Jakarta (ANTARA) - Tiada pergerakan lembaga negara yang luput dari restu partai politik. Mulai dari pencalonan presiden hingga menguji kelayakan hakim agung, keterlibatan partai politik merupakan keniscayaan.

Contoh, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum secara gamblang mengatur bahwa yang mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah partai politik atau gabungan partai politik.

Bahkan, Pasal 222 UU Pemilu mengamanatkan pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR periode sebelumnya.

Di sisi lain, terkait dengan pengisian jabatan hakim agung--meskipun sudah disediakan instrumen yang bernama Komisi Yudisial--pada akhirnya hakim agung akan ditentukan oleh DPR melalui uji kelayakan dan kepatutan.

Guna menjadi anggota DPR, ia haruslah seseorang anggota partai politik peserta pemilu, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 240 ayat (1) huruf n UU Pemilu.

Bukan hal yang berlebihan untuk menyematkan istilah ‘pemain kunci’ perpolitikan kepada partai politik. Sebab, sebagaimana yang telah menjadi perhatian dari Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra, suprastruktur politik Indonesia, baik lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif dibangun oleh partai politik.

Berbagai aturan tersebut, dalam hal ini undang-undang, lahir dari rahim parlemen, yang lagi-lagi diisi oleh para utusan partai politik pilihan rakyat.

Saldi Isra merasa perlu adanya perhatian serius terhadap partai politik di Indonesia. Ia mengaku terlambat menyadari betapa jarang pengelolaan partai politik menuai perhatian.

Padahal, hampir semua pergerakan lembaga di Indonesia tidak terlepas dari dukungan dan keterlibatan partai politik.

Oleh karena itu, Saldi menekankan bahwa yang harus menjadi fokus bersama untuk ke depannya adalah pengelolaan partai politik.
Identitas partai politik

Sebagai negara yang menganut sistem multipartai, masing-masing partai politik seharusnya menjadi representasi dari berbagai golongan, seperti golongan buruh, pengusaha, petani, dan lain-lain.

Akan tetapi, partai politik di Indonesia cenderung memiliki ideologi yang mirip. Bahkan, menurut Kepala Pusat Riset Politik BRIN Athiqah Nur Alami, partai politik di Indonesia tidak memiliki ideologi yang jelas.

Ideologi partai politik di Indonesia cenderung mudah bergeser dan tergantung kepentingan mereka.

Ketidakjelasan inilah yang menyebabkan posisi dari partai politik dalam pemerintahan mudah terombang-ambing.

Langkah yang dapat dilakukan terkait peningkatan pengelolaan partai politik adalah memperjelas ideologi maupun kepentingan yang diperjuangkan oleh masing-masing partai politik.

Pakar pemilihan umum (pemilu) Titi Anggraini juga berpendapat serupa. Partai politik harus tegas menunjukkan kepentingan apa yang mereka perjuangkan sehingga dapat membentuk koalisi dengan tipologi-tipologi atau karakteristik partai yang serupa.

Tak hanya memperjelas ideologi, partai politik juga wajib meningkatkan kualitas kaderisasi dan perekrutan anggota. Ia bercermin dari Mahkamah Konstitusi yang mengubah ambang batas pencalonan kepala dan wakil kepala daerah melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024.

Putusan tersebut telah membuka kesempatan bagi berbagai partai politik untuk mendaftarkan pasangan calonnya secara mandiri.

Apabila kaderisasi internal berhasil mempersiapkan calon dengan baik, partai politik semestinya tidak perlu mengandalkan koalisi untuk mengusung pasangan calon kepala daerah. Hal serupa juga bisa berlaku ketika mengusung pasangan calon kepala negara.

Identitas partai politik yang jelas, berikut dengan penanaman nilai-nilai ideologi partai politik kepada para anggotanya melalui kaderisasi internal, akan memberi gambaran yang jelas bagi para pemilih ketika akan memberi suara kepada sosok yang dirasa mewakili kepentingannya.

Tugas selanjutnya, yakni bagaimana publik turut melakukan kontrol terhadap para pejabat publik yang telah terpilih.


Pembiayaan dari APBN

Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra mengungkapkan bahwa dirinya merupakan salah satu pendukung pembiayaan partai politik melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Tanpa pembiayaan dari APBN, partai politik masih dapat berdiri. Akan tetapi, publik akan kehilangan kekuatan untuk mengontrol partai politik.

APBN yang diberikan kepada partai politik dapat menjadi cara bagi publik untuk memiliki hak dalam mengontrol partai politik. Kian besar anggaran yang diberikan, maka akan makin baik.

Terlebih, mengingat vitalnya peran partai politik dalam sistem pemerintahan di Indonesia.

Kekhawatiran akan penyalahgunaan dana tersebut dapat ditanggulangi dengan membangun mekanisme pertanggungjawaban uang negara yang digunakan untuk mengelola partai politik.

Langkah tersebut merupakan salah satu bentuk kontrol yang dapat dimiliki oleh publik terhadap partai politik.

Tak terbatas pada kontrol terhadap tata kelola partai politik, Saldi Isra juga mendorong masyarakat sipil untuk lebih aktif dalam melibatkan diri pada pembuatan undang-undang di DPR.

Langkah tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa undang-undang yang diformulasikan di parlemen mencakup kepentingan-kepentingan publik yang relevan dan betul-betul dibutuhkan.

Apabila masyarakat merasa tidak diberi kesempatan untuk terlibat, maka merekalah yang harus menciptakan kesempatan tersebut untuk melibatkan diri.

Mendatangkan massa dengan kapasitas besar bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan berulang kali. Akan tetapi, berteriak-teriak di luar pagar pun bukan langkah efektif untuk menyampaikan aspirasi.

Oleh karenanya, masyarakat sipil perlu memiliki figur untuk menjadi jembatan komunikasi dengan pusat-pusat kekuasaan, seperti kepada lembaga eksekutif maupun legislatif.

Nantinya, sosok tersebutlah yang bertugas untuk menghubungkan kedua sisi dan menjamin tersampaikannya kepentingan publik kepada para pembuat regulasi.

Partai politik selaku pemain kunci dalam perpolitikan Indonesia hendaknya meningkatkan tata kelola internalnya, baik dengan menegaskan identitas partai melalui kepentingan-kepentingan yang diusung maupun meningkatkan kaderisasi internal.

Segala upaya tersebut bermuara pada kebijakan yang menjamin terpenuhinya hak dan kebutuhan masyarakat.

Editor: Achmad Zaenal M