Jakarta (ANTARA) - Perilaku korupsi yang terjadi di Indonesia telah menjalar di segala lini aspek di kehidupan mulai masyarakat kecil, swasta, bahkan di lembaga pemerintah yang menggalakkan pemberantasan korupsi itu sendiri. Seolah tidak mengenal rasa takut, para pelaku korupsi tetap saja berani melakukan hal yang merugikan bagi dirinya, keluarga, terutama negara.

Bahkan menurut data dari Badan Pusat Statistik, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK), Indonesia pada tahun 2023 berada di angka 3,92. Angka tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun 2022 yang mencapai 3,93. Nilai indeks semakin mendekati 5 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin antikorupsi, sedangkan nilai indeks yang semakin mendekati 0 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku kian permisif terhadap korupsi.

Pemerintah Indonesia bukannya tinggal diam dalam memberantas 'penyakit' yang sulit untuk disembuhkan ini. Sejumlah upaya telah dan terus dilakukan dalam mencegah dan melenyapkan borok korupsi tersebut.

Lembaga-lembaga pemberantasan korupsi telah didirikan untuk mencegah praktik korupsi itu sendiri, mulai dari Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK yang bertugas dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

Kemudian ada Kejaksaan Agung yang melakukan penyidikan, penuntutan, dan melaksanakan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, ada Mahkamah Agung yang bertugas sebagai pengawas tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan.

Selanjutnya ada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK dengan tugas penyelidikan atas analisis transaksi keuangan. Tak bisa dilupakan peran Kementerian Hukum dan HAM sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan. Ada juga Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) selaku pemantau, pemberi bimbingan, dan pembina terhadap kegiatan pengawasan keuangan dan pembangunan. Lantas ada Komisi Yudisial yang menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Sebanyak lembaga pencegah dan pemberantasan korupsi yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia tersebut nyatanya korupsi masih tumbuh subur. Hal tersebut menjadikan salah satu alasan Pemerintah kembali memunculkan satu senjata lagi untuk menghentikan korupsi, yaitu pembentukan Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri.


Diteken Jokowi, dijalankan era Prabowo

Kelahirannya bukan hanya sebagai pelengkap di tubuh Polri. Kortastipidkor mempunyai tugas membantu Kapolri dalam membina dan menyelenggarakan pencegahan, penyelidikan, dan penyidikan dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana korupsi serta melaksanakan penelusuran dan pengamanan aset dari tindak pidana korupsi.

Korps ini sejatinya telah diajukan oleh Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo sejak Desember 2021 saat melantik 44 orang mantan pegawai KPK sebagai ASN Polri. Namun baru resmi diteken oleh Presiden Jokowi pada 15 Oktober 2024 dengan menjadikan lembaga di bawah kendali Kapolri ini menjadi senjata untuk memperkuat KPK ataupun Kejaksaan Agung yang telah berdiri.




Selain itu, kehadiran Kortastipidkor dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat melihat keseriusan Pemerintah dalam memberantas korupsi mengingat sebelumnya senjata andalan negeri ini yaitu KPK, pucuk pimpinannya, Firli Bahuri, tersandung masalah.

Dicopotnya Firli Bahuri dari Ketua KPK bisa menjadi suatu pukulan telak bagi Pemerintah yang ingin memberantas korupsi di negara ini. Kehadiran Kortastipidkor diharapkan bisa mempertebal tameng dari serangan korupsi.

Apalagi Pemerintahan Prabowo-Gibran menjadikan pencegahan dan pemberantasan korupsi sebagai salah satu dari 17 program prioritasnya. Adapun program tersebut merupakan turunan dari visi dan delapan misi Astacita Prabowo-Gibran, yaitu memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba. Presiden Prabowo jelas tidak akan menyia-nyiakan korps yang “dihadiahkan” oleh presiden sebelumnya untuk memberantas korupsi di negara ini.

Nantinya, korps yang juga diperkuat oleh Novel Baswedan ini akan dipimpin setara jenderal bintang dua akan dilengkapi dengan divisi-divisi, seperti divisi pencegahan, kerja sama antarlembaga, dan penindakan sehingga di dalamnya berdiri divisi lengkap mulai dari pencegahan, kerja sama sampai penindakan.

Dengan dilahirkannya lembaga antikorupsi baru ini diperlukan adanya anggota yang memiliki kemampuan khusus, dedikasi, serta integritas dalam pemberantasan tipikor, sebagaimana semua aparat penegak hukum yang mengawaki institusi pemberantasan tindak pidana korupsi.

Selain itu juga diperlukan peralatan dan material khusus (almatsus) Polri yang canggih serta dukungan anggaran operasional dan insentif pemberantasan tindak pidana korupsi yang setidaknya sama dengan KPK.

Mengingat korps ini lahir di ranah Polri, jelas tujuan lebih dahulunya adalah pemberantasan di lingkungan Polri tersebut itu sendiri, dengan menekankan pentingnya Kortastipidkor untuk menitikberatkan pada pembenahan integritas internal Polri dengan melakukan penindakan kepada oknum polisi yang melakukan tindak pidana korupsi, seperti melindungi atau mendiamkan rekan sejawat yang korupsi.


Tidak tumpang tindih

Lahirnya Kortastipidkor bukan saja memperkuat lembaga pemberantasan korupsi yang sudah ada, melainkan juga menimbulkan kekhawatiran adanya tumpang tindih dengan lembaga yang sudah lebih dulu ada seperti KPK dan Kejaksaan.

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi UGM (Pukat UGM) Zaenur Rohman menilai pembentukan Kortastipidkor merupakan bentuk upgrade kelembagaan Polri dalam upaya memberantas korupsi. Sejalan dengan itu, ada peningkatan sumber daya manusia hingga logistik.

Kortastipidkor punya harapan positif meski meninggalkan catatan. Catatan tersebut yakni keberanian untuk bersih-bersih dari dalam. Zaenur menyampaikan bahwa Polri harus berkomitmen terlebih dulu memberantas korupsi yang tak pandang bulu di lingkungan internal mereka. Dia mengibaratkan kesia-siaan membersihkan debu apabila si sapu masih kotor.

Mengenai Kortastipdkor dikhawatirkan bakal tumpang tindih kewenangan dengan lembaga anti korupsi lain macam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan, Zaenur yakin hal itu tak akan terjadi.

Alasannya, antara Polri, KPK, dan Kejagung masing-masing mempunyai kewenangan sendiri. Pun dengan sejumlah kasus yang ditangani tiga lembaga tersebut. Kortastipidkor diyakini tidak bakal mengganggu kinerja KPK yang selama ini sering menangani kasus-kasus besar dibanding Polri.

KPK selama ini terkesan dilemahkan justru terjadi jauh sebelum pembentukan Kortastipidkor. Zaenur menyinggung revisi Undang-Undang (UU) KPK 2019 yang meletakkan KPK di bawah rumpun eksekutif. Lantaran hal tersebut, maka publik seharusnya tak khawatir Kortastipidkor bakal melemahkan KPK. Malahan, antara Polri, KPK, dan Kejaksaan bisa saling melakukan supervisi ketika mengusut kasus tertentu.

Ia juga menekankan pentingnya bersih-bersih internal lembaga antikorupsi alih-alih hanya fokus memberantas korupsi di lingkungan eksternal. Hal tersebut berlaku untuk Polri, KPK dan Kejaksaan. Bisa dibayangkan jika ketiganya bekerja sama dan bersinergi untuk memberantas korupsi di negeri ini, bisa dipastikan korupsi sedikit demi sedikit akan terkikis bahkan hilang di Indonesia.

Namun, efektivitas Kortastipidkor memberantas korupsi masih perlu ditunggu karena semua tergantung pelaksanaan di lapangan, seperti KPK yang akhirnya beberapa kali tersandung kasus korupsi begitu juga dengan Kejaksaan yang mengalami hal serupa.

Akan tetapi, kehadiran Kortastipidkor setidaknya membuat para pencoleng itu berpikir seribu kali sebelum melakukan korupsi di negara ini.

Editor: Achmad Zaenal M