut goa buatan yang terbilang unik karena berbentuk kepala barong dengan ukiran khas Bali.
Dengan waktu tempuh sekitar satu jam, wisatawan kemudian kembali di titik awal dengan pilihan kuliner yang dapat dinikmati usai berpetualang menyusuri sungai. Sensasi segar pun dirasakan wisatawan usai menjajal wisata air itu di tengah sinar matahari Bali yang cukup terik. Atraksi wisata tubing tergolong baru dikenalkan di desa tersebut yang dibuka kepada publik sejak awal Januari 2024.
Desa wisata
Provinsi Bali saat ini memiliki 238 desa wisata tersebar di sembilan kabupaten/kota. Ada pun Kabupaten Gianyar merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki banyak desa wisata. Kabupaten yang kaya seni dan budaya itu pada 2022 memiliki 40 desa wisata salah satunya Desa Celuk.
Desa Celuk menyandang status desa wisata oleh Pemerintah Kabupaten Gianyar sejak 2019 dengan daya tarik utama sebagai sentra kerajinan perak yang tersebar di tiga banjar (dusun) yakni Celuk, Tangsub dan Cemenggaon.
Sayangnya, kala itu belum banyak yang bisa dilakukan untuk menyemarakkan predikat desa wisata tersebut karena seketika dunia dihantam pandemi COVID-19 pada Januari 2020.
Bencana non alam bersejarah di era milenial tersebut seakan membuat gelagapan semua orang termasuk para pelaku pariwisata di Bali yang perputaran ekonominya mengandalkan sektor tersebut.
Aktivitas pariwisata di Pulau Dewata pun mati suri selama sekitar tiga tahun karena mobilitas manusia yang terbatas, bahkan dihentikan sementara karena tak ada kunjungan wisatawan saat itu.
Perbekel (Kepala Desa) Celuk I Nyoman Rupadana mengungkapkan pandemi COVID-19 ternyata membawa sisi lain karena mendorong inisiatif bagi aparat desa dan pegiat pariwisata di desa setempat untuk bangkit mengembangkan desa wisata.
Sedikit demi sedikit di tengah masa pandemi, pemerintah desa dan pelaku pariwisata desa setempat memutar idenya untuk menciptakan atraksi wisata salah satunya wisata tubing tersebut.
Menyadari karunia bentang alam berupa kawasan pertanian dan aliran sungai yang membelah desa seluas 247,56 hektare itu justru menjadi awal mula pengembangan potensi wisata.
Potensi tersebut terus digali dengan dibarengi sejumlah penataan infrastruktur desa sejak 2021 hingga 2024 yang mengalokasikan total sekitar Rp586 juta melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).
Penataan itu di antaranya perbaikan sempadan sungai, wahana dan peralatan tubing, hingga jalur joging dan treking di kawasan persawahan di sejumlah titik desa tersebut.
Infrastruktur itu juga didukung bantuan dari pemerintah pusat yang saat itu nomenklaturnya masih bernama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dengan memasang beton di kiri-kanan badan sungai agar terlindungi dari potensi tanah longsor.
Bak gayung bersambut, atraksi tubing itu pun mendapat sambutan positif wisatawan sebagai alternatif baru wisata di Desa Celuk. Beberapa layanan pun diberikan kepada wisatawan di antaranya mencakup makan siang, alat mandi hingga tersedianya asuransi dengan harga yang kompetitif.
Wisata tubing itu dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Tri Amerta Dana yang didirikan oleh Pemerintah Desa Celuk pada 2018.
Ketua BUMDes Nyoman Wandra mengungkapkan wisata air tersebut memberikan lapangan pekerjaan khususnya bagi warga setempat, di antaranya mulai proses pembangunan, pengelolaan wisata tubing, pemandu hingga pekerja restoran mini.
Saat ini, sebagian besar penikmat wisata air itu adalah wisatawan mancanegara, sebagian lainnya adalah wisatawan lokal dan domestik.
Perak dan HAKI
Pariwisata dan perekonomian desa pun menggeliat karena tak hanya wisata tubing, ada juga kelas belajar mendesain perhiasan perak yang selama ini menjadi ikon Desa Wisata Celuk.
Selain berwisata, para pelancong diajak menambah wawasan terkait cara membuat perhiasan perak.
Perbekel Celuk I Nyoman Rupadana menyebutkan sekitar 100 kepala keluarga di desa tersebut menjadi pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) kerajinan perak.
Salah satunya perajin perak Astina di Banjar (Dusun) Cemenggaon, Desa Celuk yakni Komang Asti yang sejak 2018 membuka kelas belajar kerajinan perak.
Sama dengan pelaku pariwisata lainnya, baik produksi kerajinan perak hingga kelas belajar sempat terhenti total karena pandemi COVID-19.
Setelah pandemi mereda, Asti kemudian membuka kelas kembali yang mayoritas diminati wisatawan asing di antaranya dari Australia, Amerika Serikat, Prancis, Jepang hingga India serta wisatawan domestik di antaranya dari Jakarta.
Bersama sang suami dan dibantu beberapa pegawai harian, ia mengajarkan membuat perhiasan berbahan 95 persen perak dan sisanya dicampur dengan bahan aloi. Campuran dilakukan agar perhiasan perak itu memiliki tekstur lebih kuat.
Ada pun durasi belajar perak selama dua hingga tiga jam dengan maksimal menggunakan 10 gram perak. Wisatawan dapat membuat kreasi sendiri atau menggunakan desain ukiran khas Bali dengan didampingi para perajin selaku mentor. Dengan harga Rp450 ribu, hasil kerajinan perak buatan tangan sendiri itu pun dapat langsung dibawa pulang.
Melalui kelas belajar itu wisatawan dapat memahami detail dan panjangnya proses pembuatan kerajinan mulai dari melebur perak mentah yang berbentuk butiran kecil, mengolah lempengan perak, mendesain, mematri hingga menghaluskan perak agar lebih bersih dan menarik.
Para perajin perak dari desa itu pun saat ini bernafas lega dari segi hukum karena kreasi kerajinan perak atau emas dari Celuk mendapatkan perlindungan dari pemerintah.
Para perajin perak secara komunal yang tergabung di dalam Celuk Design Center mengajukan permohonan indikasi geografis kepada pemerintah melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual pada Kementerian Hukum dan HAM RI dan sudah terdaftar resmi pada Desember 2018.
Dengan begitu, kerajinan perak dan emas Celuk adalah kerajinan yang berasal dan dibuat oleh masyarakat Desa Celuk dan sekitarnya, termasuk terjaga kualitas dan keberlanjutan tradisinya. Kerajinan itu merupakan warisan leluhur mereka yang eksis lebih dari 100 tahun di desa itu.
Kebangkitan pariwisata
Selain wisata tubing, dan kerajinan perak, desa wisata itu juga mengembangkan wisata bersepeda mengelilingi area persawahan melalui desa-desa tetangga.
Potensi lain yang bisa digali lebih lanjut dan dikelola maksimal di antaranya wisata ayunan (swing) hingga wisata mengendarai kendaraan motor ATV menyusuri wilayah perdesaan dengan keunikan Celuk.
Menggali potensi desa menjadi atraksi wisata yang beragam membutuhkan ide dan kreativitas. Tujuannya untuk pemberdayaan masyarakat sekaligus memberikan nilai tambah desa wisata yang keberlanjutan. Menjadi desa wisata memerlukan proses yang tidak singkat serta membutuhkan tenaga dan materi yang tak sedikit.
Tak hanya itu, perlu didukung keseriusan dan kolaborasi semua pihak termasuk masyarakat untuk menjaga keberlanjutan dan kebersihan alam, termasuk mengelola sampah plastik guna memaknai momentum pemulihan pariwisata Bali.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024
Tags: