Wamenko Otto minta MA perketat penafsiran Pasal 70 UU Arbitrase
1 November 2024 23:03 WIB
Wakil Menteri Koordinator (Wamenko) Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Otto Hasibuan dalam seminar nasional bertajuk "Tips dan Trik dalam Menangani dan Menyelesaikan Perkara Arbitrase" di Jakarta, Jumat (1/11/2024). ANTARA/HO-Persatuan Advokat Indonesia
Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Koordinator (Wamenko) Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Otto Hasibuan meminta Mahkamah Agung (MA) memberikan atensi khusus guna memperketat penafsiran Pasal 70 Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Alasannya, kata dia, belakangan ini Pengadilan Negeri banyak membatalkan putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai akibat penafsiran pasal tersebut yang kian bebas.
“Saya juga akan coba mengusulkan bagaimana penafsiran dari Pasal 70 itu karena berpotensi sangat sumir sekali pengertiannya,” ucap Otto dalam seminar nasional bertajuk Tips dan Trik dalam Menangani dan Menyelesaikan Perkara Arbitrase di Jakarta, Jumat, seperti dikutip dari keterangan resmi.
Baca juga: ICC Indonesia adakan konferensi dukung arbitrase jadi solusi sengketa
Otto menuturkan Pasal 70 UU tersebut mengancam eksistensi BANI. Pasalnya, para investor, pengusaha, dan pihak lainnya menjadi enggan berperkara di BANI karena putusannya bisa ditantang hingga dibatalkan di peradilan umum.
Ia menjelaskan Pasal 70 dalam UU tersebut memang mengatur bahwa Pengadilan Negeri bisa membatalkan putusan BANI apabila terdapat tipu muslihat dan seterusnya.
Namun lantaran belakangan ini penafsiran pasal itu kian bebas atau tidak ketat, sambung dia, pasal tersebut dijadikan celah oleh pihak yang kalah di BANI.
Dia mencontohkan, ketika pemohon mengajukan permohonan perkara di BANI, pemohon tidak memasukkan semua bukti karena dinilai tidak relevan untuk pembuktian.
Tetapi ketika perkara diputus, pihak termohon kemudian mendalilkan bukti yang tidak dimasukkan itu sebagai upaya tipu muslihat penyebab pihaknya kalah.
"Ini lantas dijadikan argumen untuk mengajukan gugatan pembatalan putusan BANI di Pengadilan Negeri," tuturnya.
Baca juga: BANI dorong pemerintah selesaikan sengketa bisnis melalui arbitrase
Adapun seminar tersebut digelar secara hybrid oleh Bidang Pendidikan, Rekomendasi, Pengawasan Advokat Asing, dan Pendidikan Spesialisasi Profesi Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).
Otto pun mengapresiasi seminar yang digelar dan mendapat perhatian dari hampir 1.600 peserta itu. Seminar menghadirkan para praktisi arbitrase yang sangat mumpuni dan bertaraf internasional sebagai pembicara, di antaranya Karen Mills dari Kantor Hukum KarimSyah dan Theodoor Bakker dari Kantor Hukum Ali Budiarjo, Nugroho, Reksodiputro (ABNR).
Selain itu, hadir pula Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) Cimahi, Prof. Hikmahanto Juwana.
Baca juga: BANI sudah memutus lebih dari 1.000 perkara bisnis
Baca juga: BANI luncurkan buku arbitrase di Indonesia
Baca juga: BANI dorong revisi Undang-Undang Arbitrase
Alasannya, kata dia, belakangan ini Pengadilan Negeri banyak membatalkan putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai akibat penafsiran pasal tersebut yang kian bebas.
“Saya juga akan coba mengusulkan bagaimana penafsiran dari Pasal 70 itu karena berpotensi sangat sumir sekali pengertiannya,” ucap Otto dalam seminar nasional bertajuk Tips dan Trik dalam Menangani dan Menyelesaikan Perkara Arbitrase di Jakarta, Jumat, seperti dikutip dari keterangan resmi.
Baca juga: ICC Indonesia adakan konferensi dukung arbitrase jadi solusi sengketa
Otto menuturkan Pasal 70 UU tersebut mengancam eksistensi BANI. Pasalnya, para investor, pengusaha, dan pihak lainnya menjadi enggan berperkara di BANI karena putusannya bisa ditantang hingga dibatalkan di peradilan umum.
Ia menjelaskan Pasal 70 dalam UU tersebut memang mengatur bahwa Pengadilan Negeri bisa membatalkan putusan BANI apabila terdapat tipu muslihat dan seterusnya.
Namun lantaran belakangan ini penafsiran pasal itu kian bebas atau tidak ketat, sambung dia, pasal tersebut dijadikan celah oleh pihak yang kalah di BANI.
Dia mencontohkan, ketika pemohon mengajukan permohonan perkara di BANI, pemohon tidak memasukkan semua bukti karena dinilai tidak relevan untuk pembuktian.
Tetapi ketika perkara diputus, pihak termohon kemudian mendalilkan bukti yang tidak dimasukkan itu sebagai upaya tipu muslihat penyebab pihaknya kalah.
"Ini lantas dijadikan argumen untuk mengajukan gugatan pembatalan putusan BANI di Pengadilan Negeri," tuturnya.
Baca juga: BANI dorong pemerintah selesaikan sengketa bisnis melalui arbitrase
Adapun seminar tersebut digelar secara hybrid oleh Bidang Pendidikan, Rekomendasi, Pengawasan Advokat Asing, dan Pendidikan Spesialisasi Profesi Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).
Otto pun mengapresiasi seminar yang digelar dan mendapat perhatian dari hampir 1.600 peserta itu. Seminar menghadirkan para praktisi arbitrase yang sangat mumpuni dan bertaraf internasional sebagai pembicara, di antaranya Karen Mills dari Kantor Hukum KarimSyah dan Theodoor Bakker dari Kantor Hukum Ali Budiarjo, Nugroho, Reksodiputro (ABNR).
Selain itu, hadir pula Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) Cimahi, Prof. Hikmahanto Juwana.
Baca juga: BANI sudah memutus lebih dari 1.000 perkara bisnis
Baca juga: BANI luncurkan buku arbitrase di Indonesia
Baca juga: BANI dorong revisi Undang-Undang Arbitrase
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024
Tags: