Coblos ulang di Jakarta diharapkan dilakukan KPU DKI
19 Juli 2014 20:40 WIB
ilustrasi Rapat Pleno Jakarta Barat Petugas menunjukkan amplop tersegel yang berisi hasil rekapitulasi surat suara pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 tingkat PPS dan PPK saat rapat pleno tingkat Kota Administrasi Jakarta Barat di Kebun Jeruk, Jakarta Barat, Rabu (16/7). (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga) ()
Jakarta (ANTARA News) - Direktur Sinergi masyarakat untuk demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin menilai, pemungutan suara ulang (PSU) pada 5802 TPS di DKI Jakarta itu merupakan pelaksanaan atas rekomendasi Bawaslu DKI Jakarta.
"Lembaga pengawas Pemilu itu merekomendasikan kepada KPU DKI Jakarta agar menyelenggarakan PSU karena berdasarkan kajian mereka ditemukan adanya sejumlah pelanggaran serius yang terjadi di sejumlah TPS," kata Said di Jakarta, Sabtu.
Diantaranya, ungkap Said, adalah terkait dengan adanya pembukaan kotak suara yang tidak sesuai aturan oleh petugas dan ada pula yang terkait dengan pemilih yang tidak memenuhi syarat untuk memilih di suatu TPS. "Pelanggaran-pelanggaran itu dinilai oleh Bawaslu telah mencederai prinsip-prinsip penyelenggaraan Pilpres yang demokratis," sebut dia.
Terkait dengan persoalan pemilih, misalnya, ditemukan pemilih yang tidak memenuhi syarat untuk memilih di TPS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ada yang mengaku sebagai pemilih tambahan atau pemilih yang berpindah TPS dengan membawa Formulir A5, tetapi formulir yang mereka tunjukan kepada KPPS itu diragukan keabsahannya.
"Sebab, dalam formulir itu tidak ada cap atau stempel dari PPS yang menerbitkannya. Ada pula pemilih khusus atau pemilih yang menggunakan hak pilihnya dengan menggunakan KTP, tetapi mereka itu ternyata bukan warga yang berdomisili di TPS setempat. Bahkan ada yang ber-KTP dari luar DKI Jakarta," kata Said.
Lebih parahnya lagi, bukti identitas dari para pemilih yang tidak jelas asal usulnya itu tidak dimiliki oleh KPPS. KPPS sama sekali tidak menyimpan foto copy KTP dari para pemilih misterius itu. Bahkan sekedar daftar nama-nama pemilih tersebut pun tidak ada datanya.
"Ini bukan soal pembatasan hak memilih kepada warga negara, tetapi ini soal pemenuhan syarat administratif yang harus dipenuhi oleh pemilih. Pemilu itu kan harus diselenggarakan secara tertib dan teratur. Prinsipnya, setiap warga negara yang sudah berusia 17 tahun atau sudah kawin boleh memilih. Tetapi prosedur hukum juga harus ditaati," sebutnya.
Kalau memang tidak terdaftar dalam DPT, misalnya, pemilih tetap dijamin hak pilihnya, tetapi bukan berarti dia bisa memilih di sembarang TPS. Dia hanya boleh memilih di tempat domisilinya saja. Kalau KTP-nya dari sumatera, misalnya, ya tidak boleh dia memilih di TPS yang ada di DKI Jakarta. Dia hanya bisa memilih di daerah tempat tinggalnya. Syarat formil itu sesuai dengan Putusan MK Nomor 102 tahun 2009 dan telah pula ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
"Kalau setiap orang mau sesukanya saja memilih di sembarang TPS tanpa mengindahkan syarat-syarat formil untuk memilih, yang ada malah muncul ketidakteraturan Pemilu. Pemilu yang tidak teratur jelas tidak mencerminkan Pemilu yang berkualitas," ungkapnya.
Ia menyatakan, pemilih harus diatur terhadap mereka yang tidak terdaftar dalam DPT hanya boleh memilih di tempat domisilinya saja? Diantara alasannya adalah agar penyelenggaraan Pemilu menjadi tertib, potensi pemilih ganda dapat diminimalisir, mobilisasi pemilih dapat diantisipasi, dan tidak terjadi kekurangan surat suara di TPS.
"Harus diingat bahwa pemilih yang menggunakan KTP atau pemilih khusus itu tidak pernah dialokasikan surat suaranya. Mereka hanya bisa memilih kalau masih ada surat suara sisa dari pemilih DPT atau memanfaatkan surat suara cadangan yang tidak terpakai. Dalam konteks inilah pengaturan syarat formil tadi menjadi penting," imbuh dia.
Jadi, menurutnya, sudah benar rekomendasi Bawaslu DKI Jakarta itu. Di beberapa daerah lain pun kasus serupa terjadi dan berujung dengan digelarnya PSU. Dalam UU Pilpres memang tidak diatur ketentuan PSU akibat pelanggaran-pelanggaran semacam itu. Pasal 164 dan Pasal 165 UU Pilpres hanya mengatur tentang PSU yang wajib dilakukan seketika pada hari pemungutan suara, yaitu pada tanggal 9 Juli lalu, dan PSU karena munculnya kondisi force majeur.
"Tetapi oleh karena Bawaslu telah diperintahkan secara tegas oleh peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan Pemilu yang luber dan jurdil, maka dalam rangka penegakan hukum Pemilu Bawaslu dapat saja mengeluarkan rekomendasi yang menjadi kewenangannya dengan meminta kepada jajaran KPU untuk melaksanakan PSU seperti itu," pungkas Said.(*)
"Lembaga pengawas Pemilu itu merekomendasikan kepada KPU DKI Jakarta agar menyelenggarakan PSU karena berdasarkan kajian mereka ditemukan adanya sejumlah pelanggaran serius yang terjadi di sejumlah TPS," kata Said di Jakarta, Sabtu.
Diantaranya, ungkap Said, adalah terkait dengan adanya pembukaan kotak suara yang tidak sesuai aturan oleh petugas dan ada pula yang terkait dengan pemilih yang tidak memenuhi syarat untuk memilih di suatu TPS. "Pelanggaran-pelanggaran itu dinilai oleh Bawaslu telah mencederai prinsip-prinsip penyelenggaraan Pilpres yang demokratis," sebut dia.
Terkait dengan persoalan pemilih, misalnya, ditemukan pemilih yang tidak memenuhi syarat untuk memilih di TPS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ada yang mengaku sebagai pemilih tambahan atau pemilih yang berpindah TPS dengan membawa Formulir A5, tetapi formulir yang mereka tunjukan kepada KPPS itu diragukan keabsahannya.
"Sebab, dalam formulir itu tidak ada cap atau stempel dari PPS yang menerbitkannya. Ada pula pemilih khusus atau pemilih yang menggunakan hak pilihnya dengan menggunakan KTP, tetapi mereka itu ternyata bukan warga yang berdomisili di TPS setempat. Bahkan ada yang ber-KTP dari luar DKI Jakarta," kata Said.
Lebih parahnya lagi, bukti identitas dari para pemilih yang tidak jelas asal usulnya itu tidak dimiliki oleh KPPS. KPPS sama sekali tidak menyimpan foto copy KTP dari para pemilih misterius itu. Bahkan sekedar daftar nama-nama pemilih tersebut pun tidak ada datanya.
"Ini bukan soal pembatasan hak memilih kepada warga negara, tetapi ini soal pemenuhan syarat administratif yang harus dipenuhi oleh pemilih. Pemilu itu kan harus diselenggarakan secara tertib dan teratur. Prinsipnya, setiap warga negara yang sudah berusia 17 tahun atau sudah kawin boleh memilih. Tetapi prosedur hukum juga harus ditaati," sebutnya.
Kalau memang tidak terdaftar dalam DPT, misalnya, pemilih tetap dijamin hak pilihnya, tetapi bukan berarti dia bisa memilih di sembarang TPS. Dia hanya boleh memilih di tempat domisilinya saja. Kalau KTP-nya dari sumatera, misalnya, ya tidak boleh dia memilih di TPS yang ada di DKI Jakarta. Dia hanya bisa memilih di daerah tempat tinggalnya. Syarat formil itu sesuai dengan Putusan MK Nomor 102 tahun 2009 dan telah pula ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
"Kalau setiap orang mau sesukanya saja memilih di sembarang TPS tanpa mengindahkan syarat-syarat formil untuk memilih, yang ada malah muncul ketidakteraturan Pemilu. Pemilu yang tidak teratur jelas tidak mencerminkan Pemilu yang berkualitas," ungkapnya.
Ia menyatakan, pemilih harus diatur terhadap mereka yang tidak terdaftar dalam DPT hanya boleh memilih di tempat domisilinya saja? Diantara alasannya adalah agar penyelenggaraan Pemilu menjadi tertib, potensi pemilih ganda dapat diminimalisir, mobilisasi pemilih dapat diantisipasi, dan tidak terjadi kekurangan surat suara di TPS.
"Harus diingat bahwa pemilih yang menggunakan KTP atau pemilih khusus itu tidak pernah dialokasikan surat suaranya. Mereka hanya bisa memilih kalau masih ada surat suara sisa dari pemilih DPT atau memanfaatkan surat suara cadangan yang tidak terpakai. Dalam konteks inilah pengaturan syarat formil tadi menjadi penting," imbuh dia.
Jadi, menurutnya, sudah benar rekomendasi Bawaslu DKI Jakarta itu. Di beberapa daerah lain pun kasus serupa terjadi dan berujung dengan digelarnya PSU. Dalam UU Pilpres memang tidak diatur ketentuan PSU akibat pelanggaran-pelanggaran semacam itu. Pasal 164 dan Pasal 165 UU Pilpres hanya mengatur tentang PSU yang wajib dilakukan seketika pada hari pemungutan suara, yaitu pada tanggal 9 Juli lalu, dan PSU karena munculnya kondisi force majeur.
"Tetapi oleh karena Bawaslu telah diperintahkan secara tegas oleh peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan Pemilu yang luber dan jurdil, maka dalam rangka penegakan hukum Pemilu Bawaslu dapat saja mengeluarkan rekomendasi yang menjadi kewenangannya dengan meminta kepada jajaran KPU untuk melaksanakan PSU seperti itu," pungkas Said.(*)
Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014
Tags: