Telaah
Menimbang simplifikasi regulasi politik melalui metode "omnibus law"
Ilustrasi - Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian (kiri) menyerahkan dokumen pandangan dari Pemerintah kepada Ketua DPR Puan Maharani (kedua kanan) disaksikan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad (kanan), Lodewijk Freidrich Paulus (tengah), dan Rachmad Gobel (kedua kiri) saat Rapat Paripurna Ke-14 DPR masa persidangan IV tahun sidang 2023--2024 di kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (28/3/2024). Dalam rapat paripurna tersebut DPR mengesahkan revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa menjadi Undang-Undang dengan demikian jabatan Kepala Desa menjadi delapan tahun dengan maksimal dua periode, selain itu DPR juga mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) sebagai Undang-Undang sehingga Jakarta tidak lagi menjadi Ibu Kota Negara atau DKI. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/foc.
Beberapa UU yang rencananya akan direvisi dengan metode omnibus law yaitu UU nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu); UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada; dan UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
Lalu UU Nomor 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3); UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; UU Nomor 3 tentang Desa; dan UU Nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah.
Bak gayung bersambut, Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyambut baik wacana revisi UU melalui sistem omnibus law.
Usulan tersebut dinilai sebagai upaya memperbaiki sistem kepemiluan di Indonesia. Namun di sisi lain, Pemerintah akan mendiskusikan lebih lanjut dengan DPR terkait revisi UU politik dengan metode omnibus law.
Jika melihat visi dan delapan misi Astacita yang dimiliki Pemerintahan Prabowo-Gibran, maka salah satu poinnya adalah memperkuat reformasi politik.
Oleh karena itu, revisi UU Politik melalui sistem omnibus law, bisa menjadi langkah untuk mereformasi sistem politik di Indonesia, dengan menata kelembagaan institusi hingga perbaikan sistem demokrasi.
Institusi politik dalam sistem demokrasi seperti lembaga legislatif, partai politik, dan penyelenggara pemilu, tentu saja memerlukan penguatan serta perbaikan, misalnya, dalam pelaksanaan pemilu, di mana sebenarnya posisi parpol dan penyelenggara pemilu?
Posisi parpol dalam sistem demokrasi memiliki peran sentral sebagai sarana pendidikan serta menyalurkan aspirasi politik. Penyelenggara pemilu seperti KPU juga memiliki peran sentral, bukan hanya sebagai penyelenggara, namun juga memberikan penyuluhan politik kepada masyarakat.
Hal itu terkait dengan upaya meningkatkan partisipasi politik masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu. Karena, pemilu dan partisipasi masyarakat dalam tiap pelaksanaan pemilu ibarat dua sisi mata uang, yaitu kedua entitas itu tidak bisa terpisahkan.
Oleh karena itu, tingkat partisipasi masyarakat harus ditingkatkan dalam tiap pelaksanaan pemilu. Namun yang terjadi, demokrasi Indonesia memiliki tantangan yaitu angka masyarakat yang tidak memilih atau golput masih cukup tinggi.
Pada Pemilu 2014, misalnya, angka golput sebanyak 58,61 juta atau 30,22 persen dan pada Pemilu 2019 jumlahnya sebanyak 34,75 juta atau 18,02 persen.
Sementara itu, pada Pemilu 2024, dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT) yang mencapai angka 204.807.200 pemilih, hanya 164.227.475 pemilih yang melakukan pencoblosan secara sah. Artinya ada sekitar 40 juta penduduk yang tidak menggunakan hak pilihnya atau golput.
Realitas golput bisa disebabkan berbagai faktor, salah satunya adalah kurangnya sosialisasi dan edukasi politik yang efektif kepada masyarakat sehingga berdampak pada sikap apatis terhadap proses demokrasi di Indonesia. Bisa jadi pula terjadi kesalahan pencoblosan surat sehingga tidak sah.
Oleh karena itu, penguatan peran dan perbaikan institusi penyelenggara pemilu serta parpol harus jadi poin utama dalam pembahasan UU Politik omnibus law. KPU sebagai penyelenggara pemilu harus memberikan penyuluhan intensif kepada masyarakat, di sisi sama parpol wajib menjalankan fungsi pendidikan politik.
Selain itu, penyederhanaan aturan terkait kepemiluaan bisa dilakukan dalam UU Politik metode omnibus law. Misalnya, dalam UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Parpol, tiga regulasi tersebut bisa disederhanakan karena terkait dengan posisi parpol dalam kontestasi pemilu legislatif (pileg), pemilu presiden (pilpres), dan pilkada. Parpol berperan mengajukan kandidatnya dalam kontestasi pemilu dan pilkada.
Dalam hal kelembagaan legislatif, langkah perbaikan dan penguatan pun harus dilakukan melalui revisi UU MD3. Legislatif harus memosisikan ulang institusinya sebagai salah satu pilar demokrasi, yaitu menjalankan fungsi pengawasan, anggaran, dan legislasi.
Ketiga hal tersebut harus dievaluasi secara komprehensif, apakah fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN, dan kebijakan Pemerintah sudah berjalan efektif atau hanya menyuarakan kata "setuju" tanpa melihat kondisi empiris masyarakat.
Terkait legislasi, DPR memiliki tugas menyusun dan membahas rancangan undang-undang (RUU), serta menyetujui atau tidak menyetujui peraturan pemerintah pengganti UU yang diajukan Presiden untuk ditetapkan menjadi UU.
Dalam penyusunan, pembahasan, dan persetujuan produk RUU diperlukan tolok ukur yang jelas sehingga target kerja legislasi parlemen dapat tercapai. Oleh karena itu, skala prioritas legislasi harus diutamakan yang terkait kepentingan masyarakat.
Belajar dari sejarah
Penyusunan undang-undang melalui sistem omnibus law pernah dilakukan Indonesia, misalnya, pada UU Cipta Kerja yang menggabungkan beberapa undang-undang menjadi satu. Kritik terhadap kehadiran UU Ciptaker, harus menjadi bahan evaluasi jika ingin membuat UU Politik dengan metode omnibus law.
Oleh karena itu, para pembuat UU harus benar-benar mempersiapkan argumentasi melalui naskah akademik yang menjelaskan berbagai perubahan dari undang-undang yang ada.
Hal tersebut sangat penting, karena kehadiran UU dengan metode omnibus law harus bisa menunjukkan keterkaitan antara satu UU dengan undang-undang yang lain.
Jadi, ketika undang-undang tersebut telah disahkan Presiden, maka tidak ada lagi "ruang kosong" di dalamnya yang berpotensi digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun, hal terpenting yang harus diperhatikan adalah UU Politik dengan metode omnibus law itu harus memuat terkait substansi mengenai perbaikan praktik demokrasi di Indonesia.
Misalnya, bagaimana undang-undang tersebut mengatur pelaksanaan Pemilu Presiden, Pemilu Legislatif, dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) berjalan secara demokratis yang diselenggarakan oleh KPU.
Jangan sampai kehadiran UU Politik dengan metode omnibus law hanya sekadar menyatukan berbagai UU namun mengabaikan hal-hal substantif terkait perbaikan kualitas demokrasi Indonesia.
Kajian ilmiah komprehensif harus dipersiapkan pihak yang menjadi pengusul, apakah DPR atau Pemerintah. Kajian ilmiah ini dimaksudkan agar tidak ada poin-poin yang luput dalam UU politik metode omnibus law sehingga aturan yang dihasilkan pun dapat menjamin kehidupan demokrasi yang lebih sehat di Indonesia.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024