Jakarta (ANTARA) - Di tengah ramainya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan sulitnya mendapat pekerjaan, bekerja di sektor pertanian, sebenarnya bisa menjadi opsi menjanjikan. Data hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada Agustus 2023, pertanian mampu menyerap hingga 28,21 persen total tenaga kerja di Indonesia.

Sayangnya, sektor ini dikenal identik dengan kemiskinan, dianggap kurang menguntungkan, dan tidak memberikan jaminan kesejahteraan yang memadai. Hal ini membuat penduduk usia kerja, terutama anak muda, lebih memilih mencari pekerjaan lain dan enggan menjadi petani.

BPS mencatat, dalam satu dekade terakhir, proporsi pekerja pertanian menurun dari sekitar 34 persen menjadi 28 persen terhadap jumlah keseluruhan tenaga kerja di Indonesia. Kondisi ini mengindikasikan adanya penurunan minat masyarakat untuk terlibat dalam sektor pertanian, yang tentunya berpotensi mempengaruhi keberlanjutan pertanian di masa depan. Penurunan tersebut juga sejalan dengan hasil Sensus Pertanian 2023 yang menunjukkan adanya penurunan jumlah unit usaha pertanian dari 31,71 juta pada tahun 2013 menjadi 29,36 juta pada tahun 2023.

Lebih lanjut, hasil Sensus Pertanian 2023 juga menunjukkan bahwa persentase petani muda Indonesia yang berusia kurang dari 34 tahun hanya mencapai 11,5 persen. Persentase ini lebih rendah dibandingkan satu dekade yang lalu, di mana persentase petani muda terhadap total petani sebesar 12,8 persen. Ini menunjukkan adanya pergeseran yang mengarah pada menurunnya persentase petani muda dan dominasi petani tua di sektor pertanian. Jika terus berlanjut, pergeseran ini akan menyebabkan fenomena penuaan petani yang berdampak serius pada masa depan sektor pertanian.

Saat ini, Indonesia dapat dikatakan tengah mengalami penuaan petani (aging farmers), dengan dominasi umur petani lebih dari 45 tahun ke atas, dengan pendidikan rata-rata sekolah dasar. Bahkan, pada tahun 2023, jumlah petani kelompok umur ini hampir 70 persen dari total petani di Indonesia. Jika dilihat lebih dalam, selama satu dekade terakhir, proporsi petani Indonesia di usia 55 tahun ke atas juga mengalami peningkatan.

Semakin sedikitnya anak muda yang berminat menjadi petani disebabkan beberapa faktor, di antaranya pendapatan dari sektor ini yang cenderung kecil dan merupakan yang terendah dibandingkan sektor lainnya; ketergantungan tinggi pada pada cuaca, hasil produksi, dan fluktuasi harga pasar; tidak memberikan kebanggaan sosial; serta stigma bahwa sektor ini erat kaitannya dengan kemiskinan.

Faktor lain yang membuat generasi muda tidak terlalu berminat ke sektor pertanian adalah karena sektor non-pertanian memberikan lebih banyak kesempatan untuk pengembangan karir dan pendidikan yang lebih tinggi. Apalagi, dengan perkembangan era digital yang begitu pesat, tentunya generasi muda lebih tertarik mengejar karir di industri teknologi atau bisnis digital yang dianggap lebih menjanjikan.

Masalahnya, jika ketidaktertarikan generasi muda pada sektor pertanian ini terus berlanjut, maka regenerasi petani pun akan terhambat dan penuaan petani pun tidak bisa dihindari.

Penuaan petani memiliki dampak besar terhadap produktivitas pertanian dan ketahanan pangan nasional. Petani yang sudah tidak muda lagi, apalagi dengan pendidikan rendah, sering kali mengalami kesulitan dalam mengadopsi inovasi dan teknologi baru yang penting untuk meningkatkan efisiensi dan produksi. Jika tidak ada langkah konkret untuk menarik generasi muda kembali ke sektor pertanian, produktivitas pertanian Indonesia akan semakin tertekan. Pada akhirnya, akan menjadi tantangan berat yang dapat mengancam keberlanjutan pertanian.

Meskipun impor pangan bisa menjadi solusi jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan domestik, ketergantungan jangka panjang pada negara eksportir tentu membawa risiko besar. Indonesia akan menjadi lebih rentan terhadap fluktuasi harga global, perubahan kebijakan negara eksportir, dan gangguan rantai pasokan global. Jika situasi ini tidak ditangani, ancaman krisis pangan di masa depan bisa saja terjadi.


Solusi regenerasi

Salah satu hal yang dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah ini adalah regenerasi petani melalui peningkatan partisipasi generasi muda. Bagaimana menarik minat anak muda untuk mau terjun ke pertanian perlu disiasati, seperti misalnya dengan mengembangkan pertanian modern yang memanfaatkan teknologi.

Generasi muda bisa berperan tidak hanya dalam pengelolaan lahan (on-farm), tetapi juga dalam pengembangan teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas pertanian, pengolahan pasca-panen, serta pemasaran produk pertanian melalui platform digital.

Pemerintah juga perlu berperan aktif dalam menyediakan akses modal dan teknologi bagi petani muda. Dengan dukungan yang tepat, generasi muda bisa melihat potensi besar di sektor pertanian dan membantu mendorong produktivitas sektor ini di tengah ancaman alih fungsi lahan yang kian meningkat. Program pelatihan dan insentif untuk petani muda harus menjadi prioritas agar regenerasi petani bisa terlaksana dengan baik.

Urban farming atau pertanian perkotaan juga bisa menjadi salah satu solusi alternatif untuk mendekatkan produksi pangan dengan konsumen di kota-kota besar. Pertanian perkotaan ini juga bisa sekaligus menjadi salah satu solusi regenerasi petani di perkotaan karena memiliki daya tarik bagi generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian.

Selain itu, penguatan peran kelembagaan dalam mendukung akses petani terhadap sumber daya dan teknologi juga perlu diperhatikan untuk memastikan keberlanjutan sektor pertanian di masa depan. Hal ini karena kelembagaan pertanian merupakan wadah pemberdayaan masyarakat tani untuk meningkatkan produktivitas dan pengembangan usaha pertanian Indonesia.

Untuk mendorong regenerasi pertanian yang lebih signifikan, diperlukan kolaborasi lintas sektoral antara pemerintah, akademisi, dan sektor swasta. Pengembangan program-program beasiswa dan pelatihan yang difokuskan pada pertanian berbasis teknologi dan ekologi sangat potensial memacu minat generasi muda untuk turun ke sawah.

Dengan pemahaman yang lebih baik tentang cara kerja sistem pertanian yang lebih modern, para pemuda diharapkan akan semakin tertarik untuk terlibat dalam bidang ini, terutama jika mereka melihat peluang untuk berinovasi dan menciptakan produk bernilai tambah. Dengan memberikan akses yang lebih luas pada ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti penggunaan sensor otomatis, drone, dan analisis data pertanian, sektor ini dapat menawarkan daya tarik tersendiri bagi generasi muda.

Selain itu, penting pula untuk memperkenalkan program mentorship dan kemitraan antara petani senior dan petani muda. Petani senior yang memiliki pengalaman luas dapat berperan sebagai mentor, sementara petani muda membawa inovasi dan energi baru. Melalui kemitraan ini, proses alih pengetahuan dan keterampilan dapat terwujud dengan lebih efektif, sekaligus membantu mempercepat penerapan praktik pertanian yang berkelanjutan dan berteknologi tinggi.

Dengan adanya kombinasi pengalaman dan inovasi ini, diharapkan sektor pertanian Indonesia tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga berkembang, dan menciptakan ekosistem yang mampu memberikan kesejahteraan ekonomi serta ketahanan pangan bagi masyarakat di masa depan.



*) Lili Retnosari merupakan Statistisi di Badan Pusat Statistik (BPS)