Jakarta (ANTARA) - Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memproyeksikan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Oktober 2024 mengalami inflasi bulanan sebesar 0,03 persen month on month (mom), dibandingkan deflasi -0,12 persen mom pada September 2024.

“Kami memperkirakan inflasi di bulan Oktober 2024, setelah lima bulan berturut-turut mengalami deflasi. Indeks Harga Konsumen pada bulan Oktober diperkirakan mengalami inflasi bulanan sebesar 0,03 persen mom,” kata Josua saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, inflasi tersebut akan menandai berakhirnya deflasi selama lima bulan berturut-turut. Karena peningkatan pasokan dari panen baru-baru ini mulai berkurang, perkiraan kenaikan harga makanan adalah faktor utama yang mendorong inflasi Oktober 2024.

Ia juga memperkirakan inflasi harga bergejolak, yang sebagian besar terdiri dari bahan makanan, akan mencatat tingkat inflasi bulanan sebesar 0,19 persen mom, dibandingkan -1,34 persen mom pada September 2024.

Selain itu, sebagai akibat dari penurunan harga bahan bakar nonsubsidi dan harga tiket pesawat, inflasi kelompok harga yang diatur pemerintah diproyeksikan mencatat deflasi bulanan sebesar 0,44 persen mom.

“Karena moderasi biaya pendidikan yang terjadi baru-baru ini terus berlanjut, inflasi inti diperkirakan turun menjadi 0,14 persen mom dari 0,16 persen mom pada bulan September,” ujarnya.

Perkiraan tersebut menunjukkan bahwa inflasi kumulatif dari Januari hingga Oktober 2024 akan menjadi sekitar 0,77 persen year to date (ytd), penurunan yang signifikan dari 1,89 persen ytd pada periode yang sama tahun 2023.

Josua memperkirakan tingkat inflasi tahunan akan tetap berada di bawah titik tengah kisaran target. Tingkat inflasi IHK tahunan diproyeksikan kembali melandai menjadi 1,67 persen year on year (yoy) pada Oktober, tetap berada di bawah titik tengah kisaran target tahun ini sebesar 1,5 hingga 3,5 persen.

Sementara itu, inflasi IHK inti tahunan diproyeksikan tetap stabil di level 2,09 persen year on year (yoy), karena penurunan harga energi dan pangan global yang sedang berlangsung.

“Kami memperkirakan inflasi akan mencapai sekitar 2 persen pada akhir tahun 2024, dengan proyeksi kenaikan sekitar 3 persen di tahun mendatang. Kami juga memperkirakan inflasi akan tetap berada dalam kisaran target 1,5 hingga 3,5 persen yang ditetapkan Bank Indonesia,” katanya.

Karena pemerintah telah menunda pengenaan cukai pada plastik dan minuman kemasan berpemanis untuk mendukung daya beli konsumen dan pertumbuhan ekonomi, tekanan inflasi harga energi global, yang dipicu oleh ketegangan geopolitik di Timur Tengah, diperkirakan akan diimbangi oleh potensi penurunan permintaan global, yang dipimpin oleh Tiongkok.

Meskipun ekonomi Amerika Serikat masih bergejolak, bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve, masih berpotensi untuk menurunkan suku bunga acuan pada akhir 2024, yang dapat mengurangi tekanan pada rupiah dan membantu menahan inflasi impor.

Tingkat inflasi 2024 diperkirakan sekitar 2,33 persen, turun dari 2,81 persen pada 2023. Proyeksi inflasi yang lebih rendah itu dapat memungkinkan Bank Indonesia untuk mempertimbangkan penurunan BI-Rate bersamaan dengan penurunan suku bunga Federal Reserve. Dengan penerapan kebijakan pemerintah yang berbeda, inflasi diproyeksikan akan meningkat pada 2025.

Menurut Nota Keuangan 2025, pemerintah berencana menaikkan tarif PPN dan menaikkan cukai pada minuman kemasan berpemanis. Selain itu, efek low base juga akan memengaruhi inflasi setelah perlambatan inflasi yang signifikan pada 2024.

Di luar dampak kebijakan, meningkatnya permintaan konsumen dapat menyebabkan kenaikan inflasi permintaan. Meskipun ada kenaikan yang diantisipasi, inflasi diperkirakan akan tetap terkendali sekitar 3,12 persen pada akhir 2025, tetap berada dalam kisaran target Bank Indonesia yakni 1,5 sampai dengan 3,5 persen.

Baca juga: Indef nilai deflasi RI perlu dicermati dengan baik
Baca juga: Ketika harga turun, daya beli lesu tapi inflasi mengancam
Baca juga: Ekonom: Deflasi berkepanjangan diakibatkan daya beli turun