Gunungkidul (ANTARA) - Organisasi masyarakat pegiat pelestari sumber air "Resan" Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menggalakkan penghijauan di 400-an telaga di wilayah ini dalam rangka menjaga ketersediaan sumber air sepanjang tahun.

Pegiat pelestari sumber air "Resan" Gunungkidul Edi Supadmo di Gunungkidul, Jumat, mengatakan saat ini banyak sekali telaga yang rusak karena tidak mampu menampung air sepanjang tahun.

"Kami sedang menggalakkan penanaman pohon di sekitaran telaga. Kami juga menebar tanah lempung dan kotoran sapi ke dasar telaga," kata Edi Supadmo.

Ia mengatakan gerakan ini dimulai dari Telaga Dondong, Saptosari. Di telaga tersebut sedang ditebar tanah lempung dan kotoran sapi di dasar telaga, dengan harapan agar bagian dasar mampu menahan air agar tidak cepat meresap ke bawah atau menguap.

Edi Supadmo mengatakan berdasarkan data Resan Gunungkidul, dari 400-an telaga, hanya 2,5 persen yang masih berfungsi semestinya, artinya masih bisa menampung air hingga saat ini.

"Dari 400an telaga, di bawah 10-lah yang airnya bisa bertahan sepanjang tahun. Artinya kalau kemarau masih ada airnya," kata dia.

Baca juga: Tentara tanam pohon penghijauan di Gunung Kidul
Baca juga: Penghijauan Gunung Kidul perlu 30 tahun


Edi menambahkan banyak telaga yang hanya mampu menampung air paling lama satu bulan. Penyebabnya memang karena banyak vegetasi di seputaran telaga yang hilang, sedimentasi serta dasar telaga yang mulai pecah-pecah karena panas, sehingga berongga.

Edi mengatakan cukup sulit untuk mengembalikan fungsi telaga karena membutuhkan waktu dan biaya tak sedikit.

Sementara itu, Kepala DLH Gunungkidul Harry Sukmono mengatakan kondisi telaga-telaga di Gunungkidul sudah banyak yang rusak itu karena aktivitas manusia.

Harry mengatakan telaga itu cepat kering karena dipengaruhi oleh iklim mikro sekitar telaga di mana keberadaan air bisa cepat hilang karena adanya evaporasi atau menguap. "Penguapan lebih cepat terjadi karena cuaca panas yang sering terjadi di seputaran telaga saat ini," katanya.

Panasnya cuaca di seputaran telaga dipicu karena berkurangnya tegakan (pohon kayu) yang ada di sekeliling telaga. Iklim mikro sendiri dipengaruhi oleh angin yang dapat mempercepat evaporasi. Jika yang berhembus adalah angin panas maka akan mempercepat evaporasi.

Baca juga: Menteri LHK tanam pohon nangka di Hutan Keistimewaan Gunung Kidul
Baca juga: Kisah perempuan pelestari hutan adat di Gunungkidul


Lebih lanjut, Harry mengatakan penyebab lainnya adalah pendangkalan telaga atau sedimentasi. Sedimentasi ini dipicu karena aliran air permukaan air hujan ketika terjadi hujan tidak ada kanopi atau penghalang. Ketika tidak ada pohon tegakan maka tidak ada penghalang sehingga air itu langsung ke tanah.

Dan kalau ada tegakan seperti pohon maka air hujan sampai ke tanah hanya berupa tetesan sehingga daya rusak terhadap tanah (erosi) jauh berkurang ketimbang air yang langsung jatuh ke tanah. Karena pohon tegakkan tidak ada maka daya rusak air hujan terhadap tanah meningkat.

"Aliran air hujan ke telaga ini membawa material tanah dan masuk ke telaga," katanya.

Harry mengatakan saat ini banyak tanaman tegakan yang berubah menjadi tanaman musiman. Petani menganggap pohon kayu nilai ekonominya kecil, sehingga mengganti tanaman musiman seperti jagung dan kacang tanah.

Parahnya, cara panen tanaman musiman ini dilakukan dengan dicabut. Tanah yang awalnya sudah mapan menjadi gembur lagi dan mudah terbawa air. Sehingga semakin banyak material tanah masuk ke telaga yang terbawa air.

Baca juga: PT Timah gencarkan tanam pohon di lahan kritis Babel
Baca juga: Babel targetkan tanam 2,5 juta pohon kurangi lahan kritis
Baca juga: Kalsel tanam 245.000 mangrove pulihkan lahan kritis