Rio de Janeiro (ANTARA News) - Warga Brasil tampaknya tidak mau terus larut dalam duka mendalam dan ingin segera melupakan kekalahan memalukan di babak semifinal Piala Dunia 2014 di Stadion Mineirao, Belo Horizonte pada 8 Juli lalu.

Di stadion itulah, tim panser Jerman menggilas dan kemudian mengubur dalam-dalam harapan tim tuan rumah dengan kemenangan yang sulit dipercaya, 7-1.

Harapan yang sebelumnya begitu tinggi terhadap tim nasional mereka, berubah jadi sikap apatis, sehingga pertandingan perebutan peringkat ketiga menghadapi Belanda di Brasilia, tidak lagi mendapat sambutan hangat.

Itu pula yang menyebabkan kekalahan telak 0-3 dari Belanda pada pertandingan itu, tidak lagi disambut dengan luapan emosi seperti ketika dihancurkan Jerman.

Sikap penonton tuan rumah Brasil benar-benar berubah 180 derajad terhadap tim yang sebelumnya begitu dielu-elukan dan disanjung setinggi langit.

Tim asuhan pelatih Luiz Felipe Scolari harus menghadapi teriakan cemoohan para penonton saat pertandingan Sabtu (Minggu WIB) di Stadion Mane Garrincha di Brasilia berakhir dengan kekalahan 0-3 itu.

Kekalahan yang berarti kebobolan sepuluh gol dan hanya mencetak satu gol dalam dua pertandingan secara beruntun, benar-benar membuat penonton sudah kehilangan kesabaran.

Yang lebih menyakitkan adalah tampilnya Argentina, musuh bebuyutan Brasil di partai final menghadapi Jerman di stadion Maracana Rio de Janeiro, Minggu (Senin dinihari WIB).

Pantai Copacabana pun, seperti menjadi milik pendukung Argentina dan penonton Brasil justru menjadi minoritas.

Di depan hotel mewah Copacabana Palace, tempat menginap delegasi FIFA, pendukung Argentina yang rata-rata menggunakan kaos nomor 10 milik Lionel Messi, tidak henti-hentinya menyanyi dan menari, seolah-olah mereka sudah juara

Sebagian besar penonton Brasil pun mengalihkan dukungan mereka kepada Jerman, meski wakil dari benua Eropa itu telah menghancurkan mereka di semifinal.

Perseturuan antara Argentina dengan Brasil ibarat persaingan antara Indonesia dan Malaysia di cabang bulutangkis karena sejarah panjang antara kedua negara serumpun itu.

Saatnya Pesta

Seperti yang terlihat di Pantai Copacabana, Rio de Janeiro, tidak ada lagi arak-arakan para pendukung Brasil yang membawa bendera warna hijau dan kuning, seperti yang sering terjadi pada pertandingan babak penyisihan.

Suasana layaknya seperti pesta karena para pengunjung di fan festival (ajang nonton bersama melalui layar raksasa), sudah tidak peduli dengan pertandingan dan justru lebih tertarik untuk bersantai sambil menikmati bir dingin.

Tidak jauh dari arena fan fest, sepasang anak muda tanpa sungkan asyik berciuman di tengah keramaian, sementara rekan-rekannya bermain sepak bola di lapangan pasir.

"Saya tidak mau lagi memikirkan pertandingan sepak bola. Saya dan teman-teman datang ke pantai Copacabana hanya untuk menikmati suasana," kata Da Silva, seorang pemuda berusia 19 tahun yang ditemui Antara di pantai yang menjadi tujuan utama turis manca negara itu.

Cuaca cerah dan bulan yang bersinar terang, menambah meriah suasana dan seolah-olah warga Rio tumpah ke pantai legendaris itu, setelah tiga hari terakhir cuaca selalu mendung dan gerimis.

Di sepanjang jalan antara Pantai Copacabana dan Stadion Maracana, kafe-kafe di pinggir jalan penuh oleh pengunjung yang menghabiskan malam minggu mereka.

Tapi suasana hati para pengunjung tampak bertolak belakang dengan sebelumnya karena kali ini tidak ada lagi teriakan yang memberi dukungan, yang ada makian dan ejekan, terutama kepada pelatih Scolari.

Meski prestasi tuan rumah hancur lebur, setidaknya Presiden Dilma Rousseff masih bisa tersenyum lega karena pesta empat tahunan itu bisa berlangsung lancar dan tanpa gangguan berarti, setidaknya sampai perebutan peringkat ketiga, Sabtu (Minggu WIB).

"Kami mampu menyelenggarakan Piala Dunia meski ada anggapan bahwa akan terjadi kekacauan," kata Roussef yang akan kembali mencalonkan diri pada pilpres Oktober mendatang.