Pemerintah kaji model bagi hasil berkeadilan untuk pemanfaatan SDA
5 November 2024 16:38 WIB
Dirjen KSDAE Kemenhut Satyawan Pudyatmoko (tengah) dan Indra Exploitasia sebagai Staf Ahli Menteri Bidang Pangan KLHK (kanan) dalam pertemuan dengan media di Jakarta, Selasa (5/11/2024) ANTARA/Prisca Triferna
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia tengah mengkaji skema bagi keuntungan (benefit sharing) yang berkeadilan dari usaha terkait dengan konservasi sumber daya alam hayati sebagai bagian dari penyusunan aturan pendanaan untuk konservasi.
Dalam pertemuan dengan media di Jakarta, Selasa, Indra Exploitasia sebagai Staf Ahli Menteri Bidang Pangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang kini dipisah menjadi Kementerian LH dan Kemenhut, menyebut uji coba mekanisme pembagian keuntungan itu untuk dapat melihat bagi hasil yang berkeadilan dari usaha yang terkait dengan konservasi sumber daya alam hayati.
Tujuannya, jelasnya, untuk memastikan para pihak dapat melakukan penandaan anggaran (budget tagging) demi kepentingan upaya konservasi keanekaragaman hayati.
"Hal ini dilakukan untuk menjamin pemetaan dan pengalokasian dana secara tepat guna mendukung pelaksanaan program-program konservasi secara berkelanjutan," ujar Indra.
Dia menjelaskan bahwa model tersebut dikembangkan di Landscape-Seascape Flores Barat dan Utara Proyek IN-FLORES KLHK-UNDP-GEF dan model bisnis inkubasi yang diterapkan di Aceh oleh Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) bersama dengan pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE).
Baca juga: Kemenhut siapkan aturan inovasi pendanaan dukung kegiatan konservasi
Kajian itu merupakan bagian dari proses penyusunan regulasi komprehensif terkait pendanaan berkelanjutan yang tengah dilakukan saat itu. Aturan itu merupakan turunan dari UU No. 32 tahun 2024 tentang Perubahan atas UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Dalam kesempatan yang sama, Dirjen KSDAE Satyawan Pudyatmoko menyebut aturan itu untuk pembiayaan pengelolaan sumber daya alam hayati, melalui mekanisme pembagian keuntungan secara berkeadilan.
Dia mengatakan potensi pendanaan berkelanjutan dari pemanfaatan sumber daya alam hayati sangat besar dan perlu menerjemahkan bagaimana skema dan model kelembagaannya.
"Serta bagaimana pengaturan pendanaan berkelanjutan dirumuskan dalam peraturan teknis dan kebijakan yang menyentuh baik hulu maupun hilir, sebagai acuan dalam program-program piloting di lapangan, dalam pemanfaatan sumber daya alan hayati termasuk sumber daya genetik, pengelolaan wisata alam, maupun upaya-upaya pemulihan ekosistem," demikian Satyawan Pudyatmoko.
Baca juga: KKP Gandeng Yayasan Konservasi Kebut Implementasi Ekonomi Biru di WPPNRI 572
Baca juga: Indonesia-Australia majukan konservasi inklusif di Papua Barat Daya
Dalam pertemuan dengan media di Jakarta, Selasa, Indra Exploitasia sebagai Staf Ahli Menteri Bidang Pangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang kini dipisah menjadi Kementerian LH dan Kemenhut, menyebut uji coba mekanisme pembagian keuntungan itu untuk dapat melihat bagi hasil yang berkeadilan dari usaha yang terkait dengan konservasi sumber daya alam hayati.
Tujuannya, jelasnya, untuk memastikan para pihak dapat melakukan penandaan anggaran (budget tagging) demi kepentingan upaya konservasi keanekaragaman hayati.
"Hal ini dilakukan untuk menjamin pemetaan dan pengalokasian dana secara tepat guna mendukung pelaksanaan program-program konservasi secara berkelanjutan," ujar Indra.
Dia menjelaskan bahwa model tersebut dikembangkan di Landscape-Seascape Flores Barat dan Utara Proyek IN-FLORES KLHK-UNDP-GEF dan model bisnis inkubasi yang diterapkan di Aceh oleh Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) bersama dengan pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE).
Baca juga: Kemenhut siapkan aturan inovasi pendanaan dukung kegiatan konservasi
Kajian itu merupakan bagian dari proses penyusunan regulasi komprehensif terkait pendanaan berkelanjutan yang tengah dilakukan saat itu. Aturan itu merupakan turunan dari UU No. 32 tahun 2024 tentang Perubahan atas UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Dalam kesempatan yang sama, Dirjen KSDAE Satyawan Pudyatmoko menyebut aturan itu untuk pembiayaan pengelolaan sumber daya alam hayati, melalui mekanisme pembagian keuntungan secara berkeadilan.
Dia mengatakan potensi pendanaan berkelanjutan dari pemanfaatan sumber daya alam hayati sangat besar dan perlu menerjemahkan bagaimana skema dan model kelembagaannya.
"Serta bagaimana pengaturan pendanaan berkelanjutan dirumuskan dalam peraturan teknis dan kebijakan yang menyentuh baik hulu maupun hilir, sebagai acuan dalam program-program piloting di lapangan, dalam pemanfaatan sumber daya alan hayati termasuk sumber daya genetik, pengelolaan wisata alam, maupun upaya-upaya pemulihan ekosistem," demikian Satyawan Pudyatmoko.
Baca juga: KKP Gandeng Yayasan Konservasi Kebut Implementasi Ekonomi Biru di WPPNRI 572
Baca juga: Indonesia-Australia majukan konservasi inklusif di Papua Barat Daya
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024
Tags: