Artikel
Asa swasembada pangan melalui inovasi dan sains
Oleh Indra Arief Pribadi
29 Oktober 2024 19:31 WIB
Seorang petani melakukan penyemprotan pestisida ke tanaman padi di Kelurahan Bukit Tunggal, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Senin (28/10/2024). ANTARA FOTO/Auliya Rahman/foc/am.
Jakarta (ANTARA) - Tujuan swasembada pangan kembali digelorakan Presiden Prabowo Subianto. Harapan Indonesia untuk mencukupi kebutuhan pangannya sendiri muncul agar negeri ini mampu berdaya tahan di tengah masifnya potensi krisis global yang bisa memicu kebijakan restriksi perdagangan.
Badai COVID-19 meninggalkan pelajaran bahwa swasembada pangan penting untuk dicapai. Ketergantungan pasokan pangan terhadap negara lain hanya akan menimbulkan ketidakpastian yang berimplikasi pada tatanan ekonomi dan sosial di dalam negeri.
Faktor eksternal menjadi variabel yang sulit dikendalikan ketika krisis terjadi. Negara-negara di dunia akan membatasi ekspor pangan untuk mengamankan pasokan dalam negeri. Alhasil, negara yang mengandalkan sumber pangan dari luar negeri akan rentan mengalami kelangkaan pangan. Harga pangan menjadi tak terkendali dapat memicu kenaikan inflasi dan instabilitas sosial.
Dalam konteks persaingan global, Indonesia juga mempelajari bahwa diplomasi pangan adalah salah satu kunci efektif untuk memenangkan kompetisi di tengah kerentanan ekonomi dunia akibat konflik geopolitik.
Dalam pidato pertamanya sebagai Presiden di Gedung DPR/MPR/DPD RI pada 20 Oktober lalu, Prabowo Subianto menekankan agar dalam 4-5 tahun ke depan, Indonesia harus bisa mencapai swasembada pangan. Peta jalan mencapai swasembada pangan sudah jauh disiapkan Prabowo sebelum dilantik sebagai Presiden ke-8 RI. Fokus yang dijalankan tim transisi pemerintahan bentukan Prabowo dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo, mencantumkan sektor pertanian dalam visi Astacita, dengan mendorong kemandirian pangan melalui swasembada pangan.
Dalam Astacita, di antaranya, pemerintah ingin menyempurnakan program kawasan sentra produksi pangan atau food estate secara berkelanjutan, cetak baru lahan pertanian minimal 4 juta hektare, menjalankan agenda reformasi agraria untuk memperbaiki kesejahteraan petani.
Kemudian, meningkatkan produktivitas pertanian melalui peningkatan sarana prasarana pendukung pertanian rakyat, teknologi pangan terpadu, mekanisasi pertanian, inovasi digital (digital farming), dan memperbaiki tata kelola rantai nilai hasil pertanian.
Indonesia belum bisa disebut berswasembada pangan karena ketergantungan pada impor bahan pangan seperti beras, jagung, bahkan gandum masih tinggi. Ketergantungan impor beras juga berkaitan dengan produksi beras nasional yang terus menurun.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras nasional menunjukkan penurunan dalam 2023-2024. Produksi beras turun dari 31,54 juta ton pada 2022 menjadi 31,1 juta ton pada 2023. Produksi beras nasional diperkirakan kembali turun menjadi 30,34 juta ton secara tahunan pada 2024.
Untuk memenuhi kebutuhan nasional, pada 2023, tercatat realisasi impor beras Indonesia mencapai 3,06 juta ton. Kemudian, pada Januari-September 2024, realisasi impor beras sudah sebanyak 3,23 juta ton.
Karena itu, jika Prabowo berkukuh untuk mencapai swasembada pangan, maka semua pihak sudah semestinya bergotong royong mendukung target tersebut. Indonesia pernah diganjar penghargaan pada 1984 dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) atas pencapaian swasembada pangan, sehingga mencapai kembali swasembada pangan bukan hal yang mustahil.
Melalui inovasi dan sains
Prabowo dengan Kabinet Merah Putih yang dibentuknya sebaiknya mengupayakan pencapaian swasembada pangan dengan pendekatan berbasis inovasi, sains, teknologi serta kolaborasi aktif.
Langkah Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menggandeng Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi (Kemendikti Saintek) dan sejumlah perguruan tinggi untuk bersinergi merupakan langkah yang tepat.
Pada Selasa (29/10) ini, Mentan Amran melakukan penandatanganan nota kesepahaman bersama lima universitas negeri yakni Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Hasanuddin (Unhas), Universitas Sumatera Utara (USU) dan Universitas Syiah Kuala untuk bekerja sama mencapai swasembada pangan. Kerja sama ini merupakan langkah awal yang akan disusul oleh perguruan tinggi lainnya.
Dengan langkah itu, Mentan mendorong perguruan tinggi untuk menghadirkan inovasi serta teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas pertanian guna mewujudkan swasembada pangan dalam waktu empat tahun.
Misalnya, perguruan tinggi didorong untuk menciptakan benih dan bibit unggul yang mampu meningkatkan produksi. Salah satu contohnya seperti benih dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yakni IPB 3S yang bisa menghasilkan produktivitas hingga 13 ton per hektare, jauh di atas rata-rata nasional sekitar 5-6 ton per hektare.
Penggunaan benih unggul juga nantinya akan disesuaikan dengan kondisi lahan pertanian. Misalnya, penggunaan benih padi yang tahan terhadap air asin atau kondisi rawa yang harus disesuaikan dengan tantangan lingkungan setempat untuk memastikan hasil yang optimal.
Kerja sama dengan perguruan tinggi juga menyasar pada pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Diharapkan lahir petani-petani milenial yang mampu melahirkan inovasi dan mengadaptasi pendekatan teknologi untuk meningkatkan produksi pertanian. Indonesia juga memiliki bonus demografi yang dapat menjadi potensi besar bagi pertanian Indonesia.
Selain itu, dengan mekanisasi dan bibit unggul, produktivitas dapat berlipat ganda, sementara biaya produksi berkurang. Panen secara tradisional membutuhkan tenaga 25 orang. Namun, dengan mesin panen padi multifungsi (combine harvester), satu orang bisa mengerjakan panen dengan empat jam,
Kemendikti Saintek juga memberikan dukungan dengan menyediakan peneliti yang ahli di bidang pertanian untuk mengembangkan inovasi terbaru. Peneliti dapat dilibatkan untuk menentukan lahan, hingga penerapan teknologi pertanian dari hulu hingga hilir.
Para peneliti di kampus juga dapat dilibatkan untuk meningkatkan efektivitas kolaborasi lintas sektoral, terutama saat penerapan cetak lahan sawah baru. Hal ini berkaca dari kebijakan pembukaan lahan dalam beberapa tahun terakhir yang turut berdampak pada tatanan sosial.
Langkah kehadiran peneliti di sini menjadi sangat penting. Peneliti dapat memberikan pendekatan multidisiplin seperti antropologi dan ekologi agar menjadi basis dalam setiap upaya sehingga peningkatan produktivitas pertanian tidak bersinggungan dengan stabilitas sosial dan budaya masyarakat.
Badai COVID-19 meninggalkan pelajaran bahwa swasembada pangan penting untuk dicapai. Ketergantungan pasokan pangan terhadap negara lain hanya akan menimbulkan ketidakpastian yang berimplikasi pada tatanan ekonomi dan sosial di dalam negeri.
Faktor eksternal menjadi variabel yang sulit dikendalikan ketika krisis terjadi. Negara-negara di dunia akan membatasi ekspor pangan untuk mengamankan pasokan dalam negeri. Alhasil, negara yang mengandalkan sumber pangan dari luar negeri akan rentan mengalami kelangkaan pangan. Harga pangan menjadi tak terkendali dapat memicu kenaikan inflasi dan instabilitas sosial.
Dalam konteks persaingan global, Indonesia juga mempelajari bahwa diplomasi pangan adalah salah satu kunci efektif untuk memenangkan kompetisi di tengah kerentanan ekonomi dunia akibat konflik geopolitik.
Dalam pidato pertamanya sebagai Presiden di Gedung DPR/MPR/DPD RI pada 20 Oktober lalu, Prabowo Subianto menekankan agar dalam 4-5 tahun ke depan, Indonesia harus bisa mencapai swasembada pangan. Peta jalan mencapai swasembada pangan sudah jauh disiapkan Prabowo sebelum dilantik sebagai Presiden ke-8 RI. Fokus yang dijalankan tim transisi pemerintahan bentukan Prabowo dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo, mencantumkan sektor pertanian dalam visi Astacita, dengan mendorong kemandirian pangan melalui swasembada pangan.
Dalam Astacita, di antaranya, pemerintah ingin menyempurnakan program kawasan sentra produksi pangan atau food estate secara berkelanjutan, cetak baru lahan pertanian minimal 4 juta hektare, menjalankan agenda reformasi agraria untuk memperbaiki kesejahteraan petani.
Kemudian, meningkatkan produktivitas pertanian melalui peningkatan sarana prasarana pendukung pertanian rakyat, teknologi pangan terpadu, mekanisasi pertanian, inovasi digital (digital farming), dan memperbaiki tata kelola rantai nilai hasil pertanian.
Indonesia belum bisa disebut berswasembada pangan karena ketergantungan pada impor bahan pangan seperti beras, jagung, bahkan gandum masih tinggi. Ketergantungan impor beras juga berkaitan dengan produksi beras nasional yang terus menurun.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras nasional menunjukkan penurunan dalam 2023-2024. Produksi beras turun dari 31,54 juta ton pada 2022 menjadi 31,1 juta ton pada 2023. Produksi beras nasional diperkirakan kembali turun menjadi 30,34 juta ton secara tahunan pada 2024.
Untuk memenuhi kebutuhan nasional, pada 2023, tercatat realisasi impor beras Indonesia mencapai 3,06 juta ton. Kemudian, pada Januari-September 2024, realisasi impor beras sudah sebanyak 3,23 juta ton.
Karena itu, jika Prabowo berkukuh untuk mencapai swasembada pangan, maka semua pihak sudah semestinya bergotong royong mendukung target tersebut. Indonesia pernah diganjar penghargaan pada 1984 dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) atas pencapaian swasembada pangan, sehingga mencapai kembali swasembada pangan bukan hal yang mustahil.
Melalui inovasi dan sains
Prabowo dengan Kabinet Merah Putih yang dibentuknya sebaiknya mengupayakan pencapaian swasembada pangan dengan pendekatan berbasis inovasi, sains, teknologi serta kolaborasi aktif.
Langkah Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menggandeng Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi (Kemendikti Saintek) dan sejumlah perguruan tinggi untuk bersinergi merupakan langkah yang tepat.
Pada Selasa (29/10) ini, Mentan Amran melakukan penandatanganan nota kesepahaman bersama lima universitas negeri yakni Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Hasanuddin (Unhas), Universitas Sumatera Utara (USU) dan Universitas Syiah Kuala untuk bekerja sama mencapai swasembada pangan. Kerja sama ini merupakan langkah awal yang akan disusul oleh perguruan tinggi lainnya.
Dengan langkah itu, Mentan mendorong perguruan tinggi untuk menghadirkan inovasi serta teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas pertanian guna mewujudkan swasembada pangan dalam waktu empat tahun.
Misalnya, perguruan tinggi didorong untuk menciptakan benih dan bibit unggul yang mampu meningkatkan produksi. Salah satu contohnya seperti benih dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yakni IPB 3S yang bisa menghasilkan produktivitas hingga 13 ton per hektare, jauh di atas rata-rata nasional sekitar 5-6 ton per hektare.
Penggunaan benih unggul juga nantinya akan disesuaikan dengan kondisi lahan pertanian. Misalnya, penggunaan benih padi yang tahan terhadap air asin atau kondisi rawa yang harus disesuaikan dengan tantangan lingkungan setempat untuk memastikan hasil yang optimal.
Kerja sama dengan perguruan tinggi juga menyasar pada pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Diharapkan lahir petani-petani milenial yang mampu melahirkan inovasi dan mengadaptasi pendekatan teknologi untuk meningkatkan produksi pertanian. Indonesia juga memiliki bonus demografi yang dapat menjadi potensi besar bagi pertanian Indonesia.
Selain itu, dengan mekanisasi dan bibit unggul, produktivitas dapat berlipat ganda, sementara biaya produksi berkurang. Panen secara tradisional membutuhkan tenaga 25 orang. Namun, dengan mesin panen padi multifungsi (combine harvester), satu orang bisa mengerjakan panen dengan empat jam,
Kemendikti Saintek juga memberikan dukungan dengan menyediakan peneliti yang ahli di bidang pertanian untuk mengembangkan inovasi terbaru. Peneliti dapat dilibatkan untuk menentukan lahan, hingga penerapan teknologi pertanian dari hulu hingga hilir.
Para peneliti di kampus juga dapat dilibatkan untuk meningkatkan efektivitas kolaborasi lintas sektoral, terutama saat penerapan cetak lahan sawah baru. Hal ini berkaca dari kebijakan pembukaan lahan dalam beberapa tahun terakhir yang turut berdampak pada tatanan sosial.
Langkah kehadiran peneliti di sini menjadi sangat penting. Peneliti dapat memberikan pendekatan multidisiplin seperti antropologi dan ekologi agar menjadi basis dalam setiap upaya sehingga peningkatan produktivitas pertanian tidak bersinggungan dengan stabilitas sosial dan budaya masyarakat.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024
Tags: