Dukung Badan MHA di COP16, pemerintah sebut perlu sesuai konteks di RI
6 November 2024 18:16 WIB
Masyarakat adat suku Yaben di Distrik Konda melakukan dialog dengan Tim Terpadu Verifikasi Usulan Penetapan Hutan Adat di Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya, Selasa (15/10/2024) ANTARA/Prisca Triferna
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah menyatakan implementasi terhadap pembentukan Badan Permanen Masyarakat Adat yang didukung Indonesia di Konferensi Para Pihak Konvensi Keanekaragaman Hayati Ke-16 (COP16) akan mengikuti konteks dan regulasi di Tanah Air.
"Jadi, sebenarnya kalau dari Indonesia istilahnya lebih tepat ada local people, masyarakat lokal, atau customary people, jadi beda konteks, sehingga ketika kita harus mengikuti itu tentu kita juga harus sesuaikan dengan peraturan-peraturan atau regulasi yang ada di Indonesia, karena ada konteks yang agak berbeda," kata Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Satyawan Pudyatmoko di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Jalan panjang menuju penetapan hutan adat di Sorong Selatan
Sebelumnya, Indonesia menyatakan dukungan untuk pembentukan Subsidiary Body on Article 8j dalam COP16 CBD yang diadakan di Kolombia pada 21 Oktober-1 November 2024.
Secara garis besar Article 8j berkaitan dengan penghormatan, perlindungan dan pengakuan pengetahuan tradisional, inovasi dan praktik yang dilakukan masyarakat adat dalam mengatasi perubahan iklim dan relevan dengan prinsip-prinsip konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dari keanekaragaman hayati.
Pembentukan Subsidiary Body Article 8j itu bertujuan membantu memberikan saran, rekomendasi, dan panduan demi menjalankan target-target yang disepakati dunia dalam Kunming Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF).
Dalam hal kaitannya dengan peningkatan status pengakuan terkait Article 8j, Satyawan menyebut masih membutuhkan keterangan lebih lanjut mengenai mekanismenya dan harus disesuaikan dengan aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
"Untuk mengikuti ketentuan dari badan itu nanti menyesuaikan dengan aturannya, tentu harus kita sesuaikan dengan konteks nasional Indonesia," demikian Satyawan Pudyatmoko.
Baca juga: Kisah perempuan pelestari hutan adat di Gunungkidul
Baca juga: Membangun masa depan hutan lestari di Taman Nasional Bukit Dua Belas
"Jadi, sebenarnya kalau dari Indonesia istilahnya lebih tepat ada local people, masyarakat lokal, atau customary people, jadi beda konteks, sehingga ketika kita harus mengikuti itu tentu kita juga harus sesuaikan dengan peraturan-peraturan atau regulasi yang ada di Indonesia, karena ada konteks yang agak berbeda," kata Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Satyawan Pudyatmoko di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Jalan panjang menuju penetapan hutan adat di Sorong Selatan
Sebelumnya, Indonesia menyatakan dukungan untuk pembentukan Subsidiary Body on Article 8j dalam COP16 CBD yang diadakan di Kolombia pada 21 Oktober-1 November 2024.
Secara garis besar Article 8j berkaitan dengan penghormatan, perlindungan dan pengakuan pengetahuan tradisional, inovasi dan praktik yang dilakukan masyarakat adat dalam mengatasi perubahan iklim dan relevan dengan prinsip-prinsip konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dari keanekaragaman hayati.
Pembentukan Subsidiary Body Article 8j itu bertujuan membantu memberikan saran, rekomendasi, dan panduan demi menjalankan target-target yang disepakati dunia dalam Kunming Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF).
Dalam hal kaitannya dengan peningkatan status pengakuan terkait Article 8j, Satyawan menyebut masih membutuhkan keterangan lebih lanjut mengenai mekanismenya dan harus disesuaikan dengan aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
"Untuk mengikuti ketentuan dari badan itu nanti menyesuaikan dengan aturannya, tentu harus kita sesuaikan dengan konteks nasional Indonesia," demikian Satyawan Pudyatmoko.
Baca juga: Kisah perempuan pelestari hutan adat di Gunungkidul
Baca juga: Membangun masa depan hutan lestari di Taman Nasional Bukit Dua Belas
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2024
Tags: