Jakarta (ANTARA) - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membuka peluang untuk mengembangkan pemanfaatan bahan baku bioetanol selain tanaman tebu apabila target untuk mencapai produksi 1,2 juta kilo liter bioetanol dari tebu tidak terimplementasi dengan baik.

Koordinator Keteknikan dan Lingkungan Bioenergi Kementerian ESDM Efendi Manurung menyebutkan, mandatori bioetanol hingga saat ini belum dapat diimplementasikan dengan baik dibandingkan dengan mandatori biodiesel yang relatif berjalan lebih baik bahkan melebihi target.

“Ke depan memang kalau target kita kendati pun tidak terimplementasi, bahwasanya menyesuaikan strateginya juga kita lakukan,” kata Efendi dalam diskusi publik yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat.

Sebagai informasi, Indonesia memiliki target produksi bioetanol yang bersumber dari tanaman tebu paling sedikit 1,2 juta kilo liter paling lambat pada tahun 2030. Hal ini telah tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel).

Efendi menyebutkan, potensi bahan baku bioetanol yang dapat dikembangkan sebagai strategi diversifikasi mulai dari tanaman jagung, nipah, sorgum manis, hingga limbah batang pohon kelapa sawit. Seluruh potensi tersebut akan didorong pemerintah sehingga termanfaatkan secara optimal untuk pembuatan bioetanol.

Ia mengatakan, kementerian sebenarnya tidak menargetkan secara khusus produksi bioetanol yang berbasis pada tanaman spesifik saja. Kementerian justru mendorong pemanfaatan alternatif bahan baku yang paling ekonomis dan ramah lingkungan untuk pembuatan bioetanol.

“Strateginya kita lakukan dengan mengembangkan seluruh potensi yang mungkin digunakan untuk biotanol ini dan mengolaborasikan berbagai kepentingan. Sehingga implementasi pemanfaatan bioetanol ini dapat kita laksanakan,” kata dia.

Efendi mengatakan, pihaknya juga menaruh perhatian pada aspek lingkungan mengingat Indonesia memiliki target pengurangan emisi sebagaimana tertuang dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC).

Berdasarkan dokumen Enhanced NDC, Indonesia menargetkan pengurangan emisi sampai dengan 2030 mencapai 31,89 persen dengan upaya sendiri dan sebesar 43,2 persen apabila mendapatkan dukungan internasional. Saat ini, pemerintah Indonesia tengah meninjau ulang target iklim nasional dalam Second NDC.

Terkait dengan aspek lingkungan, Efendi mengingatkan, limbah biomassa yang tidak diurai atau tidak dimanfaatkan justru akan menghasilkan emisi gas metana yang berkontribusi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global. Oleh sebab itu, imbuh dia, pemanfaatan limbah biomassa untuk menjadi bioetanol merupakan salah satu usaha untuk mempercepat target pengurangan emisi.

Pemerintah telah menyampaikan komitmennya untuk mencapai swasembada energi, sebagaimana yang dikatakan Presiden Prabowo Subianto dalam pidato perdananya pada 20 Oktober lalu. Menurut Prabowo, hasil perkebunan seperti kelapa sawit, singkong, tebu, dan jagung berpotensi besar untuk diolah menjadi bahan bakar nabati pengganti minyak bumi.

Indonesia berpeluang menjadi raja energi hijau dunia melalui pengembangan produk biodiesel dan bioavtur dari sawit, bioetanol dari tebu dan singkong, serta energi hijau lainnya dari angin, Matahari, dan panas bumi. Hal ini tertuang dalam dokumen visi-misi Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Pengembangan bioetanol juga masuk dalam program kerja Prabowo-Gibran dalam Asta Cita 2 poin ekonomi hijau. Dokumen tersebut menyebutkan tentang rencana untuk mengembangkan bioetanol dari singkong dan tebu, sekaligus menuju kemandirian komoditas gula.

Baca juga: TEA: Pemanfaatan limbah sawit untuk bioetanol lebih ramah lingkungan
Baca juga: TEA: Perlu diversifikasi bahan baku bioetanol agar target NDC tercapai