Tanah yang biasanya bertekstur keras dan berfungsi sebagai penopang berubah menjadi tidak stabil dan kehilangan kekuatannya, sehingga bertekstur seperti cairan.
Baca juga: BNPB: Video lumpur bergerak pascagempa bumi Pasaman bukan likuifaksi
Baca juga: Puluhan rumah di Tulungagung Selatan retak dampak likuifaksi
Proses ini sering kali terjadi pada jenis tanah non kohesif yaitu tanah berbutir kasar dan tidak memiliki kelekatan antar butirnya, sehingga kemampuannya sangat rendah dalam melewatkan air dalam jumlah besar, seperti pasir dan kerikil.
Tanah yang mengalami likuifaksi tidak dapat menahan beban berat, sehingga bangunan, pohon, kendaraan, dan beban di atasnya bisa tenggelam atau bergeser dari tempatnya.
Walaupun sudah pernah terjadi di beberapa wilayah Indonesia, bencana likuifaksi ini mulai dikenal saat terjadi di wilayah Sulawesi Tengah, daerah Palu dan Donggala setelah terjadi gempa dengan kekuatan M 7,4. Fenomena ini pun mengakibatkan kerusakan wilayah yang sangat parah hingga menelan banyak korban jiwa.
Tanda-tanda bahaya likuifaksi
Bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan gempa, terutama di dekat pesisir, mengenali tanda-tanda likuifaksi dapat meminimalisir risiko bencana ini.
Jika terpantau ketinggian air tanah di sekitar lokasi mencurigakan seperti naik dan turun secara tiba-tiba, hal ini dapat menjadi tanda terjadinya pencairan tanah.
Kemudian, saat gempa bumi terjadi, likuifaksi dapat ditunjukkan dengan adanya air dan lumpur yang muncul dari permukaan tanah. Kemunculan lumpur dan air ini dapat berbentuk seperti semburan ke udara atau geyser.
Retakan tanah yang tak wajar seperti ini biasa muncul di sekitar bangunan rumah bahkan gedung tinggi yang mulai miring atau tenggelam.
Itulah pengertian dari likuifaksi dan tanda-tanda bahaya yang perlu diketahui untuk meminimalisir risiko bahaya atau kerugian yang akan terjadi. Dengan pemahaman yang baik tentang likuifaksi, masyarakat dapat lebih waspada dan siap menghadapi ancaman yang muncul terutama di wilayah rawan gempa.