Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) meminta pengelolaan kelapa sawit tidak digabungkan dalam Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) namun tetap dibawah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS).

Ketua Umum Apkasindo Gulat ME Manurung menyatakan pihaknya
mengapresiasi kebijakan peningkatan produksi kakao dan kelapa dengan pembentukan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) melalui Perpres 132/2024.

"Kami meminta kelapa sawit tidak digabungkan dalam lembaga baru ini, Karena itulah BPDP-KS sebaiknya tetap berdiri untuk mendanai program sawit termasuk petani secara mandiri untuk kepentingan nasional sebagai komoditi Indonesia," katanya melalui keterangannya di Jakarta, Minggu.

Menurut dia konsep menggabungkan sawit ke tanaman perkebunan lainnya sangat tergesa-gesa dua hari menjelang pergantian Presiden, tanpa kajian mendalam, tanpa melibatkan stakeholder sawit dalam perencanaannya, apalagi dengan blending dana sawit menjadi dana bersama tanaman perkebunan lainnya.

Sebaiknya, lanjutnya, lembaga baru ini menaungi khusus kakao dan kelapa saja.

"Untuk itu, kami petani sawit bermohon kepada Bapak Presiden Prabowo Subianto untuk mencabut Perpres 132/2024, lalu memberlakukan kembali Perpres yang menaungi BPDP-KS,” katanya.

Menurut Gulat, terbitnya Perpres 132/2024 yang menghilangkan peranan BPDP-KS telah menimbulkan keresahan bagi petani sawit yang sedang mengajukan pendanaan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) khususnya.

Selanjutnya, dikatakan Gulat, dana yang dikumpulkan BPDP-KS bersumber dari pungutan ekspor (levy) sawit dimana petani ikut berkontribusi dalam dana gotong royong tersebut, bukan dari pajak atau APBN.

Dari perhitungan Apkasindo, tarif pungutan ekspor CPO sebesar 62 dolar AS/ton pada September 2024, telah membebani kami petani sawit sebesar Rp192/kg dengan asumsi rendemen TBS 20 persen dan per Oktober ini naik lagi, sementara harga TBS petani sawit Rp208/kg TBS.

“Kami petani sawit tidak bermaksud egois atau menginklusifkan sawit, tapi faktanya kami masih terseok-seok butuh perhatian afirmatif melalui dana sawit kami sendiri," ujarnya.

Dikatakannya dana sawit tujuannya untuk menjaga harga TBS melalui serapan CPO Domestik untuk program biodiesel, peningkatan produktivitas melalui PSR, sarpras, SDM petani dan keberlanjutan perkebunan sawit rakyat sejalan dengan program strategis Pemerintahan Prabowo-Gibran.

Baca juga: Gapki sebut industri sawit masih hadapi sejumlah tantangan

Baca juga: Pengusaha sawit minta pemerintah kaji ulang kebijakan biodiesel B50


Masa peralihan BPDP-KS menjadi BPDP dan selanjutnya, tambahnya, akan berdampak kepada program petani seperti PSR, SDM petani, beasiswa anak petani, dan sarpras lantaran terjadi ketidaksinkronan antar lembaga/kementerian di dalam Perpres 132/2024 dan dana sawit yang semakin menipis akibat menurunnya kuantitas ekspor CPO dan turunannya akibat meningkatnya serapan domestik (karena BPDP-KS itu beroperasi dari ekspor CPO dan turunannya)

Gulat menambahkan Apkasindo dalam proses pembahasan uji publik Perpres 132/2024 telah dengan tegas menolak sawit berada di bawah Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP), apalagi dengan menggabungkan dana sawit kepada kakao dan kelapa dengan berbagai argumen.

BPDP-KS, lanjutnya, seharusnya tidak dikorbankan atas masih rendahnya serapan dana sawit oleh petani sawit, karena kendala berada di K/L lain yang cukup banyak mencampuri urusan sawit dengan aturannya masing-masing.

"Jadi seperti ini yang harusnya dibenahi, bukan malah membubarkan BPDP-KS menjadi BPDP," ujarnya.

Gulat mengatakan petani sawit ingin meningkatkan peran strategis BPDP-KS menjadi Badan Sawit Indonesia langsung di bawah Presiden sebagai simpul koordinasinya sehingga tidak lagi terjadi simpang siur terkait regulasi K/L kepada sawit.