Jakarta (ANTARA) - Sapril Rumbia masih saja menyempatkan waktu untuk duduk termenung di pinggir dermaga, memandangi hamparan perairan Teluk Ambon, Maluku, dari kejauhan yang seolah tak ada ujungnya. Pagi itu, ia tampak begitu tenang walau Matahari mulai meninggi dan panasnya menyengat kulit. Matanya terlihat sayu, bibirnya terkatup rapat seraya tangan merangkul erat perahu kayu yang tertambat di sebelahnya.

Satu-persatu kapal nelayan berdatangan menyusulnya ke dermaga, bahkan beberapa dari mereka sesekali menyapa. Itu pun tak dihiraukannya. Ia tetap saja merenung, seolah sedang mengaduk-aduk ingatan masa lalu tentang perjuangan bersama perahu kayu kecil miliknya itu saat mengarungi lautan.

Perahu Sapril itu hanya berlapis pernis yang begitu sederhana, tanpa mesin canggih, pun tanpa perlengkapan memadai. Namun, dengan perahu itu pula ia setiap saat bertaruh nyawa menghadapi gelombang laut untuk mencari ikan, yang menjadi sumber pendapatan utama untuk menghidupi keluarganya selama 25 tahun ini.

Sebagaimana yang dialaminya beberapa pekan lalu, pria bertubuh gempal ini dipaksa bertahan menghadapi derasnya angin muson barat saat mencari ikan di tengah perairan Teluk Ambon atau berjarak sekitar 5 mil dari Desa Allang, Leihitu Barat, Maluku Tengah.

Di tengah gelombang tak menentu, Sapril berhasil membawa pulang perahu beserta hasil tangkapannya dengan selamat. Hasilnya memang belum memuaskan karena yang ditangkap adalah ikan-ikan kecil dan kurang diminati pasar. Jumlahnya pun tak bisa memenuhi daya tampung biduk berkapasitas setidaknya 30 kilogram lebih seperti biasanya. Akan tetapi, kegigihan dan pengalamannya menunggangi lautan patut diakui.

Sapril adalah nelayan keturunan asli Suku Burangasi Rumbia, Buton, Sulawesi Tenggara, dan tumbuh besar di Laha, desa adat di Kecamatan Teluk Ambon, Maluku, yang sebagian besar masyarakatnya muslim dan berprofesi sebagai nelayan.

Oleh karena itu, ia tahu persis ikan-ikan besar seperti cakalang, tongkol, dan tatihu (tuna dalam bahasa Ambon) ada di sana, di tengah lautan yang berjarak lebih dari 30 kilometer dari pesisir Teluk Ambon. Terlebih musim muson barat seperti saat ini akan membawa lebih banyak ikan di perairan itu.

Namun mustahil ia mencapainya, apalagi hanya mengandalkan perahu kecil itu. Hal ini karena perairan itu berhadapan langsung dengan Laut Banda yang gelombangnya dikenal ganas saat muson barat sehingga risiko ombak dan arus yang akan dihadapi juga lebih besar. Laut ini juga menjadi jalur pelayaran kapal penumpang antarpulau.

Sapril Rumbia (39) seorang nelayan dari Desa Laha, Ambon, Maluku saat memanggul mesin kapal baru bantuan dari Kementerian Sosial. ANTARA/HO-Kemensos

Kapal baru untuk Sapril

Sepenggal petualangan terakhir Sapril dengan perahu kayu tua itu agaknya menjadi kisah yang akan menjadi ingatan indahnya, selamanya. Pasalnya, saat ini ia sudah mendapatkan sebuah perahu baru bantuan dari Kementerian Sosial yang siap dibawa melaut hingga sejauh mata memandang.

Semua bermula saat Sapril bertemu tak sengaja dengan rombongan pejabat Kementerian Sosial yang sedang mengunjungi Kota Ambon, belum lama ini.

Dalam sebuah pertemuan singkat di tepi laut dekat Bandara Pattimura, pejabat Kementerian Sosial itu bertanya kepada Sapril yang sedang memancing dari perahunya terkait apa yang sedang dibutuhkan.

Ia pun dengan rendah hati menjawab membutuhkan kapal untuk menggantikan perahu kayunya yang tak lagi mampu menembus laut yang lebih dalam. Sepenggal jawaban yang sederhana, tapi menyentuh ini membuat pejabat kementerian itu mengambil langkah cepat.

Beberapa saat kemudian rumah Sapril didatangi perwakilan Menteri Sosial didampingi jajaran Dinas Sosial Kota Ambon dan Camat Teluk Ambon. Mereka memintanya untuk melengkapi sejumlah berkas administratif seperti kartu keluarga dan KTP.

Terkejut bukan kepalang, ia yang sedang melaut diminta untuk segera pulang oleh istrinya. Mereka memperoleh kabar akan mendapatkan bantuan kapal lengkap dengan peralatan, seperti jaring dan pancing yang baru dari Kementerian Sosial.

Pria penyuka musik cadas ini mengaku dirinya bagai mengalami mimpi di siang bolong, setelah mengetahui bahwa salah satunya dari deretan perahu berbahan fiber yang sudah beberapa hari terpajang di sentra pembuatan kapal dekat rumahnya itu ternyata menjadi miliknya.

Perahu dengan panjang 7,5 meter, lebar 1,20 meter, dilengkapi mesin 15 PK, dan berdaya tampung hingga 400 kilogram ikan itu selama ini dibuat untuk memenuhi pesanan Sentra Wasana Bahagia Ternate. Satu-satunya UPT Kementerian Sosial di Maluku itu memesan enam unit kapal kepada perajin kapal laut tradisional di Desa Laha, Teluk Ambon, dan memang disiapkan khusus untuk membantu nelayan setempat.

Menteri Sosial Saifullah Yusuf menyerahkan secara simbolis bantuan kapal untuk Sapril Rumbia (39) seorang nelayan dari Desa Laha, Ambon, Maluku. ANTARA/M Riezko Bima Elko Prasetyo

Pemesanan perahu nelayan ini dilakukan pada masa Tri Rismaharini masih menjabat sebagai Menteri Sosial, kemudian diteruskan oleh penggantinya, Saifullah Yusuf, selaku Menteri Sosial era Kabinet Merah Putih yang juga sekaligus menyerahkan langsung empat dari enam kapal kepada Sapril dan nelayan lainnya di Desa Laha, Teluk Ambon.

Pendapatan nelayan tradisional tergolong kecil dan sangat bergantung pada penjualan hasil laut untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Data dari BPS pada tahun 2023 mencatat rata-rata pendapatan nelayan tradisional di Ambon, Maluku, masih di angka Rp2.040.000 per bulan, termasuk kelompok nelayan Desa Laha.

Padahal potensi hasil laut dari Maluku mencapai 3,9 juta ton atau Rp117 triliun per tahun, sebanyak 124.213,4 ton di antaranya berasal dari Kota Ambon. Hal tersebut menjadi salah satu alasan Kementerian Sosial untuk terus mencurahkan perhatian kepada nelayan Teluk Ambon, dengan harapan dapat meningkatkan taraf hidup mereka melalui bantuan ini.

Atas bantuan ini, Sapril merasa dihargai dan diperhatikan. Meskipun perahu tersebut menjadi milik bersama dengan lima orang rekannya yang lain, baginya semua itu sudah lebih dari cukup karena bisa menjamah laut dalam yang selama ini diidam-idamkannya.

Lautan dalam menjadi habitat ikan-ikan besar yang memiliki nilai jual yang besar juga di pasaran. Hasil penjualan tersebut selebihnya akan disisihkan untuk kepentingan pendidikan empat orang anaknya.

Putra sulungnya yang kini berusia 23 tahun pendidikannya terpaksa berhenti di bangku SMA demi menambah penghasilan keluarga dengan bekerja sebagai buruh, padahal ia langganan juara tiga di kelasnya. Adapun tiga adiknya masih bersekolah, dan si bungsu yang perempuan baru saja duduk di bangku SMP.

Kisah ini agaknya membuktikan sesederhana apa pun bantuan yang diberikan Pemerintah, itu sangat berarti dan bisa mengubah lebih baik hidup seseorang.

Dengan perahu baru ini, Sapril menjadi lebih bernyali menantang laut demi masa depan keluarga dan pendidikan anak-anaknya sehingga kelak bisa hidup lebih sejahtera.

Editor: Achmad Zaenal M