Jakarta (ANTARA) - Badan Wakaf Indonesia (BWI) mengajak mahasiswa dan akademisi untuk menjadikan wakaf sebagai kebiasaan atau gaya hidup dimulai dari berwakaf dengan nominal yang kecil, sehingga turut berkontribusi dalam pembangunan peradaban bangsa.

Ketua BWI Kamaruddin Amin dalam acara Waqf Goes to Campus XIV Solo Raya yang diikuti secara daring di Jakarta Rabu mengatakan, kini siapapun sebenarnya bisa berwakaf mulai dari Rp10.000 atau Rp20.000. Apabila seluruh kelas menengah Indonesia bersama dengan para mahasiswa melakukan gerakan yang sama, menurutnya, maka akan menghasilkan potensi wakaf yang sangat luar biasa.

“Apalagi kalau -berwakaf- sudah menjadi gaya hidup, Anda akan menjadi bagian penting dalam proses pembentukan peradaban Indonesia. Anda akan menjadi salah satu bagian yang akan memberikan legacy untuk bangsa dan negara ini,” kata Kamaruddin.

Ia mengatakan bahwa kontribusi wakaf dalam peradaban bangsa memiliki peran yang sangat sentral. Lembaga pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan berbasis Islam, sekitar 80 persennya disokong oleh wakaf. Kamaruddin menyebutkan, puluhan ribu madrasah, pesantren, perguruan tinggi, bahkan kantor pemerintah berdiri di atas tanah wakaf.

Yang menarik, kata Kamaruddin, antusiasme masyarakat untuk berwakaf sangat tinggi dengan pertumbuhan setiap tahunnya yaitu sekitar 8 persen. Ia mengatakan, tren pertumbuhan ini harus terus dijaga sehingga BWI mencoba untuk memaksimalkan potensi wakaf.

Melalui wakaf uang, BWI berupaya untuk meluaskan jangkauan wakaf, sehingga masyarakat dari kelas menengah ke bawah pun bisa berwakaf. Ia menyebutkan, potensi wakaf uang di Indonesia mencapai Rp180 triliun setiap tahun. Namun terdapat tantangan untuk memaksimalkan potensi wakaf, salah satunya terkait dengan literasi masyarakat yang masih rendah.

Oleh sebab itu, BWI terus mengadakan sosialisasi termasuk bekerja sama dengan perguruan tinggi melalui kegiatan Waqf Goes to Campus. Kamaruddin berharap, mahasiswa dan akademisi bisa turut andil di dalam penyebarluasan literasi kepada masyarakat luas untuk berpartisipasi berwakaf sesuai dengan kemampuannya.

Ia juga berharap, perguruan tinggi dapat menjadi nadzir atau pengelola wakaf uang, sehingga bisa mengumpulkan kebaikan-kebaikan dari mahasiswa, dosen, maupun masyarakat. Dengan begitu, kampus betul-betul bisa berdaya.

Kamaruddin mencontohkan, perguruan tinggi di negara barat bahkan memanfaatkan endowment fund sebagai salah satu sumber pendanaan untuk memastikan keberlanjutan kampus. Adapun saat ini, Kementerian Agama dan BWI juga berencana mengembangkan dana abadi pendidikan yang berbasis wakaf.

“Dana LPDP kita belum bisa memberikan beasiswa kepada seluruh rakyat Indonesia. Meskipun sudah sangat banyak, tapi masih sangat sedikit kalau dibandingkan dengan yang membutuhkan. Sehingga kita butuh platform-platform baru atau resources baru. Mudah-mudahan dana abadi berbasis wakaf ini bisa menjadi salah satu solusi terhadap persoalan pendidikan yang ada di Indonesia,” kata Kamaruddin.