Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen berharap pemerintah serius untuk segera mempercepat swasembada gula seperti yang diamanahkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2023.

Di samping swasembada gula, Perpres tersebut juga menggarisbawahi upaya peningkatan ketahanan energi dan pelaksanaan energi bersih melalui penyediaan bioetanol sebagai bahan bakar nabati (biofuel).

“Ayolah kita serius. Siapa yang kita ajak serius? Ya, pemerintah. Pemerintahan baru ini saya berharap lebih serius lagi perencanaannya,” kata Soemitro dalam diskusi publik yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat.

Soemitro mengatakan, pada dasarnya pihaknya mendukung rencana pemerintah. Namun sayangnya hingga saat ini, peta jalan (roadmap) sebagai turunan Perpres No. 40 Tahun 2023 belum tersedia. Sebagaimana yang tercantum dalam beleid tersebut, seharusnya peta jalan selesai pada akhir tahun 2023 atau enam bulan setelah Perpres diterbitkan.

Dalam Perpres No. 40 Tahun 2023, pemerintah menargetkan peningkatan produktivitas tebu sebesar 93 ton per hektare melalui perbaikan praktik agrikultur berupa pembibitan, penanaman, pemeliharaan tanaman, dan tebang muat angkut. Namun, ujar Soemitro, saat ini rata-rata produktivitas tebu baru sekitar 65 ton per hektare.

Pemerintah juga menargetkan penambahan areal lahan baru perkebunan tebu seluas 700 ribu hektare yang bersumber dari lahan perkebunan, lahan tebu rakyat, dan lahan kawasan hutan. Selain itu, ditargetkan peningkatan efisiensi, utilisasi, dan kapasitas pabrik gula untuk mencapai rendemen sebesar 11,2 persen.

Baca juga: Bapanas dorong produktivitas gula di NTT agar swasembada

Terkait dengan lahan baru, Soemitro mengingatkan agar pemerintah serius untuk mewujudkan proyek perkebunan tebu seluas 2 juta hektare di Merauke. Menurut perhitungannya, diperlukan 100 pabrik gula jika benar-benar ingin menyerap 2 juta hektare lahan tersebut.

“Tidak bisa tebu itu di sana (di Merauke) dipanen, tapi digiling di Jawa atau digiling di Sulawesi. Pabriknya juga harus ada di sana. Karena setelah ditebang jarak 24 jam, maka karakter tanaman tebu ini sudah beda untuk diproduksi menjadi gula,” jelas dia.

Terkait dengan ketahanan energi, Perpres No. 40 Tahun 2023 juga menyebutkan target peningkatan produksi bioetanol yang bersumber dari tanaman tebu paling sedikit 1,2 juta kilo liter paling lambat pada tahun 2030.

Untuk mencapai ketahanan energi tersebut, Soemitro mengingatkan bahwa permasalahan swasembada gula harus diselesaikan terlebih dahulu. Menurutnya, terlalu riskan jika pemanfaatan tebu dikedepankan untuk pembuatan bioetanol sementara saat ini Indonesia masih mengimpor gula.

Ia mendorong pemerintah untuk benar-benar menetapkan tanaman-tanaman yang dijadikan bahan baku bioetanol mengingat target pada tahun 2030 sangat besar. Jika pemerintah memang menginginkan produksi bioetanol dari tebu, maka diperlukan keseriusan untuk meningkatkan produktivitas tebu.

“Jadi ini harus kita seriusi. Kita mau buat bioetanol dari apa? Misalnya dari rumput laut. Iya, di mana rumput lautnya? Tidak apa-apa (kalau sumbernya dari rumput laut), ayo kita berangkat dari rumput laut. Kita tanam rumput laut yang sebanyak-banyaknya. Atau misalnya dari umbi. Ya, tidak apa-apa. Tapi, ayo serius,” kata Soemitro.

Baca juga: SGN gencarkan digitalisasi demi capai swasembada gula