Jakarta (ANTARA) - Produk "salted jellyfish" berbahan ubur-ubur hasil produksi nelayan di daerah 3 T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) pesisir Paloh, Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat, ikut dipamerkan di ajang Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) di Jakarta.

Endang Rudiatin, peneliti dan Ketua Pusat Studi Perbatasan dan Pesisir (PSPP) Universitas Muhammadiyah Jakarta, di Jakarta, Senin, menyatakan sangat mengapresiasi langkah Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah (DEKS) Bank Indonesia dalam mempromosikan produk komoditas ekspor nelayan itu di acara ISEF 2024 di JCC Jakarta yang berlangsung pada 30 Oktober sampai 3 November.
Ia menjelaskan, produk "salted jellyfish" merupakan ubur-ubur yang telah diasinkan dan dapat dikonsumsi menjadi berbagai jenis pangan dan dapat juga menjadi produk farmasi.
Masyarakat Kalimantan Barat, terutama etnis Tionghoa di Pontianak dan Singkawang, menurut Endang, kerap mengonsumsi ubur-ubur sebagai rujak, atau masakan tumis. Sementara etnis Melayu memasak ubur-ubur itu menjadi sate ataupun abon.

Baca juga: UMJ bantu bangun kilang ubur-ubur untuk nelayan Sambas Kalbar

Baca juga: Menparekraf prioritaskan kelestarian ubur-ubur di Pulau Kakaban

"Ubur-ubur dari kawasan pesisir Paloh merupakan komoditas ekspor untuk Taiwan, Korea, Singapura, Jepang dan China. Para pembeli setiap musim ubur-ubur akan datang ke kilang-kilang, bertransaksi dengan para pemilik kilang," katanya.
Nelayan Paloh itu mendapat binaan dan pendampingan dari Pusat Studi Perbatasan dan Pesisir (PSPP) Universitas Muhammadiyah Jakarta sejak 2022, dan berlanjut pada 2025, bahkan kemungkinan pada 2026 hingga mereka dapat berdikari.
Endang berharap ke depan ubur-ubur dapat diolah bersama produk perikanan dan kelautan lainnya menjadi produk olahan yang memiliki nilai tambah.

Selama ini ubur-ubur masih menjadi pemasukan utama selama musim di bulan Maret hingga Mei setiap tahun. Untuk harga penjualan masih mengikuti harga pembeli.
Proyek percontohan Desa Berdikari sebagai kerja sama DEKS Bank Indonesia dan PSPP Universitas Muhammadiyah Jakarta, menurut Endang, masuk pada tahap pendampingan peningkatan sumber daya manusia.
Pada pendampingan itu juga diberikan Program Literasi Keuangan Syariah di mana dalam masyarakat Melayu Sambas praktik keuangan syariah sudah menjadi gaya hidup dengan budaya bersedekah dan berzakat.
Para nelayan dilatih untuk mulai menghitung dari penjualan hasil tangkapannya lalu dihitung berapa zakat yang harus dikeluarkan.
"Tidak besar jumlahnya, namun menguatkan kembali kebiasaan berzakat dan bersedekah tentu dapat menjadi pengaman bagi nelayan menghadapi masa-masa sulit," kata Endang.*

Baca juga: Dinas Perikanan sebut nelayan di Cilacap panen ubur-ubur

Baca juga: Album Asia: Melihat ledakan populasi ubur-ubur di Jawa Timur