Jakarta (ANTARA) - Hubungan Indonesia dan China sebenarnya sudah terjadi dalam kurun waktu yang sangat lama jika merujuk pada hubungan di masa klasik.

Berkaitan dengan penyebaran Islam di Nusantara misalnya, terdapat teori yang menyebutkan masuknya Islam berasal dari China yang kemudian disebut dengan teori China. Menurut teori ini agama Islam ke Nusantara melalui pedagang China yang sejak lama melakukan aktifitas perdagangan maritim di Nusantara.

Para pedagang mancanegara termasuk China, Arab maupun Persia berdagang secara damai di Nusantara dan menetap di pelabuhan-pelabuhan Nusantara secara damai.

Namun sejak masuknya imperialisme Barat ke Nusantara yang kemudian menjajah wilayah Indonesia itu hubungan antaretnik menjadi bermasalah.

Rakyat Indonesia pada masa penjajahan diklasifikasikan dalam beberapa kelas di mana orang-orang Eropa menempati kelas pertama, pedagang China dan Arab sebagai kelas kedua dan rakyat pribumi dianggap kelas ketiga. Mereka dihadap-hadapkan satu sama lain secara sosial yang memicu potensi konflik.

Setelah kemerdekaan, hubungan Indonesia - China mengalami penguatan karena Presiden Sukarno pada waktu itu lebih condong kepada blok Timur dan memiliki hubungan dekat dengan China. Namun setelah peristiwa gagalnya upaya kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada September 1965, hubungan kedua negara memburuk secara tajam.

Selama hampir 23 tahun, pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Suharto secara konsisten menolak permintaan Pemerintah China untuk membuka kembali hubungan bilateral. Baru kemudian pada Agustus 1990 hubungan bilateral diperbarui. Hubungan itu semakin kuat ketika Pemerintah China memberikan bantuan ekonomi kepada Indonesia dalam menghadapi krisis ekonomi. Sikap ini sangat berbeda dengan kebijakan Amerika Serikat yang dapat dilihat dari kebijakan International Monetary Fund (IMF) yang cenderung dianggap terlalu menekan Indonesia.

Walaupun hubungan Indonesia – China saat ini semakin kuat ditandai dengan semakin besarnya investasi negara tersebut di Indonesia, tantangan dan masalah masih cukup besar dan perlu diperhatikan karena dapat menjadi penghambat berbagai kerja sama dan hubungan yang semakin meningkat. Salah satu hambatan utama itu adalah masih berkembangnya stigma negatif terhadap China di kalangan umat Islam Indonesia.

Isu Islam di China

Salah satu isu yang sering muncul dan menjadi hambatan bagi penerimaan rakyat Indonesia terhadap realitas penguatan hubungan Indonesia dan China adalah isu diskriminasi kelompok Islam di Negeri Tirai Bambu itu, terutama berkaitan dengan masalah etnik Uighur yang memang berkembang secara meluas di kalangan umat Islam di Indonesia.

Mayoritas masyarakat Indonesia adalah Muslim, sehingga isu persekusi Muslim menjadi isu yang sangat sensitif bagi masyarakat Indonesia dalam melihat China. Kondisi ini diperburuk dengan banyaknya narasi media Barat yang agak tendensius melihat isu Uighur di China. Artinya, tidak ada sumber yang otoritatif yang dapat menjelaskan peristiwa sebenarnya tentang nasib umat Islam di negara tersebut.

Beberapa isu negatif yang muncul di media adalah adanya diskriminasi terhadap umat Islam. Sebuah media nasional di Indonesia sebagai contoh pernah memberitakan tentang larangan penggunaan simbol agama Islam di China, termasuk larangan menggunakan logo halal. Pemberitaan lain berkaitan dengan Suku Uighur yang diberitakan telah mengalami penindasan tiada henti oleh pemerintah di China yang antara lain berupa penahanan 1 juta warga Uighur di kamp-kamp khusus.

Solusi Alternatif

Apabila diperhatikan memang sumber-sumber berita sebagian berasal dari media-media Barat yang tidak secara langsung melihat dan memberitakan secara obyektif apa yang sebenarnya terjadi di China.

Program Sinisisasi misalnya dipahami sebagai program penindasan negara terhadap umat Islam di China karena memaksakan identitas China kepada umat Islam. Padahal jika dipahami secara obyektif pada intinya program merupakan kebijakan untuk menjadikan umat Islam bagian terintegrasi dengan identitas nasional. Umat Islam tidak lagi dipandang sebagai kelompok yang asing di China. Dampak positifnya adalah banyaknya pembangunan masjid-masjid di berbagai kota di China yang menggunakan kubah dengan arsitektur Cina.

Dalam kunjungan penulis ke Kota Sanya, Pulau Hainan, penulis menyaksikan sendiri bagaimana masjid-masjid berdiri megah dan jamaahnya ramai di setiap shalat lima waktu. Menariknya di kota ini yang memiliki jumlah penduduk Muslim yang dikenal dengan Muslim Champa, beberapa masjid yang ada melantunkan adzan dengan menggunakan pengeras suara yang terdengar sampai di luar masjid. Sebuah pemandangan yang menunjukkan suasana yang jauh dari sisi penindasan.

Untuk kasus Uighur sendiri juga perlu untuk dilihat bagaimana kebijakan Pemerintah China terhadap mayoritas Uighur di Xinjiang dan bagaimana kebijakan yang diterapkan untuk orang-orang Uighur yang menjadi bagian dari kelompok separatis. Orang-orang Uighur banyak menjalankan bisnis restoran halal di kota-kota besar di China. Hubungan mereka dengan suku-suku lain juga relatif damai dan harmonis.

Dalam situasi seperti ini nampaknya Pemerintah China itu sendiri perlu untuk memperbaiki citranya di kalangan umat Islam yang cenderung masih menunjukkan persepsi negatif karena trauma sejarah masa lalu berkaitan dengan keberadaan Partai Komunis Indonesia dan maraknya narasi negatif tentang nasib umat Islam di China. Persepsi-persepsi negatif tentu akan menjadi hambatan dalam penguatan hubungan antara Indonesia dan China mengingat Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam.

Hal-hal yang bisa dilakukan antara lain dengan memperkuat hubungan rakyat kedua negara (people to people relation) melalui strategi diplomasi budaya. Penggunaan tenaga pengajar Bahasa Mandarin (native speaker) dari kalangan Muslim China di Indonesia misalnya, juga dapat digunakan untuk memperkuat citra positif umat Islam di Indonesia terhadap China.

Penempatan pekerja Muslim dari China juga diharapkan dapat mengurangi sikap anti terhadap para tenaga kerja dari negara tersebut yang selama ini dipersepsikan tidak bersahabat dengan masyarakat setempat. Kendala ini dapat dipahami karena sebagian besar tenaga kasar yang dikirim ke Indonesia tidak memahami budaya dan bahasa Indonesia termasuk adat istiadat masyarakat setempat.

Kunjungan budaya dengan mengikutsertakan delegasi dari kalangan Islam China ke lembaga-lembaga Islam, terutama pondok pesantren, diharapkan secara kultural dapat semakin menguatkan hubungan China dan Indonesia. Umat Islam di China bisa menjadi jembatan penguat dalam hubungan kedua negara ini.

Mengingat Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam maka aspek keislaman harus menjadi bagian penting bagi diplomasi China di Indonesia. Keberadaan Muslim di China dapat dimanfaatkan untuk dapat memperkuat hubungan Indonesia dan sekaligus memperkuat kontribusi umat Islam di sana kepada negara.

Seperti yang penulis jumpai dalam sebuah masjid besar di Kota Shenzhen terpampang dengan jelas di dinding kantor imamnya sebuah plakat berbunyi, ‘hubbul wathan minal iman’ cinta tanah air adalah bagian dari keimanan. Sudah saatnya umat Islam di China membantu memperbaiki citra negatif negara itu sebagai negara komunis yang anti agama dengan banyak mengunjungi ke negara-negara Muslim termasuk Indonesia baik untuk tujuan bisnis maupun wisata.



*) Yon Machmudi adalah Guru Besar Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia