Semarang (ANTARA) - Pengamat kepemiluan dari The Constitutional Democracy Initiative (Consid) Kholil Pasaribu memandang penting posisi lembaga pemantau pemilihan, terutama pada pemilihan kepala daerah (pilkada) yang hanya satu pasangan calon atau calon tunggal.

"Lembaga pemantau pemilihan yang sudah terdaftar dan memperoleh akreditasi dari KPU/KIP provinsi atau kabupaten/kota bisa mengajukan perkara perselisihan hasil pemilihan ke Mahkamah Konstitusi," kata Kholil Pasaribu ketika dikonfirmasi ANTARA di Semarang, Rabu pagi.

Dengan demikian, kata Kholil yang juga Ketua Consid, pemantau pemilihan punya legal standing (kedudukan hukum) sebagai pihak pemohon sengketa hasil Pilkada 2024 dengan calon tunggal di 36 kabupaten/kota dan satu provinsi.

Kedudukan hukum lembaga pemantau pemilihan umum ini, lanjut dia, temaktub dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c dan d Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dengan Satu Pasangan Calon.

Disebutkan dalam Pasal 5 ayat (2) PMK Nomor 2 Tahun 2016, sebagaimana diubah dengan PMK Nomor 2 Tahun 2017, selain diajukan oleh pasangan calon peserta pemilihan, permohonan dapat diajukan oleh pemantau pemilihan.

Menyinggung larangan masuk ke dalam tempat pemungutan suara (TPS), padahal pada Pilkada 2020 dengan calon tunggal seharusnya pemantau diperbolehkan masuk ke dalam TPS, Kholil mengungkapkan bahwa Pasal 17 A PKPU Nomor 20 Tahun 2020 tidak selaras dengan Pasal 128 huruf i Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada.

"Namun, ketika itu tidak ada yang melakukan uji materi PKPU Nomor 20 Tahun 2020 terhadap UU Pilkada ke Mahkamah Agung," kata Kholil.

Kendati demikian, KPU RI menerbitkan PKPU Nomor 9 Tahun 2022 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

Di dalam PKPU ini ada ketentuan larangan bagi pemantau pemilihan masuk ke dalam TPS. Bahkan, ancaman pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan, sebagaimana ketentuan Pasal 187 D Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.

"Tidak hanya terancam pidana penjara, pelanggar Pasal 128 huruf i UU Pilkada juga dikenai denda paling sedikit Rp36 juta dan paling banyak Rp72 juta," ujarnya.

Menjawab aturan main PKPU Nomor 20 Tahun 2020 dan PKPU Nomor 9 Tahun 2022 bertolak belakang, khususnya terkait dengan aturan pemantau pemilihan, Kholil mengemukakan bahwa PKPU terbaru justru sesuai dengan UU Pilkada.

"Lex superior derogat legi inferior (hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah). Jadi, selama Pasal 128 UU Pilkada belum dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, peraturan di bawahnya enggak bisa menganulir," kata Ketua Consid Kholil Pasaribu.

Baca juga: KPU Jabar: Belum ada paslon setor materi iklan kampanye media massa
Baca juga: Kemendagri pastikan ketersediaan blangko KTP-e jelang Pilkada 2024