Graffiti, bentuk lain protes Piala Dunia 2014
8 Juli 2014 08:48 WIB
Seorang pria berjalan melewati sebuah grafiti yang dilukis oleh seniman jalanan Brasil Paulo Ito di pintu masuk sebuah sekolah umum di Sao Paulo, Brazil. Sebuah gambar grafiti yang menggambarkan seorang anak kelaparan yang tidak memiliki apa-apa untuk dimakan kecuali bola ini telah disebar lebih dari 50.000 kali di Facebook. (AFP PHOTO/ Nelson Almeida)
Brasilia (ANTARA News) - Perhelatan Piala Dunia 2014 sudah mencapai babak semifinal dan sampai sejauh ini segala sesuatunya masih berjalan lancar. Protes dan aksi boikot yang sempat mewarnai menjelang pesta, berangsur surut.
Meski masih ada aksi protes, hanya diikuti beberapa puluh orang dan tidak sampai mengganggu pertandingan karena polisi dengan jumlah lebih banyak dengan sigap langsung beraksi.
Perhatian warga Brasil yang tadinya melancarkan protes terhadap besar biaya penyelenggaraan, sekarang sudah terbagi dan malah ikut memberikan dukungan kepada tim nasional mereka yang lolos ke semifinal.
Namun protes dalam bentuk lain masih belum pudar dan tetap menghiasi beberapa kota penyelenggara seperti Sao Paulo dan Rio de Janeiro, yaitu lukisan dinding jalanan yang juga dikenal dengan istilah graffiti.
Sekelompok seniman Brasil ikut menyampaikan protes kepada FIFA sebagai pemilik hajatan Piala Dunia karena dianggap telah mengekploitasi negeri itu, serta pemerintah setempat yang tidak peduli dengan kebutuhan masyarakat miskin.
Anggaran sebesar 11 miliar dolar AS untuk membiayai pesta sepak bola empat tahunan itu, menurut mereka lebih baik digunakan untuk meningkatan layanan kesehatan, pendidikan dan perbaikan transportasi.
"Seni jalanan adalah cara yang tepat untuk mengekspos masalah negeri. Jika pemerintah tidak mau mengeksposnya, itu karena mereka merasa malu. Jika mereka merasa malu, seharusnya mereka memberi perhatian lebih serius," kata seniman graffiti Paulo Ito, seperti dikutip Guardian.
Di banyak negara di seluruh dunia, termasuk Brasil, graffiti sudah sejak lama dijadikan sebagai cara untuk menghiasi lingkungan sekitar dan sarana untuk menyuarakan pendapat.
Ketika pelaksanaan Piala Dunia 2014 semakin dekat, graffiti pun mulai memainkan peran, baik dalam bentuk yang provokatif dan menentang, atau sebaliknya menyampaikan ucapan selamat datang kepada tamu.
Masyarakat Brasil pada dasarnya sangat mencintai sepak bola, terbukti dengan antusiasme mereka saat mendatangi stadion, meski yang bertanding bukan tim nasional mereka.
Tapi di sisi lain, mereka sangat terusik dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan dan dianggap sebagai sebuah pemborosan.
Suasana hati masyarakat Brasil tersebut ditangkap dengan baik oleh Paulo Ito yang kemudian menuangkannya melalui coretan di dinding yang menghiasi kota Sao Paulo.
Tidak Sekedar Protes
Lukisan jalanan oleh Ito di berbagai sudut kota Sao Paulo mampu berbicara seribu kata dan ikut membangkitkan suasana emosi mereka yang melihat. Coretan-coretan tersebut tidak lagi sekedar bentuk protes, tapi sekaligus sebagai karya seni.
"Saya sama sekali tidak menentang Piala Dunia, saya hanya tidak setuju dengan cara-cara FIFA. Seni jalanan ini memperlihatkan ketidak puasan terhadap FIFA dan pertanyaan mengenai apa yang seharusnya menjadi prioritas di Brasil," kata Ito.
Ketidak puasan Ito yang merupakan refleksi dari suasana hati masyarakat miskin di Brasil tergambar dengan jelas pada sebuah lukisan seorang anak laki-laki kurus kering dan kelaparan sedang menghadapi sebuah piring berisi bola.
Di Rio de Janeiro, seniman Tiago Tosh juga menangkap sensasi antara rasa putus asa dan sekaligus kebanggaan masyarakat Brasil tentang Piala Dunia.
Di sebuah sudut kota, terdapat lukisan di tembok yang menggambarkan Fuleco, maskot Piala Dunia 2014, sedang membidikkan senapan laras panjang ke arah tulisan "Kami Ingin Pendidikan, Bukan Represi."
"Lukisan ini melukiskan sebuah pendapat yang bercampur aduk. Saya menentang sistem yang kotor dan korup. Saya menyukai sepak bola dan sejak kecil ingin menjadi pemain sepak bola," kata Tosh.
Walau bagaimana pun, seni jalanan, sebagaimana halnya jenis seni lain, bisa menjadi alat politik dan sekaligus komersial, serta menyediakan peluang bagi mereka menampilkan sebuah karya, atau sebuah pendapat.
Graffiti yang bersebar di beberapa sudut kota Rio dan juga Sao Paulo, terus menjadi bahan diskusi karena menjadi tempat beradunya pernyataan yang berisi kemarahan dan sekaligus kebanggaan terhadap Piala Dunia 2014.
(A032)
Meski masih ada aksi protes, hanya diikuti beberapa puluh orang dan tidak sampai mengganggu pertandingan karena polisi dengan jumlah lebih banyak dengan sigap langsung beraksi.
Perhatian warga Brasil yang tadinya melancarkan protes terhadap besar biaya penyelenggaraan, sekarang sudah terbagi dan malah ikut memberikan dukungan kepada tim nasional mereka yang lolos ke semifinal.
Namun protes dalam bentuk lain masih belum pudar dan tetap menghiasi beberapa kota penyelenggara seperti Sao Paulo dan Rio de Janeiro, yaitu lukisan dinding jalanan yang juga dikenal dengan istilah graffiti.
Sekelompok seniman Brasil ikut menyampaikan protes kepada FIFA sebagai pemilik hajatan Piala Dunia karena dianggap telah mengekploitasi negeri itu, serta pemerintah setempat yang tidak peduli dengan kebutuhan masyarakat miskin.
Anggaran sebesar 11 miliar dolar AS untuk membiayai pesta sepak bola empat tahunan itu, menurut mereka lebih baik digunakan untuk meningkatan layanan kesehatan, pendidikan dan perbaikan transportasi.
"Seni jalanan adalah cara yang tepat untuk mengekspos masalah negeri. Jika pemerintah tidak mau mengeksposnya, itu karena mereka merasa malu. Jika mereka merasa malu, seharusnya mereka memberi perhatian lebih serius," kata seniman graffiti Paulo Ito, seperti dikutip Guardian.
Di banyak negara di seluruh dunia, termasuk Brasil, graffiti sudah sejak lama dijadikan sebagai cara untuk menghiasi lingkungan sekitar dan sarana untuk menyuarakan pendapat.
Ketika pelaksanaan Piala Dunia 2014 semakin dekat, graffiti pun mulai memainkan peran, baik dalam bentuk yang provokatif dan menentang, atau sebaliknya menyampaikan ucapan selamat datang kepada tamu.
Masyarakat Brasil pada dasarnya sangat mencintai sepak bola, terbukti dengan antusiasme mereka saat mendatangi stadion, meski yang bertanding bukan tim nasional mereka.
Tapi di sisi lain, mereka sangat terusik dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan dan dianggap sebagai sebuah pemborosan.
Suasana hati masyarakat Brasil tersebut ditangkap dengan baik oleh Paulo Ito yang kemudian menuangkannya melalui coretan di dinding yang menghiasi kota Sao Paulo.
Tidak Sekedar Protes
Lukisan jalanan oleh Ito di berbagai sudut kota Sao Paulo mampu berbicara seribu kata dan ikut membangkitkan suasana emosi mereka yang melihat. Coretan-coretan tersebut tidak lagi sekedar bentuk protes, tapi sekaligus sebagai karya seni.
"Saya sama sekali tidak menentang Piala Dunia, saya hanya tidak setuju dengan cara-cara FIFA. Seni jalanan ini memperlihatkan ketidak puasan terhadap FIFA dan pertanyaan mengenai apa yang seharusnya menjadi prioritas di Brasil," kata Ito.
Ketidak puasan Ito yang merupakan refleksi dari suasana hati masyarakat miskin di Brasil tergambar dengan jelas pada sebuah lukisan seorang anak laki-laki kurus kering dan kelaparan sedang menghadapi sebuah piring berisi bola.
Di Rio de Janeiro, seniman Tiago Tosh juga menangkap sensasi antara rasa putus asa dan sekaligus kebanggaan masyarakat Brasil tentang Piala Dunia.
Di sebuah sudut kota, terdapat lukisan di tembok yang menggambarkan Fuleco, maskot Piala Dunia 2014, sedang membidikkan senapan laras panjang ke arah tulisan "Kami Ingin Pendidikan, Bukan Represi."
"Lukisan ini melukiskan sebuah pendapat yang bercampur aduk. Saya menentang sistem yang kotor dan korup. Saya menyukai sepak bola dan sejak kecil ingin menjadi pemain sepak bola," kata Tosh.
Walau bagaimana pun, seni jalanan, sebagaimana halnya jenis seni lain, bisa menjadi alat politik dan sekaligus komersial, serta menyediakan peluang bagi mereka menampilkan sebuah karya, atau sebuah pendapat.
Graffiti yang bersebar di beberapa sudut kota Rio dan juga Sao Paulo, terus menjadi bahan diskusi karena menjadi tempat beradunya pernyataan yang berisi kemarahan dan sekaligus kebanggaan terhadap Piala Dunia 2014.
(A032)
Pewarta: Atman Ahdiat
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2014
Tags: