Likuifaksi: Penyebab dan cara menghindarinya
5 November 2024 22:14 WIB
Sejumlah ternak berkeliaran di lokasi bekas bencana likuifaksi di Kelurahan Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Minggu (9/1/2022). . ANTARA FOTO/Basri Marzuki/foc. (ANTARA FOTO/BASRI MARZUKI)
Jakarta (ANTARA) - Saat gempa bumi terjadi, kita mungkin hanya memikirkan bangunan yang roboh atau jalan yang retak. Namun, ada ancaman lain yang diam-diam lebih mengerikan, seperti fenomena likuifaksi.
Fenomena ini membuat tanah yang padat berubah layaknya lumpur, sehingga menyebabkan rumah, jalan, dan seluruh beban di atas tanah bisa tersedot dan tenggelam.
Salah satu peristiwa likuifaksi yang paling menghancurkan di Indonesia terjadi di Palu pada 2018. Bencana alam tersebut menimbulkan kehancuran besar dan mengubur banyak pemukiman hingga korban jiwa.
Lantas, apa penyebab tanah tersebut bisa berubah menjadi cair? Lalu, bagaimana kita bisa menghindari bahayanya? Berikut penjelasannya, dirangkum dari berbagai sumber:
Penyebab terjadinya likuifaksi
Pada fenomena likuifaksi, terdapat beberapa penyebab yang terjadi seperti tanah berbutir kasar, posisi muka air tanah yang tidak jauh dari permukaan, dan getaran gempa bumi.
Likuifaksi terjadi ketika lapisan tanah kehilangan kestabilan yang disebabkan tekanan air pori oleh beban siklis atau getaran, seperti gempa bumi.
Saat gempa terjadi, guncangan mengakibatkan tekanan besar pada lapisan tanah, terutama pada tanah yang memiliki kadar air tinggi. Getaran ini membuat butiran tanah saling bergerak dan air mengisi pori-pori tanah, sehingga tanah berubah menjadi lumpur.
Tanah yang mengandung banyak kadar air, seperti di daerah yang dekat dengan pantai atau sungai, sangat rentan terhadap likuifaksi. Air di dalam tanah ini memisahkan butiran-butiran tanah saat diguncang, yang membuat tanah kehilangan daya ikatnya.
Kemudian, likuifaksi biasanya terjadi pada tanah yang berbutir kasar seperti pasir atau kerikil. Jenis tanah ini memiliki pori tanah yang mudah terisi air dan lebih mudah terpengaruh oleh getaran.
Dalam kondisi seperti ini, tanah menjadi tidak stabil dan berada dalam keadaan tekstur yang cair. Oleh sebab itu, memungkinkan seluruh beban, seperti bangunan, tenggelam ke dalam tanah.
Baca juga: Ahli Geologi sebut Sumbar berpotensi terjadi likuifaksi
Cara menghindari likuifaksi
Meski likuifaksi sulit untuk dihentikan, beberapa langkah dapat diambil untuk mengurangi risiko dan dampaknya, antara lain sebagai berikut.
1. Melakukan perbaikan tanah
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk melakukan perbaikan tanah yang rentan terjadi likuifaksi yakni sebagai berikut.
- Dynamic Compaction: Cara yang melibatkan pemadatan tanah dengan menjatuhkan beban berat berulang kali.
- Vibroflotation: Teknik ini menggunakan alat probe electric untuk memperbaiki struktur butiran tanah, sehingga meningkatkan stabilitas tanah.
- Desaturasi Biogas: Metode yang menggunakan mikroorganisme yakni memasukkan gelembung gas ke dalam tanah untuk mengurangi tekanan air di pori-pori tanah.
Jika memungkinkan sesuai dengan kondisi sekitar wilayah, pilihan lain yang dapat dilakukan dengan cara tanah dibuang dan diganti menjadi tanah yang memiliki sifat tidak berisiko likuifaksi.
Baca juga: Belasan rumah di Timahan Trenggalek rusak dampak bencana tanah gerak
2. Penelitian geologi dan gempa
Selanjutnya, cara menghindari likuifaksi yakni penelitian geologi dan gempa. Penelitian dapat dilakukan dengan meneliti kondisi geologi wilayah untuk mengetahui jenis dan umur tanah, seperti tanah berusia muda akan lebih rentan terhadap likuifaksi.
Kemudian, memahami potensi gempa di wilayah tersebut. Likuifaksi sering terjadi setelah gempa berkekuatan minimal 5 SR dan lebih umum pada gempa yang berkekuatan 7,5 SR. Hal ini bisa menjadi kewaspadaan untuk melindungi diri dari terjadi bahaya likuifaksi.
3. Hindari pembangunan di wilayah rentan
Hindari membangun di daerah yang diketahui memiliki potensi tanah likuifaksi tinggi. Jika pembangunan ingin terus dilakukan, gunakan fondasi yang dirancang khusus untuk menembus kedalaman tanah yang stabil, seperti paku bumi hingga kedalaman 35 meter.
4. Periksa tinggi permukaan air
Wilayah pesisir sangat rentan terjadi likuifaksi, sehingga tinggi permukaan air perlu diperhatikan. Tinggi permukaan air yang rendah yakni di bawah 3 meter, memiliki risiko rentan terjadinya likuifaksi. Oleh sebab itu, lebih baik wilayah dengan kondisi tersebut tidak dijadikan tempat pemukiman.
Baca juga: Badan Geologi sosialisasi refleksi 6 tahun bencana likuefaksi di Palu
Baca juga: PVMBG: Fenomena tarikan sungai picu semacam likuifaksi di Bekasi
Fenomena ini membuat tanah yang padat berubah layaknya lumpur, sehingga menyebabkan rumah, jalan, dan seluruh beban di atas tanah bisa tersedot dan tenggelam.
Salah satu peristiwa likuifaksi yang paling menghancurkan di Indonesia terjadi di Palu pada 2018. Bencana alam tersebut menimbulkan kehancuran besar dan mengubur banyak pemukiman hingga korban jiwa.
Lantas, apa penyebab tanah tersebut bisa berubah menjadi cair? Lalu, bagaimana kita bisa menghindari bahayanya? Berikut penjelasannya, dirangkum dari berbagai sumber:
Penyebab terjadinya likuifaksi
Pada fenomena likuifaksi, terdapat beberapa penyebab yang terjadi seperti tanah berbutir kasar, posisi muka air tanah yang tidak jauh dari permukaan, dan getaran gempa bumi.
Likuifaksi terjadi ketika lapisan tanah kehilangan kestabilan yang disebabkan tekanan air pori oleh beban siklis atau getaran, seperti gempa bumi.
Saat gempa terjadi, guncangan mengakibatkan tekanan besar pada lapisan tanah, terutama pada tanah yang memiliki kadar air tinggi. Getaran ini membuat butiran tanah saling bergerak dan air mengisi pori-pori tanah, sehingga tanah berubah menjadi lumpur.
Tanah yang mengandung banyak kadar air, seperti di daerah yang dekat dengan pantai atau sungai, sangat rentan terhadap likuifaksi. Air di dalam tanah ini memisahkan butiran-butiran tanah saat diguncang, yang membuat tanah kehilangan daya ikatnya.
Kemudian, likuifaksi biasanya terjadi pada tanah yang berbutir kasar seperti pasir atau kerikil. Jenis tanah ini memiliki pori tanah yang mudah terisi air dan lebih mudah terpengaruh oleh getaran.
Dalam kondisi seperti ini, tanah menjadi tidak stabil dan berada dalam keadaan tekstur yang cair. Oleh sebab itu, memungkinkan seluruh beban, seperti bangunan, tenggelam ke dalam tanah.
Baca juga: Ahli Geologi sebut Sumbar berpotensi terjadi likuifaksi
Cara menghindari likuifaksi
Meski likuifaksi sulit untuk dihentikan, beberapa langkah dapat diambil untuk mengurangi risiko dan dampaknya, antara lain sebagai berikut.
1. Melakukan perbaikan tanah
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk melakukan perbaikan tanah yang rentan terjadi likuifaksi yakni sebagai berikut.
- Dynamic Compaction: Cara yang melibatkan pemadatan tanah dengan menjatuhkan beban berat berulang kali.
- Vibroflotation: Teknik ini menggunakan alat probe electric untuk memperbaiki struktur butiran tanah, sehingga meningkatkan stabilitas tanah.
- Desaturasi Biogas: Metode yang menggunakan mikroorganisme yakni memasukkan gelembung gas ke dalam tanah untuk mengurangi tekanan air di pori-pori tanah.
Jika memungkinkan sesuai dengan kondisi sekitar wilayah, pilihan lain yang dapat dilakukan dengan cara tanah dibuang dan diganti menjadi tanah yang memiliki sifat tidak berisiko likuifaksi.
Baca juga: Belasan rumah di Timahan Trenggalek rusak dampak bencana tanah gerak
2. Penelitian geologi dan gempa
Selanjutnya, cara menghindari likuifaksi yakni penelitian geologi dan gempa. Penelitian dapat dilakukan dengan meneliti kondisi geologi wilayah untuk mengetahui jenis dan umur tanah, seperti tanah berusia muda akan lebih rentan terhadap likuifaksi.
Kemudian, memahami potensi gempa di wilayah tersebut. Likuifaksi sering terjadi setelah gempa berkekuatan minimal 5 SR dan lebih umum pada gempa yang berkekuatan 7,5 SR. Hal ini bisa menjadi kewaspadaan untuk melindungi diri dari terjadi bahaya likuifaksi.
3. Hindari pembangunan di wilayah rentan
Hindari membangun di daerah yang diketahui memiliki potensi tanah likuifaksi tinggi. Jika pembangunan ingin terus dilakukan, gunakan fondasi yang dirancang khusus untuk menembus kedalaman tanah yang stabil, seperti paku bumi hingga kedalaman 35 meter.
4. Periksa tinggi permukaan air
Wilayah pesisir sangat rentan terjadi likuifaksi, sehingga tinggi permukaan air perlu diperhatikan. Tinggi permukaan air yang rendah yakni di bawah 3 meter, memiliki risiko rentan terjadinya likuifaksi. Oleh sebab itu, lebih baik wilayah dengan kondisi tersebut tidak dijadikan tempat pemukiman.
Baca juga: Badan Geologi sosialisasi refleksi 6 tahun bencana likuefaksi di Palu
Baca juga: PVMBG: Fenomena tarikan sungai picu semacam likuifaksi di Bekasi
Pewarta: Putri Atika Chairulia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2024
Tags: