Artikel
Memperjuangkan Marlia, 17 tahun menjadi korban TPPO di Sarawak
Oleh Virna P Setyorini
5 November 2024 21:05 WIB
Konjen RI Kuching Raden Sigit Witjaksono (kedua kiri) ikut menyaksikan Marlia (kanan) yang menjadi korban TPPO 17 tahun bekerja tanpa gaji di Sarawak bertemu kedua orang tuanya di PLBN Aruk, Sambas, Kalimantan Barat, Jumat (25/10/2024). ANTARA/HO-KJRI Kuching
Kuala Lumpur (ANTARA) - Pada 25 Oktober lalu, Marlia, salah satu korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang bekerja 17 tahun sebagai pembantu rumah tangga (PRT) tanpa digaji di Bintulu, Sarawak, Malaysia, akhirnya bisa pulang ke kampung halaman.
Hari Jumat itu Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Kuching berhasil membantu menuntaskan kasus Marlia, pekerja migran Indonesia (PMI) asal Desa Semanga, Kecamatan Sejangkung, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Oleh karena itu mereka mengantarkan Marlia pulang, sebagai bagian dari tugas pelindungan yang diberikan kepada warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri, terutama kepada para PMI.
Konsul Jenderal Republik Indonesia (Konjen RI) Kuching Raden Sigit Witjaksono ikut menjemput Marlia dengan diantar dari Rumah Perlindungan Wanita (Rupawan) di Kota Kinabalu, Sabah, di Bandar Udara Internasional Kuching bersama perwakilan dari Departemen Tenaga Kerja (Disnaker) Sarawak dan petugas Imigrasi Sarawak.
Selama Marlia menjalani proses peradilan, menuntut gaji yang tidak pernah diterimanya dari mantan majikannya di Bintulu, ia memang berada dalam perlindungan di Rupawan. Tempat ini merupakan shelter khusus milik pemerintah Malaysia untuk menampung korban-korban TPPO yang sedang dalam proses peradilan, dan di Borneo hanya ada di Kota Kinabalu.
Hampir 2 tahun Marlia berada di sana. Baru setelah semua proses hukum selesai, ia yang tidak bisa pulang ke rumah lebih dari 18 tahun itu, akhirnya boleh pulang dan diterbangkan dari Kota Kinabalu ke Kuching untuk menjalani deportasi atau repatriasi lewat jalur darat.
Sigit mendampingi Marlia menjalani deportasi atau repatriasi di Kompleks Imigrasi, Bea Cukai, Karantina (ICQS) Biawak di Lundu, Sarawak, hingga sampai ke Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Aruk di Sambas.
Ia juga ikut menyaksikan proses penyerahterimaan Marlia kepada pihak Indonesia yang diwakili Pemerintah Kabupaten (Pemkab Sambas) dari Disnaker Sambas, Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Sambas, perwakilan Imigrasi Aruk, serta Kepala Desa Semanga Mirdan yang kebetulan merupakan ayah Marlia.
Selama penantian panjang selama 17 tahun tanpa kabar berita itu, kedua orang tua Marlia nyaris pasrah, menganggap anaknya telah hilang. Namun, siang itu semua yang ada di PLBN Aruk menjadi saksi momen mengharukan saat Marlia akhirnya bisa kembali memeluk erat ibu dan ayahnya setelah 18 tahun lebih mereka terpisah.
Secara khusus, Konjen Sigit menugaskan dua aparat dari KJRI Kuching untuk mendampingi Marlia hingga tiba di kampung halamannya di Desa Semanga.
Dari catatan KJRI Kuching, total perjalanan dari Kota Kuching di Sarawak hingga tiba di rumah Marlia membutuhkan waktu cukup panjang hingga lebih dari 4,5 jam, melalui jalur darat lalu disambung melalui sungai menggunakan speed boat.
Ukuran kapal yang ditumpanginya tidak terlalu besar, berkapasitas enam orang saja karena perjalanan selama 1 jam harus melalui sungai-sungai kecil di antara kebun-kebun sawit, hutan, hingga kebun warga.
Tentu saja sesampai di sana, keluarga dan tetangganya menyambut Marlia dengan gembira. Anak yang hilang itu akhirnya pulang.
Tertipu dan terjebak TPPO
Marlia baru berumur 16 tahun saat diselundupkan masuk ke Sarawak pada 2006. Pengalamannya tentu sangat minim, baik dalam urusan dunia kerja maupun menjadi warga asing.
Dari pengakuannya kepada Konjen Sigit, Marlia masuk ke negeri jiran dibawa oleh oknum agen penyalur tenaga kerja dari Indonesia. Saat itu, dirinya dijanjikan akan dipekerjakan di kedai atau warung makan dengan gaji yang tidak pernah disebutkan.
Selanjutnya Marlia mengaku diantarkan oleh agen tersebut ke agen pekerja Malaysia yang berada di daerah Sarikei, Sarawak. Awalnya ia ditempatkan di sebuah kedai kopi di Bintulu, namun tidak sampai setahun dipindahkan ke rumah Kuang Lee Ing untuk bekerja sebagai PRT.
Marlia bekerja tanpa menerima gaji, tidak boleh keluar rumah dengan bebas, tidak diberikan izin untuk pulang kampung maupun akses untuk berkomunikasi dengan keluarga selama bekerja 17 tahun dengan Kuang Lee Ing. Sampai akhirnya ia berhasil kabur atas bantuan anak majikannya yang sudah sejak usia empat tahun diasuhnya. Anak tersebut merasa kasihan melihat Marlia telah diperlakukan seperti budak oleh ibunya dengan tidak diberikan gaji selama bekerja.
Anak majikannya sempat menyembunyikan Marlia di rumah tetangga sebelum menghubungi KJRI Kuching, sampai akhirnya pada 12 Juni 2023 tim dari KJRI berhasil bertemu langsung dengannya, lalu membawanya ke tempat singgah sementara (shelter).
Berjuang lewat jalur hukum
Untuk bisa mendapatkan gaji yang tidak pernah diterima, KJRI Kuching mendampingi, mengawal, memonitor Marlia dalam menjalani proses hukum. Itu menjadi bentuk perlindungan terhadap WNI rentan di luar negeri, terutama para pekerja migran.
Kasus eksploitasi Marlia diproses secara hukum berdasarkan Undang-Undang Pencegahan Perdagangan Orang dan Penyelundupan Migran 2007 (ATIPSOM 2007) oleh Jabatan Tenaga Kerja (JTK) Sarawak di Mahkamah Rendah Bintulu.
Penyelesaian kasus hukum di Malaysia seperti yang Marlia hadapi kebanyakan membutuhkan waktu yang panjang. Banyak dari pekerja migran Indonesia yang menghadapi kasus serupa, membutuhkan waktu lebih dari 2 tahun sampai proses peradilan benar-benar selesai dan mereka bisa kembali ke tanah air.
Bagi korban TPPO, jelas butuh kekuatan mental dan kesabaran ekstra untuk menyelesaikan itu semua, demi mendapatkan haknya. Di satu sisi, mereka sudah pasti amat sangat rindu keluarga di kampung halaman.
Kondisi itu yang sering kali menjadi celah masuk pihak mantan majikan melalui pengacaranya “bergerilya” untuk mencoba menawarkan kompensasi dengan nilai jauh di bawah dari tuntutan yang pekerja migran Indonesia ajukan dalam proses peradilan. Itu sempat terjadi pada Marlia.
KJRI Kuching segera memperketat pendampingan dan monitor terhadap Marlia. Bahkan Konjen Sigit sempat mengirimkan nota diplomatik terkait apa yang terjadi terhadap Marlia itu kepada Ketua Menteri Sarawak.
Sampai akhirnya setelah menjalani beberapa kali persidangan, pada 6 September 2024, hakim di Mahkamah Rendah Bintulu memutuskan mantan majikan Marlia harus membayar kompensasi sebesar 100.000 ringgit Malaysia (RM) atau sekitar Rp360 juta dan menyatakan kasus tersebut selesai.
Berdasarkan informasi dari KJRI Kuching, kompensasi untuk Marlia itu telah ditransfer dalam bentuk rupiah ke rekening Marlia di Indonesia.
Tentu selalu ada pembelajaran yang dapat dipetik oleh semua, terutama bagi para calon pekerja migran Indonesia, dari setiap kasus TPPO yang terungkap. Begitu pula dari kasus Marlia.
Siapa saja hendaknya memastikan jika merantau keluar negeri untuk mencari rezeki melalui jalur resmi dan memiliki semua dokumen keimigrasian yang lengkap agar lebih aman dalam bekerja. Bagaimanapun keluarga di kampung halaman selalu menanti.
Di sisi lain, kasus Marlia juga dapat menjadi masukan dan evaluasi bagi pihak-pihak terkait, termasuk Satuan Tugas (Satgas) TPPO dalam upaya memerangi kejahatan tindak pidana perdagangan orang di tanah air, sekaligus bagaimana melindungi mereka yang masih "terjebak" di luar sana tanpa tahu cara meminta pertolongan.
Amat penting Pemerintah dapat melacak setiap pekerja migran Indonesia di luar negeri dan memastikan mereka kembali saat kontrak kerjanya memang sudah berakhir. Juga amat penting dan sangat membantu jika setiap WNI yang tinggal atau berada di luar negeri secara suka rela lapor diri tentang keberadaannya di Kantor Perwakilan RI.
Editor: Achmad Zaenal M
Hari Jumat itu Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Kuching berhasil membantu menuntaskan kasus Marlia, pekerja migran Indonesia (PMI) asal Desa Semanga, Kecamatan Sejangkung, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Oleh karena itu mereka mengantarkan Marlia pulang, sebagai bagian dari tugas pelindungan yang diberikan kepada warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri, terutama kepada para PMI.
Konsul Jenderal Republik Indonesia (Konjen RI) Kuching Raden Sigit Witjaksono ikut menjemput Marlia dengan diantar dari Rumah Perlindungan Wanita (Rupawan) di Kota Kinabalu, Sabah, di Bandar Udara Internasional Kuching bersama perwakilan dari Departemen Tenaga Kerja (Disnaker) Sarawak dan petugas Imigrasi Sarawak.
Selama Marlia menjalani proses peradilan, menuntut gaji yang tidak pernah diterimanya dari mantan majikannya di Bintulu, ia memang berada dalam perlindungan di Rupawan. Tempat ini merupakan shelter khusus milik pemerintah Malaysia untuk menampung korban-korban TPPO yang sedang dalam proses peradilan, dan di Borneo hanya ada di Kota Kinabalu.
Hampir 2 tahun Marlia berada di sana. Baru setelah semua proses hukum selesai, ia yang tidak bisa pulang ke rumah lebih dari 18 tahun itu, akhirnya boleh pulang dan diterbangkan dari Kota Kinabalu ke Kuching untuk menjalani deportasi atau repatriasi lewat jalur darat.
Sigit mendampingi Marlia menjalani deportasi atau repatriasi di Kompleks Imigrasi, Bea Cukai, Karantina (ICQS) Biawak di Lundu, Sarawak, hingga sampai ke Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Aruk di Sambas.
Ia juga ikut menyaksikan proses penyerahterimaan Marlia kepada pihak Indonesia yang diwakili Pemerintah Kabupaten (Pemkab Sambas) dari Disnaker Sambas, Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Sambas, perwakilan Imigrasi Aruk, serta Kepala Desa Semanga Mirdan yang kebetulan merupakan ayah Marlia.
Selama penantian panjang selama 17 tahun tanpa kabar berita itu, kedua orang tua Marlia nyaris pasrah, menganggap anaknya telah hilang. Namun, siang itu semua yang ada di PLBN Aruk menjadi saksi momen mengharukan saat Marlia akhirnya bisa kembali memeluk erat ibu dan ayahnya setelah 18 tahun lebih mereka terpisah.
Secara khusus, Konjen Sigit menugaskan dua aparat dari KJRI Kuching untuk mendampingi Marlia hingga tiba di kampung halamannya di Desa Semanga.
Dari catatan KJRI Kuching, total perjalanan dari Kota Kuching di Sarawak hingga tiba di rumah Marlia membutuhkan waktu cukup panjang hingga lebih dari 4,5 jam, melalui jalur darat lalu disambung melalui sungai menggunakan speed boat.
Ukuran kapal yang ditumpanginya tidak terlalu besar, berkapasitas enam orang saja karena perjalanan selama 1 jam harus melalui sungai-sungai kecil di antara kebun-kebun sawit, hutan, hingga kebun warga.
Tentu saja sesampai di sana, keluarga dan tetangganya menyambut Marlia dengan gembira. Anak yang hilang itu akhirnya pulang.
Tertipu dan terjebak TPPO
Marlia baru berumur 16 tahun saat diselundupkan masuk ke Sarawak pada 2006. Pengalamannya tentu sangat minim, baik dalam urusan dunia kerja maupun menjadi warga asing.
Dari pengakuannya kepada Konjen Sigit, Marlia masuk ke negeri jiran dibawa oleh oknum agen penyalur tenaga kerja dari Indonesia. Saat itu, dirinya dijanjikan akan dipekerjakan di kedai atau warung makan dengan gaji yang tidak pernah disebutkan.
Selanjutnya Marlia mengaku diantarkan oleh agen tersebut ke agen pekerja Malaysia yang berada di daerah Sarikei, Sarawak. Awalnya ia ditempatkan di sebuah kedai kopi di Bintulu, namun tidak sampai setahun dipindahkan ke rumah Kuang Lee Ing untuk bekerja sebagai PRT.
Marlia bekerja tanpa menerima gaji, tidak boleh keluar rumah dengan bebas, tidak diberikan izin untuk pulang kampung maupun akses untuk berkomunikasi dengan keluarga selama bekerja 17 tahun dengan Kuang Lee Ing. Sampai akhirnya ia berhasil kabur atas bantuan anak majikannya yang sudah sejak usia empat tahun diasuhnya. Anak tersebut merasa kasihan melihat Marlia telah diperlakukan seperti budak oleh ibunya dengan tidak diberikan gaji selama bekerja.
Anak majikannya sempat menyembunyikan Marlia di rumah tetangga sebelum menghubungi KJRI Kuching, sampai akhirnya pada 12 Juni 2023 tim dari KJRI berhasil bertemu langsung dengannya, lalu membawanya ke tempat singgah sementara (shelter).
Berjuang lewat jalur hukum
Untuk bisa mendapatkan gaji yang tidak pernah diterima, KJRI Kuching mendampingi, mengawal, memonitor Marlia dalam menjalani proses hukum. Itu menjadi bentuk perlindungan terhadap WNI rentan di luar negeri, terutama para pekerja migran.
Kasus eksploitasi Marlia diproses secara hukum berdasarkan Undang-Undang Pencegahan Perdagangan Orang dan Penyelundupan Migran 2007 (ATIPSOM 2007) oleh Jabatan Tenaga Kerja (JTK) Sarawak di Mahkamah Rendah Bintulu.
Penyelesaian kasus hukum di Malaysia seperti yang Marlia hadapi kebanyakan membutuhkan waktu yang panjang. Banyak dari pekerja migran Indonesia yang menghadapi kasus serupa, membutuhkan waktu lebih dari 2 tahun sampai proses peradilan benar-benar selesai dan mereka bisa kembali ke tanah air.
Bagi korban TPPO, jelas butuh kekuatan mental dan kesabaran ekstra untuk menyelesaikan itu semua, demi mendapatkan haknya. Di satu sisi, mereka sudah pasti amat sangat rindu keluarga di kampung halaman.
Kondisi itu yang sering kali menjadi celah masuk pihak mantan majikan melalui pengacaranya “bergerilya” untuk mencoba menawarkan kompensasi dengan nilai jauh di bawah dari tuntutan yang pekerja migran Indonesia ajukan dalam proses peradilan. Itu sempat terjadi pada Marlia.
KJRI Kuching segera memperketat pendampingan dan monitor terhadap Marlia. Bahkan Konjen Sigit sempat mengirimkan nota diplomatik terkait apa yang terjadi terhadap Marlia itu kepada Ketua Menteri Sarawak.
Sampai akhirnya setelah menjalani beberapa kali persidangan, pada 6 September 2024, hakim di Mahkamah Rendah Bintulu memutuskan mantan majikan Marlia harus membayar kompensasi sebesar 100.000 ringgit Malaysia (RM) atau sekitar Rp360 juta dan menyatakan kasus tersebut selesai.
Berdasarkan informasi dari KJRI Kuching, kompensasi untuk Marlia itu telah ditransfer dalam bentuk rupiah ke rekening Marlia di Indonesia.
Tentu selalu ada pembelajaran yang dapat dipetik oleh semua, terutama bagi para calon pekerja migran Indonesia, dari setiap kasus TPPO yang terungkap. Begitu pula dari kasus Marlia.
Siapa saja hendaknya memastikan jika merantau keluar negeri untuk mencari rezeki melalui jalur resmi dan memiliki semua dokumen keimigrasian yang lengkap agar lebih aman dalam bekerja. Bagaimanapun keluarga di kampung halaman selalu menanti.
Di sisi lain, kasus Marlia juga dapat menjadi masukan dan evaluasi bagi pihak-pihak terkait, termasuk Satuan Tugas (Satgas) TPPO dalam upaya memerangi kejahatan tindak pidana perdagangan orang di tanah air, sekaligus bagaimana melindungi mereka yang masih "terjebak" di luar sana tanpa tahu cara meminta pertolongan.
Amat penting Pemerintah dapat melacak setiap pekerja migran Indonesia di luar negeri dan memastikan mereka kembali saat kontrak kerjanya memang sudah berakhir. Juga amat penting dan sangat membantu jika setiap WNI yang tinggal atau berada di luar negeri secara suka rela lapor diri tentang keberadaannya di Kantor Perwakilan RI.
Editor: Achmad Zaenal M
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024
Tags: