Pada masa kampanye Pemilihan Umum Presiden 2014, persoalan kedaulatan pangan lantang disuarakan oleh kedua calon presiden yang sedang bersaing.

Persoalannya, pada 22 Juli 2014 ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan mereka menjadi presiden baru Indonesia untuk masa kerja 2014-2019, bagaimana bangsa Indonesia dapat memastikan agar komitmen itu dijalankan?

Sampai hari ini tidak ada satupun yang bisa menyangkal komitmen kedua pasangan calon presiden (capres) dalam soal kedaulatan pangan. Isu mengenai pangan yang mencakup sektor-sektor pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan menjadi jargon politik yang mereka suarakan untuk menarik perhatian rakyat.

Tampaknya, selain menjadi perhatian setiap pasangan capres, tim sukses masing-masing juga menyadari tantangan dan persoalan penyediaan pangan masa depan yang harus menjadi perhatian pokok di tengah impor pangan yang tak terkontrol.

Pada titik ini, isu kedaulatan pangan telah menjadi kebenaran publik yang mampu masuk dan terserap dalam pemikiran dan agenda elit politik. Namun demikian, cukupkah sampai di sini?

Soal pangan adalah soal politik, karena menyangkut urusan asasi dari manusia untuk bisa hidup dan bekerja. Ketidakmampuan sebuah rezim dalam mengelola urusan pangan rakyatnya, berpotensi menjadi sumber instabilitas nasional.

Oleh karenanya, memberikan perhatian yang lebih besar pada persoalan pangan, bukan saja bisa mendorong kesejahteraan rakyat, tetapi juga memastikan salah satu faktor instabilitas itu tidak berkembang.

Atas dasar itulah, isu pangan layak dijadikan sebagai isu strategis lintas kelembagaan, lintas instansi negara dan kementerian. Maksud dari isu strategis lintas kelembagaan adalah, bahwa sebagai sebuah gagasan, diskursus tentang kedaulatan pangan harus bersifat hegemonik.

Dalam artian gagasan tersebut harus bisa mengatasi problem-problem struktural yang biasa dihadapi dalam sistem birokrasi modern dan juga struktur sosial masyarakat.

Dalam perjalanannya, konsepsi hegemonik yang lahir di awal abad 20 oleh salah satunya pemikir besar Antonio Gramsci, kemudian "dibarukan" oleh satu terma dengan istilah pengarusutamaan.

Sebuah cara, dengan mana gagasan bisa dimaknai dan dimengerti oleh berbagai pihak, lintas kepentingan, lintas kelas sosial, lintas identitas. Dengan dipamahaminya gagasan tersebut, harapannya akan muncul suasana batin kolektif yang bisa memicu munculnya sebuah tindakan nyata untuk menyelesaikan sebuah persoalan.

Pada titik inilah, gagasan kedaulatan pangan mesti bisa kita letakkan agar tidak hanya menjadi jargon semata. Persoalannya, bagaimana kita bisa memastikan bahwa presiden kita yang baru nanti, bisa meletakkan gagasan tentang kedaulatan pangan jadi arus utama atau jadi hegemonik ?



Pro Pangan

Pascapengumuman pemenang pilpres, diskursus politik, baik di media massa ataupun logika politik para elit akan cepat bergeser kepada cara-cara untuk terlibat lebih jauh dalam proses kekuasaan.

Sesuatu yang membuat politik menjadi sangat beralasan untuk diperjuangkan. Kendati demikian, persoalannya bukan pada bagaimana upaya-upaya untuk terlibat dalam kekuasaan itu dilakukan oleh berbagai kelompok kepentingan.

Dalam konteks tulisan ini, yang jauh lebih esensial adalah, sejauh mana gagasan tentang kedaulatan pangan itu juga menubuh di dalam kesadaran setiap pihak yang saat ini sedang berkontestasi untuk terlibat dalam proses kekuasaan tersebut.

Singkatnya, kalau presiden baru benar-benar ingin menciptakan kedaulatan pangan, maka ia harus memastikan agar mereka yang nantinya terlibat dalam menjalankan agenda kekuasaan, mengerti dan memahami apa yang dimaksud dengan agenda kedaulatan pangan tersebut.

Selanjutnya, ia juga harus memastikan bahwa setiap lembaga atau kementrian yang nantinya berhubungan dengan persoalan kedaulatan pangan, baik yang langsung ataupun tidak langsung memiliki srategi yang terintegrasi untuk bersama-sama mencapai target-target yang telah ditentukan.

Presiden baru harus menjadi dirigen yang handal dalam menciptakan kedaulatan pangan. Karena secara ontologis persoalan pangan itu sendiri bersifat lintas klasifikasi sosial di dalam masyarakat, maka upaya metodologis untuk menyelesaikan permasalahannya juga semestinya lintas sektoral.

Pada titik ini, selain orang-orang yang berintegritas, presiden baru juga harus memastikan bahwa struktur kementerian teknis yang secara langsung berhubungan dengan persoalan pangan dan pertanian dalam arti luas, seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan dan kelautan, mesti dikoordinir oleh orang yang juga memahami dan mengerti aspek-aspek strategis dalam mencapai agenda kedaulatan pangan.

Kita butuh menteri koordinator ekonomi yang memahami betul, bagaimana kedaulatan pangan itu bisa dicapai.

Selain itu, instansi dan lembaga lain yang tidak secara langsung berkaitan dengan persoalan pangan dan pertanian, tetapi kerap menjadi kunci dalam memajukan sektor pertanian juga mesti didukung oleh orang-orang yang paham tentang kedaulatan pangan itu sendiri.

Sebut saja kementerian pekerjaan umum, kementerian koperasi dan usaha kecil, kementerian BUMN, kementerian lingkungan hidup, kementerian perhubungan, kementerian perdagangan, Bank Indonesia, BPN, BULOG, BPS dan instansi lainnya, harus dipastikan memahami jargon-jargon politik presiden tentang kedaulatan pangan pada saat pemilu kemarin.

Meskipun mereka tidak secara langsung bersentuhan dengan persoalan pangan dan pertanian, tetapi gugus tugas mereka menentukan keberhasilan pencapaian agenda kedaulatan pangan itu sendiri. Hanya dengan jalan itu, upaya pencapaian kedaulatan pangan mendapat dukungan yang optimal dari semua instansi pemerintah.

Di sisi lain, posisi organisasi-organisasi masyarakat yang selama ini telah konsisten dalam mendorong agenda kedaulatan pangan menjadi semakin penting di era pemerintahan baru nanti.

Selain menjadi mitra strategis, mereka juga bisa menjadi kelompok penekan untuk memastikan bahwa kedaulatan pangan adalah harga mati yang harus diperjuangkan secara konsisten oleh presiden baru. Setiap kementerian dan lembaga mesti didorong untuk terlibat secara optimal dalam mendukung agenda tersebut.

Tanpa itu semua, kita patut mafhum, bahwa kedaulatan pangan tak lebih hanya ritus omong kosong lima tahunan para capres. Mereka memang tak bermaksud mewujudkannya.

*) Penulis adalah Ketua Departemen Humas DPP Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor (IPB).