Jakarta (ANTARA) - Lembaga riset independen Traction Energy Asia (TEA) memandang diversifikasi bahan baku pembuatan bioetanol perlu dilakukan agar Indonesia dapat mencapai target penurunan emisi sebagaimana yang tertuang dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC).’
Program Manager Traction Energy Asia Refina Muthia Sundari mengingatkan adanya potensi timbulan emisi yang dihasilkan apabila pemerintah benar-benar hanya mengandalkan tebu sebagai bahan baku bioetanol.
“Apabila tidak ada diversifikasi bahan baku dalam produksi bioetanol ini, mungkin saja itu akan menjauhkan Indonesia dari target penurunan emisi yang sekarang tercantum dan sudah ada yang baru (targetnya) di Second NDC,” kata Refina dalam diskusi publik yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat.
Sebelumnya, pemerintahan era Joko Widodo (Jokowi) menginginkan penambahan areal lahan baru perkebunan tebu seluas 700 ribu hektare dalam percepatan swasembada gula nasional dan penyediaan bioetanol sebagai bahan bakar nabati (biofuel). Hal itu tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 40 Tahun 2023.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Refina mengingatkan bahwa luas areal perkebunan tebu di Indonesia pada 2022 sudah mencapai sekitar 500 ribu hektare yang didominasi oleh perkebunan rakyat. Dengan penambahan luas lahan dan aktivitas perkebunan, maka berpotensi menimbulkan emisi gas rumah kaca dalam rantai pasok produksi bioetanol.
Baca juga: TMMIN nilai semua teknologi perlu diterapkan percepat penurunan emisi
Baca juga: Presiden tanam tebu perdana di Merauke untuk ketahanan pangan
Penelitian di Argentina yang dipublikasikan The International Journal of Life Cycle Assessment pada 2013 menunjukkan, persentase timbulan emisi per 1 kilogram bioetanol mencapai lebih dari 50 persen pada tahap agrikultur saja di dalam rantai produksi bioetanol berbasis molase atau tetes tebu.
Besarnya emisi tersebut, jelas Refina, bahkan belum memasukkan aspek alih fungsi lahan (land conversion).
Pandangan tersebut juga didukung berdasarkan kajian Traction yang dipublikasikan pada 2022 terkait dengan perbandingan produksi biodiesel antara minyak kelapa sawit dan minyak jelantah.
Merujuk pada kajian itu, Refina mengatakan bahwa alih fungsi lahan dan oksidasi lahan gambut, serta gas N20 yang dihasilkan dari aktivitas pertanian termasuk kontributor emisi terbesar dalam praktik perkebunan.
Oleh sebab itu, penting bagi pemerintah untuk melakukan diversifikasi bahan baku dalam pembuatan bioetanol sehingga tidak hanya mengandalkan hasil produksi dari perkebunan tebu.
Sebagai informasi, target iklim Indonesia yang berlaku saat ini tertuang dalam dokumen Enhanced NDC yaitu pengurangan emisi sampai dengan 2030 mencapai 31,89 persen dengan upaya sendiri dan sebesar 43,2 persen apabila mendapatkan dukungan internasional.
Saat ini, Pemerintah Indonesia tengah meninjau ulang target iklim nasional dalam Second NDC.
Terkait dengan energi, Presiden Prabowo Subianto telah menekankan swasembada energi dalam pidato perdananya pada 20 Oktober lalu.
Menurutnya, hasil perkebunan seperti kelapa sawit, singkong, tebu, dan jagung berpotensi besar untuk diolah menjadi bahan bakar nabati pengganti minyak bumi.
Indonesia berpeluang menjadi raja energi hijau dunia melalui pengembangan produk biodiesel dan bioavtur dari sawit, bioetanol dari tebu dan singkong, serta energi hijau lainnya dari angin, matahari, dan panas bumi.
Hal ini sebagaimana tertuang dalam dokumen visi-misi Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Pengembangan bioetanol juga masuk dalam program kerja Prabowo-Gibran dalam Asta Cita 2 poin ekonomi hijau. Dokumen tersebut menyebutkan tentang rencana untuk mengembangkan bioetanol dari singkong dan tebu, sekaligus menuju kemandirian komoditas gula.
Baca juga: SGN dan Pertamina NRE kolaborasi bangun Pabrik Bioetanol di Banyuwangi
Baca juga: Pertamina Group siapkan ekosistem bioetanol dorong transisi energi
TEA: Perlu diversifikasi bahan baku bioetanol agar target NDC tercapai
1 November 2024 18:32 WIB
Ilustrasi - Galur sorgum manis untuk bahan bakar bioetanol yang ditanam di Gorontalo. ANTARA/HO-BRIN.
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024
Tags: