Jakarta (ANTARA) - Ketua Majelis Masyayikh KH. Abdul Ghaffar Rozin menegaskan bahwa lembaga yang dipimpinnya menjadi jembatan dengan pemerintah untuk memperkuat tata kelola pesantren lewat Undang-Undang No. 18 Tahun 2019.

"Majelis Masyayikh bukan organ pemerintah, Majelis Masyayikh menjembatani antara Pemerintah dan Pesantren yang mungkin memiliki jalan pikiran dan bahasa yang berbeda. Maka titik temunya adalah pesantren mau diukur oleh orang pesantren sendiri -yang paham pesantren- bukan lainnya." ujar Gus Rozin dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

Pernyataan Gus Rozin itu saat menggelar sosialisasi UU No. 18 Tahun 2019 Tentang Pesantren di Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen.

Gus Rozin menjelaskan bahwa Majelis Masyayikh dengan independensi dan kemandiriannya mengupayakan perkembangan pendidikan di pesantren, salah satunya melalui UU Pesantren.

Menurut dia, lahirnya UU Pesantren ini bertujuan membangun ekosistem pendidikan yang holistik di pesantren, mulai dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi.

"Kami ingin memastikan bahwa administrasi pesantren diperhatikan untuk kepentingan santri secara menyeluruh" katanya.

Ia juga menekankan pentingnya standar pendidikan yang minimal bagi seluruh pesantren. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan di pesantren yang terintegrasi dengan pendidikan umum.

"Meskipun terdapat keragaman dalam pembelajaran, kita harus menetapkan standar minimal seperti contoh untuk Nahwu Shorof dan Fiqih," kata Gus Rozin.

Majelis Masyayikh juga menginisiasi pengembangan standar pengasuhan, yang merupakan aspek unik dan tidak dimiliki sistem pendidikan formal lainnya.

Standar ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang santri secara holistik, menjawab berbagai isu yang merugikan kepercayaan masyarakat terhadap pesantren.

Hal ini Majelis Masyayikh tekankan untuk menepis isu-isu yang datang belakangan ini dan sedikit banyak berpengaruh terhadap turunnya kepercayaan masyarakat, yaitu isu kekerasan, baik verbal, fisik, dan lebih lagi kekerasan seksual.

"Bahwa bagaimana tata kelola di dalam pesantren itu dapat menciptakan pengalaman dan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang santri secara holistik. Jadi kita tidak perlu denial terhadap isu kekerasan di dalam pesantren, justru harus disikapi," katanya.

Sementara itu, Anggota Majelis Masyayikh Amrah Kasim menyampaikan bahwa keberadaan pesantren diharapkan mendapatkan perhatian dan kontribusi dari negara.

Melalui pengakuan dalam UU ini, Majelis Masyayikh berupaya mendukung kualitas pendidikan di pesantren agar bisa berkembang dan beradaptasi dengan dinamika masyarakat saat ini.

"UU ini hadir bukan untuk menyeragamkan, tetapi justru untuk menjaga kekhasan pesantren dengan upaya-upaya oleh Majelis Masyayikh selama tiga tahun terakhir ini untuk terus mengembangkan pesantren," katanya.