Moskow (ANTARA) - Inggris, Uni Eropa (EU), dan Kanada telah memperkenalkan paket sanksi baru terhadap militer Myanmar dengan tujuan membatasi aksesnya terhadap peralatan dan dana, demikian menurut pernyataan Kantor Luar Negeri Inggris pada Selasa (29/10).

"Inggris, EU, dan Kanada telah mengumumkan sanksi tambahan yang menargetkan akses militer Myanmar terhadap bahan militer, peralatan, dan dana," ujar Kantor Luar Negeri.

London secara khusus menargetkan enam perusahaan yang diyakini memasok bahan bakar dan peralatan penerbangan untuk militer Myanmar, dengan tujuan untuk "membatasi kemampuan militer Myanmar dalam melakukan serangan udara terhadap warga sipil, yang dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang serius."

Sejak kudeta militer di Myanmar pada 2021, Inggris telah memberlakukan sanksi terhadap 25 individu dan 33 entitas, serta mengalokasikan 150 juta poundsterling (195 juta dolar AS atau sekitar Rp3 triliun) untuk bantuan kemanusiaan di negara Asia Tenggara tersebut, menurut pernyataan itu.

Sanksi baru Kanada menargetkan tiga individu dan empat entitas yang diyakini memasok senjata dan peralatan untuk serangan udara militer Myanmar, menurut pemerintah Kanada.

Berdasarkan data yang mereka miliki, serangan udara tersebut telah menewaskan hampir 400 warga sipil, termasuk lebih dari 60 anak-anak, dan melukai lebih dari 750 orang dalam enam bulan terakhir.

"Kanada terus mendorong semua negara untuk memberlakukan langkah serupa," ujar pernyataan tersebut.

EU menjatuhkan sanksi kepada tiga individu dan satu entitas yang dianggap bertanggung jawab atas "operasi penipuan" yang menargetkan penduduk Myanmar serta warga negara lain di kawasan tersebut, demikian menurut Dewan Eropa.

Sanksi tersebut mencakup pembekuan aset, pelarangan ekonomi, dan larangan perjalanan.

Sumber: Sputnik-OANA

Baca juga: Menlu: perwakilan Myanmar di KTT ASEAN tak pengaruhi konsensus 5 poin
Baca juga: Thailand akan gelar konsultasi informal ASEAN atasi krisis Myanmar
Baca juga: China ingin PBB objektif dan adil dalam menangani masalah Myanmar