Sleman (ANTARA) - Alih fungsi lahan, penurunan kualitas kesuburan tanah pertanian, dampak El Nino, hingga perubahan iklim menjadi ancaman nyata upaya swasembada pangan di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Meski demikian, masih ada segumpal optimisme bagi petani milenial untuk meraih kesuksesan di daerah bertanah subur tapi padat penduduk ini.

Dinas Pertanian, Pangan, dan Perikanan Kabupaten Sleman merespons tantangan ini dengan mendorong modernisasi pertanian berbasis teknologi untuk meningkatkan hasil pertanian.

Modernisasi pertanian merupakan salah satu kunci peningkatan produktivitas, mutu hasil pertanian, serta pendapatan petani. Petani yang melakukan modernisasi dengan memanfaatkan teknologi dapat meningkatkan efisiensi usaha tani sehingga berpotensi menghasilkan keuntungan yang lebih besar.

Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pertanian, Pangan, dan Perikanan Kabupaten Sleman Suparmono mengakui pemanfataan teknologi secara nyata meningkatkan pendapatan petani.

Salah satu contoh modernisasi pertanian adalah rumah kaca atau green house. Model pertanian rumah kaca memberi banyak keuntungan dalam usaha tani. Teknologi ini memungkinkan produksi sepanjang tahun, menghasilkan kualitas dan kuantitas panen, serta kontinuitas produk pertanian yang lebih baik dibandingkan dengan cara konvensional.

Petani dengan lahan terbatas pun dapat menghasilkan produk dengan nilai ekonomi tinggi.

Beberapa petani di Kabupaten Sleman sudah menerapkan pertanian rumah kaca ini. Hal tersebut terlihat dari data luas rumah kaca Kabupaten Sleman 2023 yaitu 126.175 meter persegi. Adapun luas lahan rumah kaca yang berupa bantuan Pemerintah hanya 3,17 persen, sisanya yang 96,83 persen merupakan swadaya petani.

Tercatat sebanyak 84,16 persen petani rumah kaca masih menggunakan rangka bambu. Hal tersebut karena modalnya lebih murah dibanding rumah kaca berangka logam. Adapun yang menggunakan rangka besi hanya 15,84 persen.

Komoditas yang diusahakan dalam rumah kaca terdiri atas tanaman hias, sayuran, dan buah-buahan. Salah satu jenis buah yang banyak dibudidayakan yaitu melon. Rumah kaca yang ditanami melon seluas 19.039 meter persegi.

Budi daya melon konvensional sulit dilakukan pada saat musim kering mengingat tanaman tanaman buah ini membutuhkan air dalam jumlah banyak. Kendala tersebut menjadi penyebab utama turunnya areal pertanaman melon Kabupaten Sleman. Produksi melon periode Januari--Oktober 2023 sebesar 1.613,3 kuintal dan tahun 2024 hanya sebesar 341 kuintal atau menurun 78,86 persen.

Di sisi lain, melon termasuk buah yang memiliki banyak peminat dan harganya di pasaran tergolong tinggi dibanding harga rata-rata buah sejenis sehingga menggiurkan untuk meraup cuan.

Oleh karena itu, Dinas Pertanian, Pangan, dan Perikanan Kabupaten Sleman mendorong penerapan rumah kaca untuk budi daya melon guna mendukung peningkatan produksi dan memenuhi permintaan melon bermutu tinggi.
Kisah sukses Mulyadi

Mulyadi, petani melon dalam rumah kaca di Padukuhan Ngepas Lor, Donoharjo, Ngaglik, telah membuktikan budi daya melon dengan teknologi rumah kaca memberi penghasilan yang memadai.

Mulyadi mengelola sembilan rumah kaca yang ditanami melon seluas 3.456 meter persegi. Selain teknologi rumah kaca, ia juga menerapkan teknologi drip irrigation dan teknologi budi daya tanaman sehat untuk menghemat biaya dan mengoptimalkan keuntungan usaha.

Teknologi rumah kaca memungkinkan dirinya mengatur waktu tanam dan panen. Setiap rumah kaca bisa panen melon setiap 3 bulan sekali.

Biaya pembuatan rumah kaca pun relatif terjangkau. Dengan modal Rp50 juta, ia bisa membuat rumah kaca berukuran 384 meter persegi atau biayanya hanya Rp130 ribu per meter persegi.

Budi daya melon dengan teknologi rumah kaca ini juga hemat tenaga kerja. Untuk mengelola sembilan rumah kaca, ia hanya membutuhkan dua pekerja harian yang digaji Rp100 ribu per hari dan mendapat hak libur pada hari Minggu.

Mulyadi yang sudah menggeluti 5 tahun budi daya melon rumah kaca itu menceritakan bahwa pendapatan dari hasil penjualan panen melon per rumah kaca kira-kira Rp22 juta, sedangkan biaya produksi hanya Rp6 juta per unit. Setiap bulan ia panen di dua rumah kaca atau mengantongi keuntungan sekitar Rp32 juta.

Keuntungan tersebut sudah bersih setelah dikurangi biaya variabel yang dibutuhkan, yaitu tenaga kerja, bibit, pupuk, dan pestisida, sedangkan instalasi rumah kaca dan irigasi tetes bisa digunakan bertahun-tahun.

Pria berusia 51 tahun itu menyampaikan bahwa satu unit rumah kaca berukuran 8x48 meter persegi ditanami 800 bibit melon dengan tingkat risiko kegagalan 5 persen sehingga hitungannya yang bisa panen 760 pohon. Setiap pohon kira-kira menghasilkan melon dengan bobot 1,1--1,3 kg dengan harga jual Rp23 ribu--Rp25 ribu per kilogram.

Agar hasilnya maksimal, satu pohon hanya dibuahkan satu melon. Variestas melon yang dibudidayakan juga premium, yakni Sweet Net, Inthanon RZ, dan Fujisawa RZ.

Produksi melon hasil Greenhouse Mulyadi dijual di pasar tradisional hingga supermarket di wilayah DIY.

Pangsa pasar melon premium saat ini sangat besar. Pedagang dari Pasar Induk Gamping juga menerima melon premium hasil produksinya tanpa membatasi jumlahnya.

Bahkan, pemasok toko jejaring hingga supermarket di wilayah DIY mengambil darinya. Artinya, pasar melon premium sangat terbuka dan menjadi kesempatan bagi kaum milenial untuk bertani.

Saat ini, harga melon di tingkat petani sangat stabil. Selain itu, peluang pasarnya masih besar dan petaninya masih sedikit. Hal ini yang membuat dirinya memilih komoditas melon untuk dikembangkan dengan teknologi rumah kaca.

Tak seperti kebanyakan petani melon dalam rumah kaca lainnya yang menggunakan teknik hidroponik, Mulyadi tetap bertahan menggunakan bedengan tanah sebagai media tanam. Teknik ini dinilai lebih murah, praktis, serta bisa dipasangi irigasi tetes. Yang lebih penting adalah nutrisi dan kondisi lingkungan di dalam rumah kaca dapat dikendalikan dengan lebih mudah sesuai dengan kebutuhan tanaman dan manfaat yang diharapkan bagi kesehatan petani serta konsumen.

Selain itu, tanaman lebih terkontrol dari hama dan penyakit sehingga penggunaan pestisida dapat diminimalisasi, dari mulai fase tanam hingga panen, hanya lima kali semprot.

Mengingat potensi keuntungan budi daya melon dengan teknologi rumah kaca itu, ia mengajak petani, khususnya generasi muda, untuk menerapkan pertanian modern dengan rumah kaca.

Penerapan modernisasi dan teknologi rumah kaca ini bisa memotivasi pemuda menjadi petani. Mereka tidak perlu terlalu lama berpanas-panas di hamparan lahan terbuka. Cuan yang dijanjikan pun menggiurkan.

Bagi milenial, kaya dan hidup lebih bermakna selagi muda bukan lagi utopia sepanjang mereka ulet menekuni profesi sebagai petani. Mulyadi sudah membuktikannya.

Editor: Achmad Zaenal M