Jakarta (ANTARA News) - Direktur Kesehatan Jiwa, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Eka Viora, memperkirakan jumlah orang yang mengalami stress ringan (Orang Dengan Gangguan Jiwa-red ODGJ ringan) bertambah usai pencoblosan pemilu presiden (pilpres).

"ODGJ ringan memang kasusnya banyak, termasuk yang memikirkan masalah pilpres. Bisa bertambah. Namun orang stress itu tergantung dari individunya masing-masing," kata Eka Viora dalam diskusi "RUU Kesehatan Jiwa" bersama anggota Panja, Wiryaningsih, gedung DPR RI Senayan, Jakarta, Selasa.

Lebih lanjut Eka menjelaskan dari data yang ada, jumlah ODGJ ringan di Indonesia saat ini mencapai sekitar 16 juta orang. Sementara yang mengalami stress berat atau gangguan jiwa berat mencapai sekitar 400.000 orang.

"Dari jumlah itu (400 ribu), sekitar 57.000 orang pernah dan masih dipasung," tambahnya.

Eka menjelaskan sebenarnya semua orang berpotensi mengalami stres. Salah satu indikasi orang mengalami stres ringan, menurut Eka, adalah tanda-tanda yang berdampak ke fisik. Misalnya sulit tidur, tidak memiliki nafsu makan, mual-mual, dan sebagainya.

Terkait dengan undang-undang kesehatan jiwa, Indonesia sudah pernah memiliki UU Kesehatan Jiwa No3/1966. Namun isinya hanya mengatur dan melindungi hak-hak orang yang mengalami gangguan jiwa saja.

"Sejak 1992, UU ini hilang, karena masuk dalam UU Kesehatan. Hingga kemudian, RUU Kesehatan Jiwa masuk dalam prioritas prolegnas," katanya.

Eka menjelaskan hingga saat ini daerah yang sudah memiliki rumah sakit jiwa baru sekitar 28 provinsi dengan 33 rumah sakit jiwa milik pemerintah dan 12 rumah sakit dikelola swasta.

"Masih ada sekitar enam provinsi lagi yang belum memiliki rumah sakit jiwa," katanya.
(J004)