Tokyo (ANTARA) - Sutradara Indonesia Nia Dinata membagikan pengalamannya dalam menjalankan peran sebagai salah satu juri di ajang Tokyo International Film Festival 2024 yang digelar mulai 28 Oktober hingga 6 November 2024.

Kepada ANTARA di Tokyo, Senin (4/11), Nia mengaku senang kembali ke festival film setelah pandemi COVID-19 dan menjadi juri dalam ajang bergengsi tersebut.

“Aku merasa bersyukur karena Industri di film festival masih ingat aku, di-email ‘mau enggak jadi juri’, itu kan suatu kehormatan ya membuat aku jadi kayak bersyukur dan bisa ketemu berbagai orang dari Industri film di Asia ini. Setelah pandemi aku kayaknya enggak kepikiran ke film festival, bersyukur ketemu teman-teman lama, ya dinikmati,” katanya.

Menjadi juri dalam festival film internasional bukan pertama kalinya bagi sutradara peraih Piala Citra itu. Sebelumnya, Nia juga berkesempatan untuk melakukan peran serupa di Seoul International Film Festival, Asia Pacific Screen Award, Singapore International Film Festival, Short Film Festival dan lainnya.

Namun, ini adalah kali pertama ia menjadi juri di Tokyo International Film Festival 2024.

“Biasanya aku ke Tokyo sebagai tamu, filmmaker atau lagi kompetisi di sini yang filmnya ditonton, kalau sekarang, aku enggak ada film tapi akunya menonton film orang kemudian aku menilai. Kalau datang sebagai tamu, kita happy datang ke pemutaran film sendiri dan pilih film apa aja yang mau ditonton, kalau ini sudah diprogram saya sudah pusing sehari nonton dua sampai tiga film. Ini pekerjaan, saya harus komit, enggak boleh telat datang, harus disiplin. Jadi emang untungnya saya hobi nonton film juga dan saya menikmati,” katanya.

Nia mengatakan sudah mengantongi judul-judul yang dinilai layak untuk memenangi kategori Asian Future dan akan digodok bersama para juri lain, yakni Direktur Image Forum Festival Yamashita Koyo dan Sutradara Jepang Yokohama Satoko.

Nia yang kerap menyuarakan isu-isu perempuan lewat karyanya itu juga mengapresiasi hadirnya kategori khusus Women’s Empowerment dalam TIFF tahun ini karena dukungan terhadap pemberdayaan perempuan lewat film semakin terlihat nyata.

Ia menceritakan saat dirinya berkompetisi di ajang yang sama lewat film "Berbagi Suami" 2006 silam, perhatian akan film-film bertema perempuan sudah muncul saat dia diajak bertemu dengan para sineas di Tokyo Women’s Film.

Nia juga menyayangkan tidak banyak film Indonesia terlibat dalam TIFF baik tahun ini maupun tahun lalu. Namun, ia juga tidak menampik adanya persaingan dan politik yang cukup ketat untuk memasukkan film-film, terutama untuk kategori World Premiere atau setidaknya Asian Premiere di festival film internasional.

Dia berharap para pembuat film Indonesia dapat menyajikan cerita-cerita yang personal tentang karakter manusia, pengalaman hidup manusia, tidak hanya terbawa arus tren.

“Jangan cuma mengikuti tren aja, kalau lagi tren film thriller atau horor, kayaknya sudah waktunya mencari apa sih yang penting dari filmmaker itu yang diekspresikan secara personal,” katanya.

Baca juga: Tony Leung jadi pemimpin juri Festival Film Internasional Tokyo ke-37
Baca juga: Juri TIFF: Festival film momentum kembalikan kejayaan layar lebar