Dewan Energi Nasional prediksi RI capai keseimbangan emisi pada 2060
6 November 2024 19:08 WIB
Personel Pertamina Patra Niaga Sumbagut, AFT Minangkabau, menjelaskan cara kerja pembangkit listrik tenaga surya di Pulau Bando, Sumatera Barat (Sumbar). (ANTARA/Muhammad Zulfikar)
Padang (ANTARA) - Anggota Pemangku Kepentingan Dewan Energi Nasional As Natio Lasman memprediksi Indonesia mampu mencapai keseimbangan antara emisi yang diserap dengan emisi yang dihasilkan pada 2060.
"Pada 2060 Indonesia diprediksi akan mencapai tahap keseimbangan antara emisi yang diserap dengan yang dihasilkan," kata Anggota Pemangku Kepentingan Dewan Energi Nasional As Natio Lasman di Padang, Sumbar, Rabu.
Untuk mencapai titik keseimbangan emisi tersebut Natio Lasman menekankan pentingnya menjaga neraca energi yang mencakup konsumsi dan produksi yang berbasis pada sumber daya dalam negeri.
Menurutnya, dalam upaya menurunkan emisi karbon diperlukan komitmen global yang diwujudkan dalam bentuk sertifikasi karbon. Dengan langkah ini maka setiap negara harus berkomitmen mengurangi dampak karbon termasuk emisi yang dihasilkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebagai penyumbang karbon terbesar.
Indonesia khususnya di Solok Selatan, Sumatera Barat memiliki potensi besar dalam pengembangan energi baru terbarukan (EBT) berupa pembangkit listrik tenaga panas bumi. Potensi panas bumi tersebut harus bisa dimanfaatkan sebagai upaya menekan, atau langkah awal untuk beralih kepada penggunaan EBT.
Baca juga: PHE ONWJ kenalkan energi baru terbarukan kepada pelajar SMP
Saat ini Indonesia masih bergantung dengan penggunaan energi fosil seperti minyak bumi, gas dan batu bara. Selain berkontribusi terhadap gas rumah kaca, ketersediaan energi tersebut juga terbatas.
Kondisi itu semakin rumit menyusul tensi geopolitik internasional seperti peperangan yang secara tidak langsung berdampak, dan bisa mengganggu jalur pasokan energi yang selama ini diimpor oleh Indonesia.
"Untuk itu kita harus ikut andil dalam pengurangan emisi karbon termasuk mengikuti perkembangan net zero emissions," seru dia.
Sementara itu, Ketua Pusat Studi Lingkungan Hidup, Universitas Andalas, Mahdi mengatakan persoalan energi erat kaitannya dengan kebutuhan energi yang terus meningkat. Apalagi, hampir semua aktivitas bergantung pada ketersediaan energi.
"Keadaan ini menuntut solusi yang tidak hanya fokus pada pemenuhan kebutuhan energi, tetapi juga menjaga keberlanjutan lingkungan demi masa depan yang lebih baik," tegas dia.
Baca juga: Indonesia berpotensi jadi eksportir hidrogen
"Pada 2060 Indonesia diprediksi akan mencapai tahap keseimbangan antara emisi yang diserap dengan yang dihasilkan," kata Anggota Pemangku Kepentingan Dewan Energi Nasional As Natio Lasman di Padang, Sumbar, Rabu.
Untuk mencapai titik keseimbangan emisi tersebut Natio Lasman menekankan pentingnya menjaga neraca energi yang mencakup konsumsi dan produksi yang berbasis pada sumber daya dalam negeri.
Menurutnya, dalam upaya menurunkan emisi karbon diperlukan komitmen global yang diwujudkan dalam bentuk sertifikasi karbon. Dengan langkah ini maka setiap negara harus berkomitmen mengurangi dampak karbon termasuk emisi yang dihasilkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebagai penyumbang karbon terbesar.
Indonesia khususnya di Solok Selatan, Sumatera Barat memiliki potensi besar dalam pengembangan energi baru terbarukan (EBT) berupa pembangkit listrik tenaga panas bumi. Potensi panas bumi tersebut harus bisa dimanfaatkan sebagai upaya menekan, atau langkah awal untuk beralih kepada penggunaan EBT.
Baca juga: PHE ONWJ kenalkan energi baru terbarukan kepada pelajar SMP
Saat ini Indonesia masih bergantung dengan penggunaan energi fosil seperti minyak bumi, gas dan batu bara. Selain berkontribusi terhadap gas rumah kaca, ketersediaan energi tersebut juga terbatas.
Kondisi itu semakin rumit menyusul tensi geopolitik internasional seperti peperangan yang secara tidak langsung berdampak, dan bisa mengganggu jalur pasokan energi yang selama ini diimpor oleh Indonesia.
"Untuk itu kita harus ikut andil dalam pengurangan emisi karbon termasuk mengikuti perkembangan net zero emissions," seru dia.
Sementara itu, Ketua Pusat Studi Lingkungan Hidup, Universitas Andalas, Mahdi mengatakan persoalan energi erat kaitannya dengan kebutuhan energi yang terus meningkat. Apalagi, hampir semua aktivitas bergantung pada ketersediaan energi.
"Keadaan ini menuntut solusi yang tidak hanya fokus pada pemenuhan kebutuhan energi, tetapi juga menjaga keberlanjutan lingkungan demi masa depan yang lebih baik," tegas dia.
Baca juga: Indonesia berpotensi jadi eksportir hidrogen
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2024
Tags: